Sukses

Revisi UU Penyiaran Harus Ditolak, Indonesia Tidak Boleh Mundur ke Zaman Kegelapan

Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Esa Unggul, M Jamiluddin Ritonga, menegaskan Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran harus ditolak. Alasannya, agar bangsa Indonesia tidak kembali ke zaman kegelapan, orde baru.

Liputan6.com, Jakarta Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Esa Unggul, M Jamiluddin Ritonga, menegaskan Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran harus ditolak. Alasannya, agar bangsa Indonesia tidak kembali ke zaman kegelapan, orde baru.

"Revisi Undang-Undang Penyiaran (RUU Penyiaran) harus ditolak bila tidak sejalan dengan kemerdekaan pers. Sebab, Indonesia tidak boleh mundur ke zaman kegelapan di mana rezim berkuasa mengebiri kemerdekaan pers," kata Jamiluddin dalam keterangannya, Senin (27/5/2024).

Menurut Jamiluddin, apabila revisi tetap dilanjutkan, maka pasal-pasal yang bertentangan dengan kemerdekaan pers akan dilenyapkan. Terlebih, pasal yang menyoal liputan investigasi.

Sebab, dengan ditiadakannya liputan investigasi, sama saja ingin memberangus kemerdekaan pers. Oleh karenanya, kata Jamaluddin, hal itu tidak boleh terjadi. Jamaluddin menyatakan pengebirian pers tidak sejalan dengan konstitusi dan amanat reformasi.

"Sebab, investigative reporting bagian dari kontrol sosial yang diperlukan dalam demokrasi. Karena itu, investigative reporting itu ibarat ruhnya demokrasi," jelasnya.

Diketahui, Badan Legislatif (Baleg) DPR RI tengah merevisi Undang-undang penyiaran yang sebelumnya sebagaimana telah disahkan UU no 32 tahun 2002. Sontak revisi yang secara langsung berdampak pada kegiatan jurnalis tersebut menuai banyak kritikan.

Sejumlah pasal yang sedang di bahas di meja perlemen di antaranya dapat berpotensi menjadi pasal karet. Terlebih secara tidak langsung membatasi kegiatan jurnalis.

Seperti halnya dalam ketentuan pasal 50B yang mengatur tentang pedoman kelayakan isi siaran dan konten siaran.

Pada ayat 2 huruf (c) pasal 50B merinci perihal panduan kelayakan isi siaran dan konten siaran. Salah satunya larangan untuk tayangan investigasi.

"Selain memuat panduan kelayakan Isi Siaran dan Konten Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SIS memuat larangan mengenai:...(c.) penayangan eksklusif jurnalistik investigasi." bunyi ayat 2 huruf (c).

Nantinya, apabila ditemukan pelanggaran sebagaimana yang dimaksud, pihak Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang akan berwenang untuk menindak. Sehingga bukan lagi melalui Dewan Pers.

Pada ayat 3 kemudian merinci sejumlah sanksi administratif yang bakal dilakukan oleh KPI mulai dari teguran tertulis, pengurangan jam tayang.

Hingga paling berat adalah rekomendasi ke pemerintah untuk mencabut Izin Penyelenggara Penyiaran (IPP).

Lebih lanjut lagi, perubahan yang menuai kontroversial, yakni dugaan sengketa terhadap produk jurnalistik yang nantinya dapat dilangsungkan di meja pengadilan.

"Sengketa yang timbul akibat dikeluarkannya keputusan KPI dapat diselesaikan melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan yang berlaku," tulis dalam pasal 51 point E.

 

2 dari 3 halaman

Megawati Singgung Revisi UU Penyiaran di Rakernas PDIP

Sebelumnya, Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri menyinggung soal revisi Undang-Undang MK dan Undang-Undang Penyiaran dalam pidatonya saat pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) V PDIP, Jumat (24/5).

Menurut Megawati, prosedur revisi Undang-Undang MK tidak benar karena terkesan tiba-tiba. "Lah bayangkan, dong, pakai revisi Undang-Undang MK, yang menurut saya prosedurnya saja tidak benar. Tiba-tiba, (saat) masa reses," katanya.

Dia mengaku bingung dengan revisi Undang-Undang MK yang tiba-tiba tersebut, sampai bertanya kepada Ketua Fraksi PDIP DPR RI sekaligus Wakil Ketua Komisi I DPR RI Utut Adianto.

"Saya sendiri sampai bertanya kepada Pak Utut. Nah, saya tanya beliau, 'Ini apaan, sih?' Mbak Puan lagi pergi, yang saya bilang ke Meksiko. Kok enak amat, ya?" ucap Megawati.

Selain itu, Presiden Ke-5 RI itu juga menyinggung Revisi UU Penyiaran yang dinilai melanggar esensi produk jurnalisme investigasi.

"Loh, untuk apa ada media? Makanya saya selalu mengatakan, 'Hei, kamu itu ada Dewan Pers, loh. Lalu, harus mengikuti yang namanya kode etik jurnalistik.' Lah, kok enggak boleh, ya, kalau ada investigasinya? Loh, itu kan artinya pers itu kan apa sih, menurut saya, dia benar-benar turun ke bawah loh," ujarnya.

3 dari 3 halaman

Keranda Mayat Jadi Simbol Penolakan RUU Penyiaran Jurnalis di Gorontalo

Para jurnalis dari berbagai organisasi profesi di Gorontalo yang terdiri dari AJI, IJTI, PWI, AMSI, SMSI dan JMSI menggelar demonstrasi di Kota Gorontalo, Sabtu (25/5/2024).

Gabungan organisasi konstituen Dewan Pers di Gorontalo ini menolak draf Rancangan Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang saat ini tengah digodok DPR RI.

Unjuk rasa jurnalis ini diawali dengan aksi long march dari rumah jabatan Gubernur Gorontalo, menuju bundaran saronde Kota Gorontalo.

Dalam iring-iringan unjuk rasa, para jurnalis yang mengenakan pakaian serba hitam ini, membawa keranda mayat.

Keranda mayat itu merupakan simbol perlawanan jurnalis Gorontalo terhadap RUU Penyiaran. Tidak hanya itu, semua pengunjuk rasa membawa poster yang bertuliskan penolakanan.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Gorontalo, Wawan Akuba mengatakan, bahwa aksi tersebut dilakukan sebagai bentuk perlawanan terhadap pengesahan RUU Penyiaran.

Sebab, kata Wawan bahwa RUU ini tengah dikebut oleh DPR RI dan akan disahkan sebelum 30 November 2024. Dirinya berharap, aksi unjuk rasa para wartawan ini menjadi pemantik agar RUU ini tidak disahkan.

"Kajian dari AJI dan organisasi pers lainnya, bahwa dalam RUU tersebut terdapat pasal-pasal yang bisa mencederai kemerdekaan pers," kata Wawan.

"Jika RUU ini disahkan, kita tidak akan bisa lagi meliput dan mempublikasikan karya-karya jurnalistik kita," ujarnya.

Aksi unjuk rasa aliansi jurnalis di Gorontalo ditutup dengan pembacaan surat terbuka untuk anggota DPR RI dari dapil Gorontalo dan pembakaran keranda mayat.

 

Reporter: Nur Habibie

Sumber: Merdeka.com

Â