Liputan6.com, Jakarta - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nonor 35/PUU/IX/2012 (Putusan MK 35) telah dibacakan pada 16 Mei 2013 hasil judicial review terhadap Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan memberikan koreksi fundamental terhadap pengakuan keberadaan Masyarakat Adat beserta hak atas hutan adat di wilayah adatnya.
Terdapat dua hal penting yang diatur dalam Putusan MK Nomor 35 yaitu pertama: menegaskan Masyarakat Adat sebagai subjek hukum (penyandang hak) atas wilayah adatnya, dan kedua: Menyatakan bahwa Hutan adat adalah milik masyarakat adat yang berada didalam wilayah adatnya.
Baca Juga
Sebagai subyek hukum, berarti bahwa Masyarakat Adat dianggap cakap melakukan perbuatan hukum dan memiliki otoritas mengatur sumber-sumber agraria di wilayah adatnya. Selain dua hal tersebut, MK menyatakan juga menegaskan pentingnya pembentukan UU khusus tentang Masyarakat Adat.
Advertisement
Sebelas tahun pasca keluarnya putusan tersebut belum menunjukkan perubahan secara signifikan.
Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi mengatakan, memang banyak aturan turunan pasca keluarnya putusan tersebut, namun peraturan tersebut dibuat menjadi sulit dan juga berbelit-belit.
"Aturannya kan banyak, tapi justru dibuat menjadi sulit dan berbelit-belit. Dari awal mereka sudah ada beberapa Permen (peraturan menteri) yang keluar tanpa evaluasi yang jelas lalu berubah-berubah terus permennya," kata Rukka di sela Seminar Nasional, bertemakan '11 Tahun Putusan MK 35 dan Pemenuhan Hak Konstitusional Masyarakat di Indonesia' di Rumah AMAN, Jakarta, Senin (13/5/204).
Rukka menuturkan, berubah-ubahnya peraturan turunan tersebut membuat pihaknya kesulitan dalam melakukan pemetaan sehingga berdampak pada mangkraknya wilayah adat.
Hingga April 2024, AMAN mencatat terdapat 342 produk hukum daerah yang telah memberikan pengakuan terhadap eksistensi Masyarakat Adat dan wilayah adat.
Menurut Badan Registrasi Wilayah Adat atau BRWA sekurang-kurangnya terdapat 26,9 juta hektar wilayah adat dari seluruh nusantara yang telah teregistrasi di BRWA dan dari jumlah tersebut hanya 14 persen yang telah mendapatkan status pengakuan. Pemerintah melalui Kementerian LHK baru menetapkan hutan adat di 123 komunitas dengan total luas mencapai 221.648 ha.
Pada sisi lain, politik hukum terkait Masyarakat Adat dalam 10 tahun semakin memburuk. Penetapan Perppu Ciptaker menjadi UU Cipta Kerja, KUHP, revisi UU IKN dan berbagai peraturan perundangundangan di bidang agraria dan sumberdaya alam mengandung unsur-unsur “penyangkalan” yang kuat terhadap eksistensi Masyarakat Adat beserta hak-hak tradisionalnya.
Menurutnya, political will pemerintahan sangat rendah. Negara masih terus menerus mengedepankan skenario hukum dengan latar kekuasaan yang berwatak merampas dan menindas yang tercermin dari skenario pengakuan hukum yang rumit, bertingkat-tingkat, sektoral, memisahkan proses pengakuan hak atas wilayah adat dari pengakuan Masyarakat Adat, bahkan mengecualikan wilayah-wilayah adat yang berkonflik dari pengakuan.
"Berbagai usulan perubahan yang terus menerus disampaikan AMAN bersama organisasi-organisasi masyarakat sipil antara lain melalui RUU Masyarakat Adat maupun usulan perubahan kebijakan yang lain selalu tidak mendapatkan respon yang memadai," ujarnya.
"Kita berharap pemerintah khususnya periode baru ini harus menjadi salah satu fokus menjadi kebijakan strategis presiden untuk segera mengembalikan wilayah-wilayah adat yang selama ini diklaim. Dan banyak di wilayah-wilayah itu yang sudah rusak dan masyarakat adat supaya kita bisa pulihkan kembali," ujarnya.
Tidak Kehendak Pemerintah Menindaklanjuti
Advertisement
Pemisahan Hutan Adat dan Hutan Negara
Sementara itu, Dosen UGM Yance Arizona pada kesempatan yang sama mengatakan pasca Putusan MK Nomor 35 sebenarnya Mahkamah menghendaki hutan adat dipisahkan dengan hutan negara, diberikan bentuk kedaulatan masyarakat adat terhadap hutan adat itu yang sudah diakui.
Tapi kemudian dalam prosesnya negara tidak sepenuhnya melepaskan itu kepada masyarakat adat karena masih ada kontrol-kontrol oleh negara. Misalkan, dalam hal melakukan pembatasan-pembatasan tidak boleh dijualbelikan, ada fase mereka membutuhkan itu menjadi aset mereka bisa saja tidak mengubah fungsi padahal kalau dilihat masyarakat juga punya cara sendiri untuk menentukan fungsi-fungsi di wilayah mereka.
"Bisa jadi problemnya adalah di fungsi negara, misalkan itu sudah menjadi lahan pertanian masyarakat, negara menyebut itu hutan konservasi, ketika jadi hutan adat tidak boleh mengubah fungsi itu dari awal bukan konsevasi itu cara pemerintah mengkontrol wilayah itu," tuturnya.
"Nah yang lain prosesnya sangat rumit karena sangat berjenjang dan melibatkan politik-politik di daerah," tambahnya.