Sukses

Kemesraan Hasto Bersama Rocky Gerung, Bambang Widjojanto, Novel Baswedan Pada Kuliah Umum UI

Tidak diketahui isi dari perbincangan tersebut namun dari keakraban itu menunjukan tensi politik Pilpres 2024 telah mencair diantara mereka.

Liputan6.com, Jakarta - Universitas Indonesia menggelar kuliah umum tentang dilema intelektual di masa gelap demokrasi di gedung Auditorium Mochtar Riady, Kampus FISIP-UI, Depok, Senin (3/6/2024). Pada kuliah itu, tampak Sekjen DPP PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto duduk bersama dengan Rocky Gerung, Bambang Widjojanto, dan Novel Baswedan.

Terlihat, Hasto sempat berbincang dengan Bambang Widjojanto, dan Rocky Gerung. Tidak diketahui isi dari perbincangan tersebut namun dari keakraban itu menunjukan tensi politik Pilpres 2024 telah mencair diantara mereka.

Dari pertemuan itu, terlihat obrolan dan sesekali gelak tawa bergantian antara mereka yang turut hadir pada pertemuan tersebut. Selain itu, aktivis Usman Hamid dan Sumarsih turut hadir bersama sejarawan sekaligus politikus PDI Perjuangan, Bonnie Triyana, ekonom Faisal Basri, dan politisi PDI Perjuangan, Guntur Romli.     

Pada kuliah umum tersebut, Guru Besar Antropologi Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Dr. Sulistyowati Irianto mengatakan, terjadi fenomena kemunduran demokrasi pada pemerintahan saat ini. Mulai dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) hingga penggunaan bantuan sosial (bansos) untuk pemenangan salah satu paslon di Pilpres 2024.

Sulis menuturkan upaya pemerintah untuk melemahkan demokrasi terlihat dari adanya pengerahan. Dimulai dari politisasi yudisial dan penyebaran kesadaran palsu kepada publik bahwa semuanya wajar tanpa pelanggaran hukum.

“Penyelenggara negara yang seharusnya menjadi wasit nampak terlibat, bahkan (seakan sebagai) kontestan. Asas pemilu jujur, adil, bebas, langsung, rahasia seperti digariskan Konstitusi, Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 22 E, telah dilanggar,” ujar Sulis

 

 

2 dari 3 halaman

Pemilu 2024 Penuh Korupsi Politik

Sulis menilai, Pemilu 2024 terlihat penuh dengan korupsi politik dan menjadi ruang transaksional di tingkat rakyat. Inilah yang menyebabkan politik uang dalam pemilu semakin mahal dari waktu ke waktu. Pemilu juga dilekati transaksi jabatan penting pemerintahan.

"Tidak sedikit politikus yang dengan mudah pindah dari satu partai ke partai politik lain demi harapan, peluang untuk menjadikannya pejabat. Indikasi kecurangan mengemuka dalam sidang sengketa perselisihan pemilu di Mahkamah Konstitusi," ungkap Sulis.

Sulis turut menyoroti adanya tiga hakim konstitusi yang memiliki pandangan berbeda atau dissenting opinion terhadap kondisi pelaksanaan Pemilu 2024. Selain itu, terdapat lebih dari 50 amicus curiae yang disampaikan oleh para akademisi, seniman, kelompok buruh, dan berbagai elemen lain dalam masyarakat. Begitupun, sorotan dari Komite Hak Asasi Manusia Persatuan Bangsa-Bangsa yang belum pernah terjadi dalam pemilu sebelumnya.

Sulis mengungkapkan, hukum sudah menjadi alat rekayasa politik untuk kepentingan kekuasaan. Dugaan pun terlihat dari berbagai instrumen hukum yang akan disegerakan pengesahannya dalam masa lame duck pemerintahan.

 

3 dari 3 halaman

Soroti Kebijakan Tapera dan UKT

Di antaranya adalah hukum terkait masalah Penyiaran, Kepolisian Negara, Tentara Nasional Indonesia, Mahkamah Konstitusi, dan Kementerian Negara. Berbagai pasal dalam instrumen hukum itu menukik pada esensi demokrasi dan hak asasi manusia.

“Misalnya akan hilangnya kebebasan berekspresi dan kebebasan pers dalam menyajikan temuan investigatif dalam RUU Penyiaran. Atau perluasan kewenangan kepolisian dalam RUU Polri, padahal polisi adalah alat negara yang menjaga keamanan dan keterbitan bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat dan menegakkan hukum,” tutur Sulis.

Sulis mengkritisi berbagai kebijakan eksekutif di tingkat nasional yang dirumuskan diam-diam, selanjutnya ramai dibicarakan di ruang publik, dan mendapatkan reaksi keras, hingga lalu dibatalkan. Contohnya tentang kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan soal Uang Kuliah Tunggal (UKT).

“Lalu kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (TAPERA) yang proses pembuatannya tampak tidak didasarkan regulatory impact analysis yang memadai,” pungkas Sulis.