Sukses

Menteri LHK Siti Nurbaya: Carbon Governance Kunci Regulasi Perdagangan Karbon

Terkait ancaman hilangnya kawasan negara, KLHK sudah menangani kasus yang membahayakan kedaulatan negara sehingga harus diambil tindakan fan sanksi kepada yang bersangkutan dan bisa diambil contohnya di Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya menyatakan carbon governance merupakan kunci perdagangan karbon. Carbon governance menjadi penting dengan elemen dan penerapannya yang perlu menjadi perhatian bagi semua.

"Carbon governance merupakan instrumen koherensi aktualisasi pelaku bisnis dan pemerintah dalam proses  yang diketahui secara terang dan dapat diikuti dengan baik oleh publik. Penerapan  Carbon Governance akan menempatkan secara tepat sasaran aksi iklim dan nilai ekonomi karbon untuk kepentingan nasional,” ujar Menteri Siti Nurbaya dalam pernyataan tertulis KLHK, Kamis (09/05/2024).

Siti mengatakan, penerapan yang sembrono atas offset karbon hutan dapat berimplikasi pengurangan kawasan hutan yang berpindah ke Luar Negeri tanpa terkendali sehingga akan berimplikasi pada  “hilangnya kawasan negara” karena hilangnya jurisdiksi kewenangan pengaturan wilayah atau kawasan negara tersebut akibat kontrak swasta/korporat berkenaan dengan kontrak dagang karbon yang mereka lakukan dengan “land management agreement” .

Terkait ancaman hilangnya kawasan negara, KLHK sudah menangani kasus yang membahayakan kedaulatan negara sehingga harus diambil tindakan fan sanksi kepada yang bersangkutan dan bisa diambil contohnya di Indonesia. 

Ketika pemerintah melakukan pengawasan terhadap perusahaan konsesi hutan untuk langkah perbaikan, ternyata tidak bisa lagi dilakukan langkah atau operasional dilakukan oleh pemegang ijin konsesi hutan tersebut, karena kendali pengelolaannya sudah berpindah ke pihak lain di luar  negeri  dan dalam hal contoh ini yaitu di Hongkong.  

Padahal, pemegang ijin tersebut mendapat ijin dari pemerintah dengan segala kewajibannya, yang tidak dapat dilaksanakan dan bahkan telah menyerahkan mengalihkan izin dari pemerintah RI kepada pihak lain di luar negeri. Dengan kondisi pelanggaran atas perijinan kawasan hutan  serta ketidak-taatan dalam aturan, maka kepada perusahaan yang demikian, Pemerintah telah menjatuhkan sanksi pencabutan dan pembekuan .

Kondisi seperti contoh tersebut memberikan gambaran bahwa terjadi pengalihan konsesi ke luar negeri tanpa diketahui oleh pemerintah, tanpa kendali pemerintah, karena  tidak mengikuti aturan dengan alasan merupakan kegiatan offset carbon voluntary. Bisa dibayangkan apabila pemegang ijin definitif  konsesi karbon (restorasi ekosistem) yang saat ini luasnya telah mencapai 215  ribu ha ijin definitif (6 perusahaan)  dan sedang berproses  menjadi sekitar 80 unit konsesi karbon dengan luas bisa   mencapai  di atas 2  juta ha, maka bisa terjadi pengalihan  areal hutan negara ke luar negeri tanpa kendali dan tidak diketahui oleh pemerintah atas alasan voluntary. 

Dengan demikian, secara tidak disadari wilayah yang luas hingga jutaan hektar tersebut telah akan beralih ke luar negeri tanpa bisa diketahui ke mana beralihnya dan dikuasai oleh siapa.

Dengan kata lain, pemerintah hanya tahu bahwa perusahaan  memiliki ijin di atas kertas, hanya berupa ijin tanpa wilayah, (tidak ada kewajiban yang bisa  dilakukan dan tidak ada pembinaan oleh pemerintah RI),  karena wilayahnya sudah  dikuasai pihak lain (asing);   bukan lagi  menjadi sumberdaya alam yang dikuasai oleh negara dengan hak konstitusionalnya pada rakyat Indonesia.  Indonesia bisa kehilangan wilayah negara atas nama bisnis dan voluntary.  

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Pengaturan Perdagangan Karbon

Menerapkan metode sertifikasi karbon secara sembrono tanpa kendali Pemerintah akan dapat berimplikasi pada “melayangnya” juridiksi teritori wilayah dan dalam skala yang massif, menjadi bukan tidak mungkin kita hanya akan memiliki negara tanpa wilayah, atau virtual country. Siti menegaskan perdagangan karbon secara sembrono jelas merongrong kewibawaan dan kedaulatan negara.

“Perdagangan karbon yang sembrono bisa merongrong kewibawaan dan kedaulatan negara. Untuk itu ada persyaratan untuk perdagangan karbon agar tidak membahayakan kedaulatan negara dan harus diatur  oleh pemerintah  atas nama kekuasaan negara,” tandas Menteri Siti sambil menambahkan bahwa salah satu ketentuan dan persyaratan perdagangan karbon adalah penggunaan metodologi untuk menghitung kinerja pengurangan emisi GRK. 

Menurut Menteri LHK, sudah ada pengaturan dengan  Permen LHK Nomor 21 tahun 2022 Pasal 60 Ayat (2) huruf F. Methodologi yang dapat digunakan dalam penghitungan emisi yaitu: (1)  metodologi yang telah disetujui oleh UNFCCC atau badan di bawahnya seperti Badan Pengawas CDM atau Badan Pengawas A6.4 Paris Agreement; (2) methodologi yang telah ditetapkan oleh Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PPI-KLHK), selaku National Focal Point (NFP) UNFCCC Indonesia; atau (3) Ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN). Metodologi memegang peran penting karena  menjelaskan data aktifitas dan faktor emisi yang digunakan serta metodologi penghitungan emisi yang dipakai.

 

 

3 dari 3 halaman

Metodologi dan Verifikasi

Lebih lanjut Menteri Siti Nurbaya mengatakan, kinerja surplus emisi dapat diperdagangkan, apabila nilai aktual emisi berada di bawah baseline dan target pengurangan emisi pelaku usaha.

Berapa hitungan surplus tergantung dari metodologi yang digunakan. Oleh karena itu verifikasi menjadi sangat penting karena harus emisi aktual atau bukan potensial.

Adapun metodologi penghitungan emisi ditetapkan berbasis scientific dan technology. Untuk sektor kehutanan telah ditetapkan metodologi hitung kinerja penuruann emisi GRK sektor kehutanan yaitu sebanyak 5 (lima) metode masing-masing : KMSAH-001, MSAH-001, MSAH-002, MSAH-003, dan MSAH-004. Metodologi CDM untuk sektor Kehutanan yang telah disetujui oleh Badan Pengawas CDM ada 4 yaitu AR-AM014, AR-ACM003, AR-AMS0003, AR-AMS0007 yaitumetodologi penghitungan untuk kinerja penurunan emisi GRK, emisi dari deforestasi, emisi dari degradasi hutan, emisi dari kebakaran lahan gambut, emisi dari lahan gambut serta Aforestasi dan Reforestasi baik skala besar maupun skala kecil.

“Tetap saja ada dan memungkinkan ada pengembangan metodologi di luar yang  disebutkan sebagai metodologi tersebut  seperti antara kain dengan MRA atau Mutual Respect Agreement. Seperti ini juga sudah ada contohnya yang telah dirintis dalam kerjasama  Indonesia-Jepang,” ujar Menteri Siti Nurbaya. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.