Liputan6.com, Jakarta Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud Md menilai, Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) memang aneh.
Menurut Mahfud, revisi terhadap UU MK itu malah berpotensi mengganggu independensi hakim, khususnya yang terkait dengan aturan peralihan.
Baca Juga
"Itu juga sebabnya saya menolak, ini mengganggu independensi. Kenapa? Orang ini secara halus ditakut-takuti, kamu ini diganti loh, dikonfirmasi, tanggal sekian dijawab tidak, berhenti, habis kamu sebagai hakim. Jadi, independensinya sudah mulai disandera, menurut saya," kata Mahfud Md dalam keterangan resmi, Rabu (15/5/2024).
Advertisement
Mahfud kemudian menceritakan proses ditolaknya revisi UU MK saat dia menjabat sebagai Menkopolhukam. Pada 2020, Mahfud menyampaikan, memang sudah mencoba melakukan perubahan terhadap UU MK, yang disebut Menkumham Yasonna Laoly, sudah disepakati sebelum Mahfud menjadi Menkopolhukam.
Ternyata, lanjut Mahfud, upaya-upaya itu masih belum berhenti karena pada 2022 lalu secara tiba-tiba muncul lagi usulan untuk perubahan terhadap UU MK. Padahal, dia menekankan, usulan revisi UU MK itu tidak pernah ada di Program Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas).
"Saya kaget, saya tanya lagi ke Pak Yasonna. 'Pak, ini kok ada undang-undang belum ada di prolegnas'. 'Sudah Pak, disepakati baru ini tambahan di prolegnas untuk direvisi'. 'Kok mendadak,' saya bilang. 'Iya, ini DPR memutuskan begitu, dan sudah dibicarakan mungkin secara diam-diam, begitu'," cerita Mahfud saat berbincang dengan Yassona.
Akhirnya, Mahfud tetap menegaskan kalau revisi terhadap UU MK tidak benar karena ada tendensi untuk memberhentikan hakim-hakim tertentu di tengah jalan.
Oleh karena itu, Mahfud menyampaikan kepada Mensesneg Pratikno, untuk turun langsung mengikuti rapat bersama DPR RI membahas ini.
"Oleh sebab itu, DPR waktu itu, kebetulan saya yang pesan ke Pak Pratik, 'Pak kayaknya undang-undang ini saya perlu turun sendiri ke DPR, kan bisa'. 'Oh iya bisa,' kata Pak Pratik. 'Sudah nanti Pak Mahfud saja yang mewakili ke DPR bersama Pak Yasonna'. Jadi saya," ucap Mahfud.
Menurutnya, undang-undang itu sekalipun bagus tidak boleh berlaku untuk hakim-hakim yang sekarang ada dan mereka dibiarkan sampai habis masa jabatannya, baru dilakukan penggantian. Ternyata, dia mengingatkan, saat itu DPR tidak mau karena mereka ingin hakim-hakim langsung diganti.
"DPR tidak mau, pokoknya langsung, begitu undang-undang ditetapkan hakim yang tidak yang belum 10 tahun tapi sudah di atas lima tahun dikonfirmasi lagi. Wah, saya bilang ini tidak benar. Dalam ilmu hukum ini keliru saya bilang. Akhirnya apa, deadlock kan saja saya bilang. Maka deadlock, selama saya jadi Menko," ujar Mahfud.
Bisa Menakut-nakuti Hakim MK
Mahfud merasa, RUU MK yang diusulkan bisa menakut-nakuti hakim MK yang kini ada, ditambah saat itu sudah mendekati kontestasi politik pemilihan umum. Meski begitu, Mahfud menegaskan, tidak bisa menghalangi siapa saja yang kini menginginkan revisi terhadap UU MK dilakukan.
"Sekarang sesudah saya pergi tiba-tiba disahkan, ya saya tidak bisa menghalangi siapa siapa, tapi itu ceritanya. Saya pernah deadlock-kan undang-undang itu, sekarang disahkan. Isinya tetap, seperti yang saya tolak itu, tapi menurut saya ya, ya sudah saya tidak bisa menghalangi," tutur Mahfud.
Advertisement
Para Mantan Ketua MK Sepakat Independensi Hakim Jangan Diganggu
Mahfud menyebut, ada beberapa kemungkinan sikap yang akan diambil pemerintah soal ini. Antara lain, pemerintah meminta Ketua MK mengirim surat meminta konfirmasi hakim-hakim yang diperpanjang, atau membiarkan saja hakim-hakim yang mendekati pensiun menyelesaikan masa jabatan.
Namun, Ketua MK periode 2008-2013 itu merasa, revisi UU MK itu cuma merupakan langkah memuluskan jalan politik pihak-pihak tertentu. Apalagi, beberapa waktu terakhir orang sudah banyak membahas tentang desentralisasi yang dilakukan secara diam-diam dan secara halus.
"Akhirnya semua ada di satu tangan, nanti ada re-calling, independensinya dibatasi. Salah satunya recall saja, minta konfirmasi saja. Tapi yang lebih keras lagi, sebelum dibahas, ada di RUU, bahwa DPR bisa atau lembaga yang mengusulkan bisa menarik, itu re-calling yang asal. Ini tidak, diminta konfirmasi, bukan ditarik," ujar Mahfud Md.
Terkait hal itu, dia mengingatkan, mantan-mantan ketua MK dan hakim MK sudah pernah bertemu untuk membahasnya. Mahfud menyampaikan, tokoh-tokoh seperti Jimly Asshiddiqie, dirinya, Hamdan Zoelva, Haryono dan lain-lain itu sepakat independensi hakim tidak boleh diganggu.
Akhirnya, lanjut Mahfud, ide-ide yang coba dimunculkan untuk menarik hakim di tengah jalan melalui revisi terhadap UU MK itu dihapus. Uniknya, kini dimunculkan lagi rencana yang dirasa bisa mengganggu independensi hakim seperti rekonfirmasi setelah masuki tahun kelima.
"Hadir semua waktu itu, terus yang dari Malang hadir, ini tidak boleh begini, harus ada independensi. Sehingga ide untuk menarik hakim di tengah jalan hapus, tapi yang muncul kemudian lima tahun direkonfirmasi," kata Mahfud.
Mahfud tidak sepakat jika ini disalahkan ke legal drafter karena mereka terbilang sangat teknis, bukan memiliki kewenangan pada filosofi materi. Artinya, mereka yang memiliki filosofi materi dan memiliki hak konstitusional untuk menentukan tetap hanya presiden dan DPR RI.
"Ini lebih kepada kolaborasi banyak aktor yang sama-sama punya keinginan tertentu yang bisa dicapai kalau berkolaborasi. Misalnya, membuat undang-undang harus begini, ini dapat ini, itu dapat itu, itu sudah biasa, oleh sebab itu kita sekarang sering berteriak tentang moral dan etik," ujar Mahfud.
Hakim Bisa Jadi Proksi Lembaga jika Revisi UU MK Disahkan
Soal potensi hakim bisa jadi proxy (perantara) dari lembaga-lembaga jika revisi UU MK disahkan, Mahfud menyampaikan, itu memang menjadi salah satu kekhawatiran. Namun, Mahfud Md mengingatkan, keputusan tetap ada di presiden dan DPR RI karena bisa saja disahkan dengan alasan-alasan yang baik.
"Tetap keputusan kan mereka yang memutuskan, biar hakim tidak seenaknya, bisa juga alasannya begitu. Bisa benar, tinggal alasannya apa. Bisa saja, dan itu masuk akal. Tapi menurut saya masalahnya bukan itu, masalahnya akan bisa dikendalikan, itulah yang saya katakan independensi," imbuh dia.
Â
Reporter: Alma Fikhasari
Sumber: Merdeka.com
Advertisement