Sukses

Mahfud Md: Putusan MA Soal Batas Usia Kepala Daerah Cacat Etik, Moral dan Hukum

Mahfud mengatakan dalam tata hukum putusan MA mengikat, sehingga KPU tidak bisa menghindar walaupun secara kewenangan salah.

Liputan6.com, Jakarta - Mantan calon wakil presiden Mahfud Md menilai, putusan Mahkamah Agung (MA) soal batas usia kepala daerah cacat etik dan membuat kacau. Sebab, dalam tata hukum putusan MA mengikat, sehingga KPU tidak bisa menghindar walaupun secara kewenangan salah.

"Ini bukan hanya cacat etik, cacat moral, tapi juga cacat hukum. Kalau berani lakukan saja ketentuan Pasal 17, UU Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan setiap putusan yang cacat moral saja, apalagi cacat hukum, tidak usah dilaksanakan," kata Mahfud dikutip dari keterangan tertulis, Rabu (5/6/2024).

Mantan Menkopolhukam menilai, kecurigaan masyarakat memang menjadi konsekuensi logis dari tindakan-tindakan selama ini yang dilakukan melalui eksekutif atau yudikatif. Yang mana, cacat, melanggar etik berat, sehingga membuat masyarakat mengasosiasikan ini jadi curiga.

"Sehingga, timbul Mahkamah Kakak (MK), Mahkamah Anak (MA), Menangkan Kakak (MK), Menangkan Adik (MA), muncul berbagai istilah itu, itu konsekuensi, jadi bahan cemoohan di publik, sehingga kita pun malas lah mengomentari kayak gitu-gitu, biar nanti busuk sendiri, ini sudah busuk, cara berhukum kita ini sudah busuk sekarang," ujar Mahfud.

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2008-2013 itu sudah pula bertanya ke ahli-ahli hukum soal cara memperbaiki cara berhukum karena kebusukan sudah di semua lini dan tidak mendapat jawaban. Namun, Mahfud mengaku masih memiliki harapan.

"Kalau saya masih punya harapan, mudah-mudahan nanti kalau sudah dilantik Pak Prabowo melakukan perubahan-perubahan yang bagus, itu akan membantu bagi pemerintah, akan membantu bagi Pak Prabowo kalau hukum ditegakkan dengan benar," kata Mahfud.

Sementara, terkait komentar salah satu ketua umum partai yang menyebut kalau Presiden Joko Widodo sudah melarang Kaesang Pangarep untuk maju di kontestasi Pilkada, Mahfud mengaku tidak ingin percaya atau tidak percaya. Sebab, itu sudah pernah terjadi.

Tepatnya, saat Gibran Rakabuming Raka diisukan maju dalam kontestasi Pilpres dan Presiden Joko Widodo menyebutnya masih terlalu muda dan belum cukup umur. Tapi, pada akhirnya Presiden Joko Widodo mengaku dipaksa parpol dan itu urusan parpol.

"Saya tidak ingin percaya atau tidak percaya, sudah malas, yang dulu kan juga bilang begitu, dulu bilang begitu. Akhirnya, saya dipaksa oleh parpol, itu urusan parpol, dulu kan dia bilang tidak setuju, sekarang mau dikomentari lagi malah nanti kita ini malu pada diri sendiri," ujar Mahfud.

Menurut Mahfud, putusan MA itu bertentangan dengan Undang-Undang (UU) dan kewenangannya. Sementara, MA yang seharusnya meluruskan ini malah bungkam.

"Apa yang mau dilakukan, saya tidak tahu apa yang harus dilakukan, ini berhukum kita sudah rusak, biar saja jalan kan nabrak sendiri, saya tidak tahu caranya," kata Mahfud.

2 dari 3 halaman

PSI: Putusan MA Tak Ada Kaitannya dengan Kaesang

Wakil Ketua Umum (Waketum) Dewan Pimpinan Pusat Partai Solidaritas Indonesia (DPP PSI) Andy Budiman, menyangkal putusan Mahkamah Agung (MA) mengenai batas usia pencalonan kepala daerah terkait dengan Ketua Umum (Ketum) PSI bernama Kaesang Pangarep.

Hal ini disampaikan oleh Andy sebagai tanggapan atas tuduhan bahwa putusan MA dikeluarkan untuk mempermudah langkah Kaesang Pangarep dalam mencalonkan diri sebagai kepala daerah di Pilkada serentak 2024.

"Keputusan Mahkamah Agung tidak ada kaitannya dengan PSI maupun Mas Kaesang," kata Andy keterangan tertulis, dikutip Juni (1/5/2024).

Andy menjelaskan bahwa PSI sejak awal tidak memiliki rencana untuk mengajukan gugatan terkait batas usia minimal calon kepala daerah ini ke MA. Partai Garuda juga tidak pernah berkoordinasi dengan PSI dalam proses pengajuan gugatan tersebut ke MA.

"Yang mengajukan gugatan ke MA adalah Partai Garuda, dan tidak ada komunikasi sama sekali dengan PSI terkait masalah ini," ucap Andy.

Namun demikian, Andy berharap agar seluruh elemen masyarakat dapat menghormati keputusan MA. Menurutnya, keputusan tersebut sudah didasarkan pada berbagai pertimbangan.

"Kami berharap semua pihak bisa bersikap proporsional dalam menanggapi masalah ini. Silakan tanya kepada MA apa alasan di balik keputusan itu," ujar dia.

Selain itu, Andy juga menilai bahwa tidak tepat untuk bertanya kepada PSI mengenai putusan MA tersebut. Oleh karena itu, ia meminta agar masyarakat bertanya langsung kepada Partai Garuda selaku pihak yang mengajukan gugatan terhadap putusan MA tersebut.

"Jelas ya, jangan tanya PSI. Silakan tanya kawan-kawan Partai Garuda dan MA," katanya.

3 dari 3 halaman

PSI Tunggu Keputusan Kaesang

Wakil Ketua Umum (Waketum) Dewan Pimpinan Pusat Partai Solidaritas Indonesia (DPP PSI) Andy Budiman menanggapi soal peluang duet Ketua Umum PSI Kaesang Pangarep dan Keponakan Prabowo Subianto Budisatrio Djiwandono dalam pemilihan gubernur (Pilgub) Jakarta 2024.

Andy menilai, munculnya duet antara Budi-Kaesang untuk Pilkada Jakarta 2024 sebagai kode-kode politik yang biasa terjadi. Menurutnya, duet itu mencuat karena ada keinginan dari masyarakat.

"PSI tentu senang dan berbangga nama Mas Kaesang Pangarep, ketua umum kami beredar di tengah masyarakat yang menginginkan agar Mas Kaesang menjadi kepala daerah seperti di Depok, Bekasi, Surabaya, dan terakhir di DKI Jakarta," kata Andy melalui akun Instagram @psi_id, Jumat (31/5/2024).

Andi memandang, masyarakat rindu dan memiliki harapan dipimpin figur muda yang bisa memperbaiki keadaan di kota, kabupaten maupun di provinsi. Andy juga mengaku, telah berkomunikasi dengan Putra Bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membahas hal ini.

"Ia (Kaesang) masih sibuk mengurus persiapan Pilkada di berbagai daerah bertemu dengan calon gubernur, bupati, dan walikota yang ingin mendaftar ke PSI. Mas Kaesang ingin maksimal memastikan kader-kader terbaik PSI bisa menang di berbagai daerah di Indonesia," ujarnya.