Liputan6.com, Jakarta - Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah menyetujui Rancangan Revisi Undang-undang (RUU) Kementerian Negara sebagai RUU usulan inisiatif DPR. Keputusan itu disepakati dalam rapat Panja yang dipimpin Ketua Panja DPR RI Achmad Baidowi alias Awiek di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, pada Kamis 16 Mei 2024.
"Panja berpendapat bahwa RUU tentang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dapat diajukan sebagai RUU Usul Inisiatif DPR RI," kata Awiek.
Baca Juga
Dalam kesempatan itu, Awiek menyampaikan bahwa revisi UU Kementerian Negara bertujuan untuk memudahkan Presiden dalam menyusun kementerian negara karena secara jelas dan tegas mengatur kedudukan, tugas, fungsi, dan susunan organisasi kementerian negara sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), serta kebutuhan Presiden dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, demokratis, dan juga efektif.
Advertisement
Adapun materi muatan RUU Perubahan Kementerian Negara yang telah diputuskan secara musyawarah mufakat, yaitu (1) Penjelasan Pasal 10 dihapus; (2) Perubahan Pasal 15; dan (3) Penambahan ketentuan mengenai tugas pemantauan dan peninjauan undang-undang di Ketentuan Penutup.
Meski demikian, terdapat catatan sejumlah fraksi mengenai kesepakatan dalam rapat Panja tersebut, salah satunya yakni dari fraksi PKS. Anggota Baleg DPR RI Fraksi PKS, Al Muzzammil Yusuf menyatakan, pihaknya menyetujui Revisi UU Kementerian negara, namun dengan catatan. PKS mengusulkan perubahan redaksional dalam Pasal 15 ditambahkan kata efisiensi.
Adapun Pasal 15 UU Kementerian Negara berbunyi jumlah keseluruhan Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 paling banyak 34 (tiga puluh empat).
"Dalam draf yang kita terima ini diusulkan dalam pembahasan Baleg, berubah berbunyi: Pasal 15 'jumlah keseluruhan Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12-14 ditetapkan sesuai kebutuhan presiden dengan memperhatikan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan'," kata Muzzammil.
"Maka Fraksi PKS, usulkan pada draf ini untuk menambahkan tidak hanya efektifitas, tetapi juga efisiensi," sambungnya.
Menurut Muzzammil, prinsip efektivitas dan efisiensi tidak bertentangan dengan kewenangan presiden. Menurutnya, presiden terpilih berwenang untuk menambah atau mengurangi Kementerian sesuai kebutuhannya.
"Berdasarkan catatan di atas, Fraksi PKS menyatakan menerima dengan catatan sebagaimana yang kami sampaikan tadi," pungkasnya.
Sementara itu, Anggota Baleg dari Fraksi PDIP Putra Nababan turut menyampaikan pandangan fraksinya tentang rancangan RUU Kementerian Negara, meski telah menyatakan setuju.
“Berkaitan dengan pembahasan perubahan atas UU No 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara, maka fraksi PDIP DPR RI menyatakan sikap menyetujui perubahan atas UU Nomor 39 tahun 2008 tentang kementerian negara dibahas pada tingkat selanjutnya,” kata Putra.
Putra kemudian membacakan lima catatan terkait RUU tersebut. Di antaranya terkait efisiensi dan antisipasi beban anggaran negara dan juga ada syarat khusus menjadi Menteri.
Pertama, fraksi PDIP memandang dalam penyelanggaraan pemerintahan jumlah kementerian negara harus memperhatikan efektivitas dan efisiensi serta prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan good governance dan good government.
Kedua, fraksi PDIP berpandangan mengingat negara memiliki sumber daya yang terbatas, maka dari itu perubahan jumlah kementerian harus diatur seefisien mungkin agar tidak membebani keuangan negara.
Ketiga, fraksi PDIP memandang perlu pengaturan terkait pemantauan dan peninjauan oleh DPR terhadap pelaksanaan UU Kementerian Negara sebagai bentuk check and balances antara eksekutif dan legislatif. Sehingga roda pemerintahan dapat berjalan dengan baik.
Keempat, fraksi PDIP berpendapat dalam penambahan kementerian dalam pasalnya tersebut harus menambahkan syarat dan ketentuan tertentu di antaranya kemampuan keuangan negara setiap K/L wajib memiliki indikator kinerja yang dapat dinilai efektivitasnya.
Kelima, fraksi PDIP berpandangan perlu dimasukkan penjelasan terkait kemampuan keuangan negara di antara lain adalah pertimbangkam kapasitas fisikal belanja pemerintah pusat untuk harus lebih banyak alokasi belanja untuk rakyat sebagai kelompok penerima manfaat daripada untuk birokrasi yang saat ini kenyatannya 50 persen untuk birokrasi.
Beban Anggaran Negara Bakal Bertambah?
Pengamat Politik dari Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Ujang Komarudin menilai, pembahasan rancangan revisi Undang-undang (RUU) Kementerian Negara merupakan bentuk sokongan DPR dan pemerintah untuk memudahkan suksesi kepemimpinan pemerintahan selanjutnya di bawah nahkoda Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
"Revisi UU itu memang kewenangan DPR bersama pemerintah, ya tentu Kelihatanya Jokowi-Ma'ruf Amin ingin transisi yang Smooth, lancar dan berjalan baik, jadi Saya melihatnya ini dukungan dari DPR dan pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin yang memang koalisinya hampir sama, agar Prabowo-Gibran bisa melanjutkannya," kata Ujang kepada Liputan6.com, Jumat (17/5/2024).
Namun demikian, Ujang memberi catatan khusus terkait perubahan pasal jumlah kementerian yang tidak memiliki batasan. Dia menilai, harus ada batasan jumlah kementerian pasti dalam komposisi kabinet, agar hal tersebut tidak menjadi celah yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan politik.
"Saya melihatnya tentu ada catatan-catatan dari revisi itu, satu mengapa jumlah kementeriannya tidak dibatasi?, artinya tidak ada angka yang pasti apakah jumlahnya 40, 41 ataupun 45. Ini nanti bisa membuat presiden-presiden berikutnya bisa seenaknya menentukan nomenklatur kabinet karena tidak ada batasannya, namanya tidak ada batasannya jadi ke depan bisa 50, 60, 70 bisa juga 100," ucapnya.
Ia pun mengungkapkan sisi positif dan negatif jika jumlah kementerian bertambah. Menurutnya, kelebihan dari kebijakan tersebut ialah sebagai bentuk penyesuaian program-program yang dapat memudahkan setiap kementerian yang ada. Sementara sisi negatifnya, akan terjadi penggelembungan birokrasi dan beban anggaran negara yang bertambah.
"Plusnya mungkin kebutuhan kementerian bertambah itu sesuai keinginan atau kebutuhan pemerintah Prabowo-Gibran atau sesuai dengan visi misi dan program-program setiap kementeriannya, tapi minusnya mungkin nanti ada penggelembungan birokrasi, lalu anggaran negara yang tersedot," terang Ujang.
Sementara itu, Peneliti Utama Bidang Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Profesor Siti Zuhro mempertanyakan soal urgensi, relevansi dan signifikansinya dalam pembahasan rancangan UU Kementerian Negara di DPR.
"Kalau usulan itu sudah disetujui Baleg, revisi UU KN segera akan dibahas dan dituntaskan. Pertanyaannya apakah sudah ada naskah akademiknya? Apa urgensi, relevansi dan signifikansinya UU KN direvisi? Apa hanya karena alasan politik bagi-bagi jabatan menteri atau ada alasan lain? Naskah akademik ini yang mestinya bisa menjelaskan mengapa revisi urgent dan diperlukan," kata Siti kepada Liputan6.com, Jumat (17/5/2024).
Lebih lanjut, Siti juga mewanti-wanti soal jumlah kementerian yang kemungkinan bisa bertambah seiring dengan bergulirnya RUU Kementerian Negara di DPR. Ia mengatakan penambahan jumlah kementerian harus memiliki prasyarat di antaranya profesionalisme individu, efisiensi, efektifitas dan tidak partisan.
Menurutnya, kalau birokrasi masih menjadi ajang tarik-menarik politik, maka akan sulit masuk ke kategori birokrasi kelas dunia. Artinya, Indonesia harus bisa memanfaatkan birokrasi yang ramping dan kaya akan fungsi. Bukan birokrasi yang gemuk, tapi miskin fungsi.
"Majunya Indonesia ditandai oleh majunya birokrasi. Kalau pertambahan kementerian tak mempertimbangkan dampak-dampak negatifnya, maka ini akan membebani keuangan negara. Realitasnya ada beberapa institusi yang sampai saat ini kurang/tidak berfungsi tapi tetap dipertahankan, padahal secara finansial sangat membebani negara," ujarnya.
Ia lantas kemudian membandingkan jumlah kementerian di Indonesia dengan negara besar lain seperti Amerika Serikat yang jumlahnya minimalis.
"Amerika saja hanya memiliki 15 kementerian. Padahal negaranya besar. Indonesia tak perlu memperbanyak jumlah kementerian/lembaga kalau memang tidak diperlukan," kata Siti.
"Merangkul banyak kekuatan politik dalam kabinet tidak harus diikuti dengan memperbanyak jumlah kementerian. Yang diperlukan pemerintahan baru nanti adalah kepemimpinan yang kredibel agar menghasilkan pemerintahan yang governability," pungkasnya.
Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economics Action Institution Ronny P Sasmita, mengakui bahwa sebenarnya nomenklatur kabinet sangat tergantung kepada kebutuhan pemerintahan yang baru nanti.
Meskipun ada batasan maksimum di dalam UU Kementerian, presiden terpilih sangat berpeluang untuk merubahnya, karena komposisi kekuatan politik di DPR sangat menguntungkan presiden terpilih.
"Jadi kelebihannya adalah bisa merepresentasikan visi misi pemerintahan yang baru yang berencana untuk membenahi berbagai hal di Indonesia," kata Ronny kepada Liputan6.com, Jumat (17/5/2024).
Menurutnya, pemerintahan yang baru bisa meningkatkan spesialisasi kementerian pada satu bidang khusus agar implementasi kebijakan di bidang tersebut bisa lebih efektif.
"Sementara kekurangannya, span of controll seorang presiden atas kebinet akan semakin luas, sehingga koordinasi dengan kementerian menjadi semakin komplek akibat terlalu banyak menteri," ujarnya.
Kemudian kekurangan lainya adalah akan membutuhkan anggaran yang lebih banyak, yang belum tentu bisa ditutup oleh APBN Indonesia, sehingga berpotensi menambah utang pemerintah dan semakin melebarkan defisit anggaran nasional.
Politik Akomodasi
Pakar Hukum Tata Negara Herdiansyah Hamzah mengaku tidak heran dengan adanya pembahasan rancangan revisi UU Kementerian Negara di parlemen. Menurutnya, merubah UU untuk kepentingan kelompok dan golongan sendiri, saat ini sudah seperti kebiasaan bagi para elit politik. Bahkan semua ditabrak dan dilakukan dengan cara ugal-ugalan.
"Jadi tidak mengherankan kalau UU Kementerian juga hendak diubah demi untuk mengakomodasi penambahan jatah koalisi. Padahal usulan penambahan tersebut sama sekali tidak punya ratio legis yang memadai. Dilakukan hanya demi kepentingan politik semata," kata Herdiansyah kepada Liputan6.com, Jumat (17/5/2024).
"Dalam perspektif politik hukum, ini yang kami sebut sebagai autocratic legalism, yakni upaya menyandera UU demi untuk kepentingan kekuasaan semata. Tidak ada faedahnya untuk publik sama sekali," sambungnya.
Dosen Universitas Mulawarman ini meyakini bahwa penambahan jumlah kementerian tidak akan memberikan dampak efektifitas dalam kerja-kerja pemerintahan selanjutnya, mengingat hal ini hanya akan menambah jumlah orang-orang partai yang pemilihannya hanya berdasarkan bagi-bagi jatah kue.
"Pasti boros dan tidak efektif. Yang harusnya dikerjakan cukup satu kementerian, malah dikerjakan ramai-ramai. Dipimpin orang-orang partai yang tidak kompeten dibidangnya pula karena pemilihannya berdasarkan bagi-bagi jatah kue," ungkapnya.
Ia juga menyoroti isu kementerian khusus yang akan mengurusi program makan siang gratis yang dinilainya tidak masuk akal.
"Soal isu kementerian khusus yang mengurusi makan siang gratis, ini jelas tidak masuk akal. Ngurusin program ini tidak mesti dengan kementerian baru," katanya.
Ia mengatakan, Kementerian itu bukan panitia 17-an yang bisa dibentuk dan dibubarkan kapan saja. Tidak bisa negara ini dikelola seperti koboy, yang hanya berdasar kehendak pribadi tanpa rasionalisasi memadai.
"Ini sudah pasti dilandasi politik bagi jatah kue semata," pungkasnya.
Pendapat berbeda disampaikan Pakar Hukum Tata Negara Fahri Bachmid. Fahri menilai, perubahan nomenklatur atau pembentukan kementerian baru dengan nomenklatur tertentu adalah sebuah keniscayaan konstitusional.
“Dengan demikian, terkait rencana Revisi Undang Undang (RUU) tentang perubahan atas UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dalam rangka penataan pembentukan Kabinet Presidensial yang konstitusional, hemat saya adalah sesuatu constitutional will, sebab UUD 1945 telah menentukan demikian,” tutur Fahri kepada wartawan.
Fahri menyebut, pada hakikatnya konstitusi telah menentukan bahwa presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun (UUD) 1945, dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh sejumlah menteri negara yang membidangi urusan tertentu di pemerintahan.
Dengan penegasan, setiap menteri memimpin kementerian negara untuk menyelenggarakan urusan tertentu dalam pemerintahan guna mencapai tujuan negara.
Sebagai konsekuensi norma konstitusional dari penormaan itu, maka Ketentuan Pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara secara tegas telah mengatur dan mengklasifisir bahwa urusan tertentu dalam pemerintahan sebagaimana dimaksud terdiri atas urusan pemerintahan yang nomenklatur kementeriannya secara tegas disebutkan dalam UUD 1945; urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam UUD 1945; dan urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah.
“Konstitusi telah mengantisipasi untuk dilakukan serta mengakomodasi keadaan kompleksitas urusan pemerintahan negara masa depan, dengan membuka kemungkinan presiden untuk menata serta menyesuaikan kebutuhan pembentukan lembaga kementerian yang dipandang relevan sesuai perkembangan dan dinamika kebutuhan hukum serta ketatanegaraan masa depan,” jelas dia.
Dengan begitu, lanjut Fahri, pengubah konstitusi telah meletakkan basis serta fondasi pengaturan rezim hukum tersebut sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 17 ayat (4) UUD 1945 yang mengatur pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang.
Sehingga, pada prinsipnya diskurus akademik maupun naskah policy brief sebagai jembatan komunikasi dari analis kebijakan, sebagai sebuah produk penelitian serta rekomendasi yang dibangun oleh berbagai pihak untuk kepentingan akademik, maupun presiden dalam menggunakan kewenangannya membentuk kabinet pemerintahan dan mengangkat menteri, haruslah dalam kerangka format berfikir konstitusional.
“Sebab, perubahan UU Kementerian Negara maupun kebijakan Penataan Kabinet Presidensiil di Indonesia yang konstitusional oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto, selain merupakan sebuah kebutuhan ketatanegaraan, lebih jauh adalah merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat dihindari,” kata Fahri menandaskan.
Advertisement
Baleg DPR Bantah Revisi UU Kementerian Negara untuk Prabowo-Gibran
Sebelumnya, Ketua Badan Legislasi (Baleg) RI Supratman Andi Agtas mengatakan, revisi Undang-Undang Kementerian Negara tak ada kaitannya dengan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Diketahui, adanya revisi Undang-Undang Kementerian Negara dikaitkan dengan wacana adanya keinginan Prabowo-Gibran menambah nomenklatur kementeriannya. Di mana, dalam undang-undang yang lama hanya memuat 34 kementerian yang dikabarkan akan ditambah menjadi 40.
Menurut Supratman, Baleg DPR selalu melakukan dan menginventarisir mana saja yang harus dibahas.
"Soal timing saja, bagi kami di badan legislasi kami sudah menginventarisir semua RUU yang terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan salah satu yang kami temui itu adalah salah satunya dua duanya yang hari ini kita temui menyangkut soal keimigrasian dan kementerian negara," kata Supratman, saat diwawancarai di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa 14 Mei 2024.
"Kalau soal kebetulan bahwa ada isu yang terkait dengan perubahan nomenklatur dan jumlah Kementerian itu hanya soal kebetulan saja," sambungnya.
Di sisi lain, Supratman mengatakan, progres atau pembahasan revisi UU Kementerian Negara bergantung pada persetujuan pemerintah dalam hal ini Presiden Joko Widodo.
"Kalau di kita akan mempercepat, tapi kan tergantung pada pemerintah juga setelah di badan legislasi di paripurnakan kemudian kita kirim ke pemerintah apakah presiden setuju atau tidak kan tergantung," kata Supratman
Percepatan pengesahan revisi UU tersebut, termasuk terkait pasal penambahan jumlah kementerian, menurut Supratman juga diputuskan oleh Jokowi, bukan semata-mata DPR.
Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menegaskan, adanya revisi Undang-Undang Kementerian Negara bukan untuk mengakomodasi jumlah menteri tertentu.
"Mungkin untuk mengakomodasi kepentingan kebutuhan nomenklatur dan juga bagaimana mengoptimalkan memaksimalkan kerja-kerja kabinet di masa depan," kata Dasco, saat diwawancarai di Gedung Nusantara II DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa 14 Mei 2024.
Lebih lanjut, Ketua Harian DPP Partai Gerindra itu, mengaku penambahan jumlah menteri juga belum dibahas oleh Presiden terpilih RI Prabowo.
"Cuma pada saat ini hal tersebut belum pernah dibahas di tempatnya Pak Prabowo. Sehingga saya belum bisa komentar lebih jauh," imbuh dia.
Sebagai informasi, Indonesia saat ini memiliki 34 Kementerian yang telah diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 113/P Tahun 2019 (23 Oktober 2019), tentang Pembentukan Kementerian Negara dan Pengangkatan Menteri Negara Kabinet Indonesia Maju Periode Tahun 2019-2024.
Melansir laman resmi Presiden RI, Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) atau dikenal sebagai Kabinet Indonesia Maju, terdiri atas 4 menteri koordinator dan 30 menteri bidang yang diumumkan pada 23 Oktober 2019.
Melihat komposisi tersebut, jika dibandingkan dengan negara lain Indonesia masih memiliki jumlah kementerian terbanyak, khusunya di negara-negara ekonomi tersebesar dunia, kecuali India.
Di Amerika Serikat misalnya, negara paman sam tersebut hanya memiliki 15 kementerian. Menurut laman resmi Gedung Putih, AS memiliki 15 kementerian, yang secara umum disebut sebagai Departemen.
"Lima belas departemen eksekutif, masing-masing dipimpin oleh seorang anggota Kabinet yang ditunjuk oleh Presiden, menjalankan administrasi sehari-hari pemerintah federal," tulis Gedung Putih di laman resminya.
Inggris
Negara selanjutnya adalah Inggris, yang juga memiliki kementerian kurang dari 30 kantor. Menurut laman resmi pemerintah Inggris gov.uk, Inggris memiliki 24 kementerian di bawah Kantor Perdana Menteri yang berbasis di 10 Downing Street.
China
Serupa dengan AS dan Inggris, China hanya memiliki sekitar 20 kementerian di pemerintahannya, yaitu 21 kementerian, mengutip Xinhua.
India
Terakhir India, ternyata India memilki jumlah kementerian yang lebih besar dari Indonesia. Negara itu menjalankan otoritas eksekutifnya melalui 58 kementerian dan 93 departemen di negara tersebut.
5 Respons Parpol soal RUU Kementerian Negara
Baru-baru ini, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI langsung membahas soal revisi UU Kementerian Negara. Pembahasan tersebut mengacu pada keputusan MK nomor 79/PUU-IX/2011.
Pada rapat Baleg DPR RI di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa 14 Mei 2024, Wakil Ketua Baleg Achmad Baidowi (Awiek) mempersilakan tenaga ahli Baleg menyampaikan dasar adanya revisi tersebut.
Baleg memaparkan rumusan Pasal 15 UU Kementerian Negara bahwa jumlah kementerian paling banyak 34. Baleg mengusulkan jumlah menyesuaikan dengan kebutuhan presiden.
Rapat Baleg DPR RI yang membahas soal revisi UU Kementerian Negara tersebut mendapat respons dari sejumlah pihak. Salah satunya Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto yang menyatakan, undang-undang saat ini masih relevan dan tak perlu direvisi.
"Kami percaya bahwa dengan Undang-Undang kementerian negara yang ada sebenarnya masih visioner untuk mampu menjawab berbagai tantangan bangsa dan negara saat ini,” kata dia di Galeri Nasional, Jakarta, Senin 13 Mei 2024.
Berikut sederet respons sejumlah pihak terkait munculnya wacana revisi UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dihimpun Tim News Liputan6.com:
1. Gerindra Buka Peluang Revisi UU Kementerian Negara
Partai Gerindra membuka peluang untuk melakukan revisi Pasal 15 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Hal itu disampaikan Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani.
Muzani menyatakan, tiap pemerintahan selalu berbeda. Ia menyebut hampir setiap pergantian pemerintahan ada perubahan di tubuh kementerian.
"Saya kira hampir di setiap kementerian dulu dari ibu Mega ke pak SBY ada penambahan atau perubahan, dari pak SBY ke pak Jokowi juga ada perubahan, dan apakah dari pak Jokowi ke pak Prabowo ada perubahan, itu yang saya belum tahu," kata Muzani di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Minggu 12 Mei 2024.
Ia mengingatkan UU itu bersifat fleksibel dan hisa diubah. Sebab, tiap pemerintahan punya kebijakan berbeda.
"Karena setiap presiden punya masalah dan tantangan yang berbeda. Itu yang kemudian menurut saya UU kementerian itu bersifat fleksibel, tidak terpaku pada jumlah," ucap Muzani.
2. PDIP Sebut Aturan yang Ada Masih Visioner
Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto menyatakan, undang-undang yang ada sekarang masih relevan dan tak perlu direvisi.
"Kami percaya bahwa dengan Undang-Undang kementerian negara yang ada sebenarnya masih visioner untuk mampu menjawab berbagai tantangan bangsa dan negara saat ini," kata dia di Galeri Nasional, Jakarta, Senin 13 Mei 2024.
Menurut Hasto, Undang-Undang Kementerian Negara sudah mempresentasikan seluruh tugas dan tujuan dari Kementerian.
"Undang-Undang Kementerian negara yang ada itu sebenarnya sudah mampu merepresentasikan seluruh tanggung jawab negara di dalam menyelesaikan seluruh masalah rakyat dan juga mencapai tujuan bernegara," kata dia.
Ia mengingatkan, undang-undang dan kementerian dibuat untuk bernegara dan masyarakat, bukan untuk mengakomodasi kepentingan ataupun partai politik.
"Seluruh desain dari Undang-Undang Kementerian Negara itu kan bertujuan untuk mencapai tujuan bernegara, bukan untuk mengakomodasikan seluruh kekuatan politik," ungkap Hasto.
"Diperlukan suatu desain yang efektif dan efisien bukan untuk memperbesar ruang akomodasi," pungkasnya.
3. Demokrat Sebut Perubahan Itu Biasa
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Herman Khaeron angkat bicara soal revisi Undang-Undang Kementerian Negara yang dikaitkan dengan niatan Presiden Terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Menurut dia, hal itu biasa saja. Dan bisa saja memang disesuaikan dengan presiden terpilih nanti.
"Perubahan dari revisi ini adalah menurut saya hal yang biasa. Dan tentu nanti kalau disesuaikan kebutuhan presiden terpilih, saya kita timingnya pas," kata Herman di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu 15 Mei 2024.
Politikus Demokrat ini pun mengingatkan, presiden memiliki hak prerogatif terhadap kabinetnya. Sehingga, wajar jika nanti jumlah kementerian ditambah atau dikurangi berdasarkan kebutuhannya.
Meski demikian, Herman menegaskan, bahwa revisi Undang-Undang Kementerian Negara ini tak ada kaitannya dengan Prabowo.
"Timingnya pas, kita juga mengevaluasi, kita juga memonitor perjalanan implementasi UU ini dan tentu pada akhirnya klop, mungkin dengan keinginan Pak Prabowo sebagai pemegang hak prerogatif," kata dia.
Herman menilai, semakin bertambahnya penduduk penting juga untuk menambah kursi menteri.
"Tentu hal-hal yang memang terkait dengan dinamika perpolitikan nasional dan kebutuhan terhadap pemerintahan ke depan. Kalau kebutuhannya nambah ya harus di tambah gitu, kalau sizenya negara ini penduduknya juga semakin meningkat yang harus ditambah," jelas dia.
"Kan demi keefektifitas negara, pemerintah tentu harus secara spesifik bahwa kementerian juga bisa menggarap sektor-sektor yang tentu ini menjadi tujuan berbangsa bernegara," sambungnya.
4. Respons Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto mengaku belum memonitor soal revisi UU Kementerian Negara. Dia hanya membaca kabar singkat di media saja.
"Kita belum monitor. Baru lihat running text," kata Airlangga di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu 15 Mei 2024.
Airlangga lalu ditanya apakah setuju dengan isu yang berkembang bahwa Presiden terpilih Prabowo Subianto ingin pos kementerian menjadi 40. Dia mengaku belum pernah membahasnya dengan partai.
"Belum pernah dibahas," tutupnya.
5. NasDem Minta Penambahan Kementerian Dibahas di Revisi UU
Ketua DPP Partai NasDem Atang Irawan menilai, jika terjadi penambahan jumlah kementerian, maka sebaiknya tidak dilakukan melalui skema Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), bahkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Sebaiknya melalui skema perubahan UU Kementerian, agar seluruh elemen masyarakat dapat berdialektika dalam dinamika pembahasan tidak hanya dalam ruang publik semata, termasuk memberikan pandangan dan pendapat dalam pembahasan baik Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) maupun dalam ruang audiensi dan lain ,” kata Atang dalam keterangannya, Jumat (17/5/24).
Atang menambahkan, meskipun Prabowo sebagai Presiden terpilih belum menyatakan akan terjadi penambahan jumlah kementerian, tetapi gimik politik dari sejumlah elite partai pendukung terkait permintaan jumlah menteri-menteri sudah bermunculan.
“Bahkan mempertanyakan eksistensi koalisi dan semangat rekonsiliasi dikhawatirkan hanya terbatas pada bagi-bagi jatah kementerian semata,” tutur Atang.
Advertisement