Sukses

PKS Minta Pemerintah Buka Opsi Evaluasi dan Revisi UU Tapera

FPKS meminta agar Pemerintah membuka opsi evaluasi Tapera yang sebenarnya sudah dilaksanakan sejak 2020 lalu bagi PNS.

Liputan6.com, Jakarta - Anggota Komisi VDPR RI dari Fraksi PKS Suryadi Jaya Purnama menilai, polemik Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) bukan tentang sosialisasi, melainkan terlalu lamanya pengundangan UU No. 4 Tahun 2016 tentang Tapera.

“Delapan tahun menunggu baru dibuat PP pada tahun 2020 dan 2024 dan akan menunggu lagi peraturan menteri ketenagakerjaan, sebab situasi perekonomian masyarakat saat ini sudah sangat jauh berbeda dengan saat UU Tapera ini dibahas,” kata Suryadi dalam keterangannya, Sabtu (1/6/2024).

Suryadi mengingatkan, saat ini sudah terlalu banyak potongan gaji pekerja seperti BPJS Kesehatan yang memotong gaji 1 persen, BPJS Ketenagakerjaan Jaminan Pensiun 1 persen, Jaminan Hari Tua 2 persen, belum lagi PPh 21 atau Pajak Penghasilan Pasal 21 yang memotong 5-35 persen sesuai penghasilan pekerja. 

“Potongan gaji pekerja dengan label wajib di atas semakin menambah trauma para pekerja, dengan adanya kewajiban menjadi peserta Tapera seperti dinyatakan Pasal 7 UU No. 4 Tahun 2016,” tegas Suryadi.

Belum lagi, imbuhnya, ketidakpercayaan masyarakat karena adanya penyalahgunaan dana seperti pada kasus Jiwasraya dan Asabri. Sehebat apapun konsep skema pengelolaan dana yang dilakukan oleh Badan Pengelola (BP) Tapera, masyarakat masih sulit untuk diyakinkan.

“Belum adanya evaluasi terhadap pada pengelolaan dana Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Taperum-PNS) yang merupakan cikal bakal Tapera yang berjalan sejak tahun 1993 sampai dilebur ke Tapera pada 2018 menambah rendahnya kepercayaan masyarakat,” ungkapnya.

Oleh karena itu, tegasnya, FPKS meminta agar Pemerintah membuka opsi evaluasi Tapera yang sebenarnya sudah dilaksanakan sejak 2020 lalu bagi PNS.

“Jika memungkinkan merevisi UU No. 4 Tahun 2016, terutama berkaitan dengan kewajiban setiap Pekerja dan Pekerja Mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum untuk menjadi Peserta Tapera,” pungkasnya.

2 dari 3 halaman

Sandiaga Soal Pemotongan Gaji untuk Tapera: Tidak Bisa Dipukul Rata

Pengusaha Sandiaga Salahuddin Uno berpendapat skema iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang akan dipungut melalui pemotongan gaji tak semestinya dipukul rata berlaku bagi semua pekerja dan perusahaan.

Setelah menghadiri peluncuran IndoBisa 2024 di Jakarta, Jumat, Sandiaga menilai bahwa setiap pekerja dan perusahaan memiliki kemampuan finansial yang berbeda apalagi di tengah situasi ekonomi yang menantang dan biaya hidup yang tinggi saat ini, khususnya bagi masyarakat kelas bawah.

Sandiaga Uno yang merupakan founder perusahaan investasi Saratoga Investama Sedaya itu menekankan pentingnya mencari solusi tepat agar beban iuran tidak hanya ditanggung pekerja atau pemerintah semata.

“Ada beberapa perusahaan yang sudah siap karena bisnisnya menghasilkan cash yang banyak. Namun, ada juga yang mengalami tantangan terutama padat karya. Ini harus dicari sebuah equilibrium-nya,” kata Sandiaga yang juga Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif itu.

“Mungkin tidak bisa suatu kebijakan dipukul rata ke semua industri, tetapi harus dipilih mana industri yang bisa dan mana yang enggak,” sambung dia.

Namun, Sandiaga juga mengakui bahwa kebutuhan perumahan rakyat merupakan keniscayaan. Apabila kebijakan ini terus ditunda maka Gen Z menurutnya tidak akan pernah bisa memiliki rumah.

“Memang ini pil pahit yang harus kita ambil, tapi kita semua harus sama-sama. Pemotongannya tidak bisa dibebankan ke seluruh pihak," tegasnya yang dikutip dari Antara.

Pemerintah pada bulan ini mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat.

Kepesertaan Tapera ini menyasar tak hanya pegawai negeri sipil (PNS), tetapi juga pegawai swasta, BUMN, BUMD, BUMDes, TNI-Polri, sampai pekerja mandiri. Beban iuran Tapera 3 persen untuk program tersebut akan ditanggung bersama oleh pekerja dan perusahaan.

3 dari 3 halaman

Tapera Tuai Protes Masyarakat

Namun, kepesertaan wajib pada program Tapera itu menuai protes luas dari kalangan pekerja dan pengusaha karena dinilai memberatkan. Apalagi, pekerja dan perusahaan juga harus menanggung beban iuran untuk pajak penghasilan, jaminan kesehatan, jaminan ketenagakerjaan.

Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Pembiayaan Herry Trisaputra Zuna, dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat, menyatakan bahwa program Tapera ini bertujuan untuk menyelesaikan masalah backlog atau kekurangan perumahan melalui kredit kepemilikan rumah (KPR) dengan bunga yang terjangkau.