Sukses

Pimpinan DPR: Tak Ada Pembahasan Diam-Diam Revisi UU MK

Saat ini, kata Dasco, RUU MK masih diharmonisasi oleh Badan Keahlian DPR. Pimpinan DPR belum menentukan kapan RUU itu akan dibawa ke rapat paripurna.

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua DPR Dasco membantah anggapan yang menyebut proses revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (MK) dilaksanakan secara diam-diam. Ia menyebut, RUU MK telah dibahas sejak 2023, namun sempat terhenti karena ada Pemilu 2024.

"Sejak Januari 2023 dan sudah dibahas sampai dengan pembahasan tingkat I antara pemerintah dan DPR pada 29 November 2023. Nah karena sedang situasi mau pemilu dan lain-lain, dan juga waktu itu ada surat keberatan dari Menko Polhukam untuk tidak segera disahkan maka kami pada waktu itu kami menunda sampai waktu kita selesai pemilu," kata Dasco di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (20/5/2024).

Dasco menegaskan kesepakatan yang didapatkan pemerintah dan DPR dilakukan secara terbuka dan telah berkoordinasi dengan Menko Polhukam Hadi Tjahjanto.

"Tidak ada terkesan kita diam-diam, karena pada saat masa reses kemarin kita mengadakan rapat koordinasi dengan Menko Polhukam yang baru untuk kemudian Menko Polhukam yang baru mempelajari substansi dan menyetujui hasil yang sudah kita ketok bersama antara DPR dan pemerintah pada 29 November 2023," kata dia.

"Jadi sebenarnya nggak ada yang apa ya sembunyi-sembunyi, tapi itu memang sudah lama dan tadi sudah saya sampaikan untuk paripurna kita juga perlu waktu untuk pembahasannya," sambungnya.

Saat ini, kata Dasco, RUU tersebut masih diharmonisasi oleh Badan Keahlian DPR. Pimpinan DPR belum menentukan kapan RUU itu akan dibawa ke rapat paripurna.

"Dan juga pada saat ini sedang diharmonisasi oleh Badan Keahlian. Sehingga untuk waktu kita nggak bisa tentukan apakah kemudian itu diparipurnakan dalam waktu cepat atau lambat," pungkasnya.

2 dari 4 halaman

RUU MK Dibahas Diam-diam dan Tinggal Disahkan, PDIP: Inilah Sisi Gelap Kekuasaan

PDI Perjuangan (PDIP) menyoroti polemik Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (RUU MK) yang belakangan dibahas secara diam-diam.

Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat menilai proses perjalanan RUU MK ini merupakan sisi gelap kekuasaan, sehingga tampak terburu-buru dan tanpa melibatkan semua pihak.

"Tentang UU MK, ditengarai inilah sisi gelap kekuasaan," kata Djarot saat konferensi pers di kantor DPP PDIP, Jakarta, Kamis (16/5/2024).

Djarot khawatir RUU MK bisa menyingkirkan hakim-hakim MK yang tidak sejalan dengan kehendak penguasa.

"Kita khawatir apabila diteruskan, hakim-hakim MK yang kemarin berbeda dengan maunya penguasa, hakim-hakim MK yang disinari oleh cahaya kebenaran, keadilan dan keberanian akan tersisih. Akan gampang dicopot," ucap Djarot.

Jika RUU tersebut nekat diteruskan, menurut Djarot, akan menimbulkan polemik besar di tengah masyarakat, mengingat proses pembahasannya digelar diam-diam.

"Apalagi pembahasannya terkesan sendiri-sendiri dan tidak transparan," kata Djarot.

Lebih lanjut, dia menilai seharusnya pembahasan RUU MK ini dilakukan pada periode DPR yang akan datang.

"Kalau mau jujur, kalau mau adil, biarkan nanti yang membahas DPR periode mendatang," ucapnya.

Sebagai informasi, RUU MK tinggal selangkah lagi dibawa ke Paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang.

Panitia Kerja (Panja) RUU MK Komisi III DPR diam-diam menggelar rapat pengesahan tingkat satu dan menyepakati RUU tersebut dibawa ke tingkat dua untuk disahkan menjadi undang-undang

Rapat kerja itu digelar di masa reses anggota dewan pada Senin (13/5/2024) atau sehari jelang pembukaan masa sidang V.

Pada Desember 2023, DPR dan pemerintah menunda pengesahan RUU itu karena menuai penolakan sejumlah pihak. Penolakan salah satunya datang dari Menko Polhukam kala itu, Mahfud Md.

3 dari 4 halaman

Mahfud Md Tolak Revisi UU MK

Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud Md menilai, Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) memang aneh.

Menurut Mahfud, revisi terhadap UU MK itu malah berpotensi mengganggu independensi hakim, khususnya yang terkait dengan aturan peralihan.

"Itu juga sebabnya saya menolak, ini mengganggu independensi. Kenapa? Orang ini secara halus ditakut-takuti, kamu ini diganti loh, dikonfirmasi, tanggal sekian dijawab tidak, berhenti, habis kamu sebagai hakim. Jadi, independensinya sudah mulai disandera, menurut saya," kata Mahfud Md dalam keterangan resmi, Rabu (15/5/2024).

Mahfud kemudian menceritakan proses ditolaknya revisi UU MK  saat dia menjabat sebagai Menkopolhukam. Pada 2020, Mahfud menyampaikan, memang sudah mencoba melakukan perubahan terhadap UU MK, yang disebut Menkumham Yasonna Laoly, sudah disepakati sebelum Mahfud menjadi Menkopolhukam.

Ternyata, lanjut Mahfud, upaya-upaya itu masih belum berhenti karena pada 2022 lalu secara tiba-tiba muncul lagi usulan untuk perubahan terhadap UU MK. Padahal, dia menekankan, usulan revisi UU MK itu tidak pernah ada di Program Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas).

"Saya kaget, saya tanya lagi ke Pak Yasonna. 'Pak, ini kok ada undang-undang belum ada di prolegnas'. 'Sudah Pak, disepakati baru ini tambahan di prolegnas untuk direvisi'. 'Kok mendadak,' saya bilang. 'Iya, ini DPR memutuskan begitu, dan sudah dibicarakan mungkin secara diam-diam, begitu'," cerita Mahfud saat berbincang dengan Yassona.

Akhirnya, Mahfud tetap menegaskan kalau revisi terhadap UU MK tidak benar karena ada tendensi untuk memberhentikan hakim-hakim tertentu di tengah jalan.

Oleh karena itu, Mahfud menyampaikan kepada Mensesneg Pratikno, untuk turun langsung mengikuti rapat bersama DPR RI membahas ini.

"Oleh sebab itu, DPR waktu itu, kebetulan saya yang pesan ke Pak Pratik, 'Pak kayaknya undang-undang ini saya perlu turun sendiri ke DPR, kan bisa'. 'Oh iya bisa,' kata Pak Pratik. 'Sudah nanti Pak Mahfud saja yang mewakili ke DPR bersama Pak Yasonna'. Jadi saya," ucap Mahfud.

Menurutnya, undang-undang itu sekalipun bagus tidak boleh berlaku untuk hakim-hakim yang sekarang ada dan mereka dibiarkan sampai habis masa jabatannya, baru dilakukan penggantian. Ternyata, dia mengingatkan, saat itu DPR tidak mau karena mereka ingin hakim-hakim langsung diganti.

"DPR tidak mau, pokoknya langsung, begitu undang-undang ditetapkan hakim yang tidak yang belum 10 tahun tapi sudah di atas lima tahun dikonfirmasi lagi. Wah, saya bilang ini tidak benar. Dalam ilmu hukum ini keliru saya bilang. Akhirnya apa, deadlock kan saja saya bilang. Maka deadlock, selama saya jadi Menko," ujar Mahfud.

4 dari 4 halaman

Bisa Menakut-nakuti Hakim MK

Mahfud merasa, RUU MK yang diusulkan bisa menakut-nakuti hakim MK yang kini ada, ditambah saat itu sudah mendekati kontestasi politik pemilihan umum. Meski begitu, Mahfud menegaskan, tidak bisa menghalangi siapa saja yang kini menginginkan revisi terhadap UU MK dilakukan.

"Sekarang sesudah saya pergi tiba-tiba disahkan, ya saya tidak bisa menghalangi siapa siapa, tapi itu ceritanya. Saya pernah deadlock-kan undang-undang itu, sekarang disahkan. Isinya tetap, seperti yang saya tolak itu, tapi menurut saya ya, ya sudah saya tidak bisa menghalangi," tutur Mahfud.

Mahfud menyebut, ada beberapa kemungkinan sikap yang akan diambil pemerintah soal ini. Antara lain, pemerintah meminta ketua MK mengirim surat meminta konfirmasi hakim-hakim yang diperpanjang, atau membiarkan saja hakim-hakim yang mendekati pensiun menyelesaikan masa jabatan.

Namun, Ketua MK periode 2008-2013 itu merasa, revisi UU MK itu cuma merupakan langkah memuluskan jalan politik pihak-pihak tertentu. Apalagi, beberapa waktu terakhir orang sudah banyak membahas tentang desentralisasi yang dilakukan secara diam-diam dan secara halus.

"Akhirnya semua ada di satu tangan, nanti ada re-calling, independensinya dibatasi. Salah satunya recall saja, minta konfirmasi saja. Tapi yang lebih keras lagi, sebelum dibahas, ada di RUU, bahwa DPR bisa atau lembaga yang mengusulkan bisa menarik, itu re-calling yang asal. Ini tidak, diminta konfirmasi, bukan ditarik," ujar Mahfud Md.

Terkait hal itu, dia mengingatkan, mantan-mantan ketua MK dan hakim MK sudah pernah bertemu untuk membahasnya. Mahfud menyampaikan, tokoh-tokoh seperti Jimly Asshiddiqie, dirinya, Hamdan Zoelva, Haryono dan lain-lain itu sepakat independensi hakim tidak boleh diganggu.

Akhirnya, lanjut Mahfud, ide-ide yang coba dimunculkan untuk menarik hakim di tengah jalan melalui revisi terhadap UU MK itu dihapus. Uniknya, kini dimunculkan lagi rencana yang dirasa bisa mengganggu independensi hakim seperti rekonfirmasi setelah masuki tahun kelima.

"Hadir semua waktu itu, terus yang dari Malang hadir, ini tidak boleh begini, harus ada independensi. Sehingga ide untuk menarik hakim di tengah jalan hapus, tapi yang muncul kemudian lima tahun direkonfirmasi," kata Mahfud.

Mahfud tidak sepakat jika ini disalahkan ke legal drafter karena mereka terbilang sangat teknis, bukan memiliki kewenangan pada filosofi materi. Artinya, mereka yang memiliki filosofi materi dan memiliki hak konstitusional untuk menentukan tetap hanya presiden dan DPR RI.

"Ini lebih kepada kolaborasi banyak aktor yang sama-sama punya keinginan tertentu yang bisa dicapai kalau berkolaborasi. Misalnya, membuat undang-undang harus begini, ini dapat ini, itu dapat itu, itu sudah biasa, oleh sebab itu kita sekarang sering berteriak tentang moral dan etik," ujar Mahfud.