Sukses

HEADLINE: Heboh Usulan Keluarga Korban Judi Online Terima Bansos, Tepat Sasaran?

Muncul wacana keluarga korban judi online jadi penerima bansos (bantuan sosial) dari pemerintah. Pantaskah?

Liputan6.com, Jakarta - Muncul wacana keluarga korban judi online jadi penerima bansos (bantuan sosial). Adalah Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy yang mengusulkan hal tersebut.

Muhadjir mengakui, pernyataan sebelumnya mengenai korban judi online terima bansos jadi kontroversi. Dia menilai hal itu disebabkan interpretasi yang keliru oleh masyarakat.

Menurut Muhadjir, korban judi online adalah mereka yang tergolong bukan pelaku. Sehingga mereka yang layak disebut korban adalah keluarga atau individu terdekat dari para penjudi yang dirugikan baik secara material, finansial, maupun psikologis.

“Mereka yang disantuni, kalau mereka itu yang kehilangan harta benda, kehilangan sumber kehidupan maupun mengalami trauma psikologis, kalau mereka itu nanti berupa keluarga. Jadi keluarga ya sekali lagi, keluarga dan keluarga itu jatuh miskin, maka itulah yang nantinya mendapatkan bantuan sosial,” kata Muhadjir kepada awak media di Jakarta, Senin (17/6/2024).

Sosiolog Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, menilai masalah utama sebenarnya mengenai penambahan kategori orang yang berhak menerima bansos.

"Yang paling krusial adalah bagaimana kemudian negara menyelesaikan PR yang cukup serius tentang tepat sasaran kah para penerima. Karena ini yang menjadi keluhan masyarakat kalangan Bawah," kata Devie kepada Liputan6.com, Selasa (18/6/2024).

"Bahwa ada orang yang seharusnya tidak dapat bansos lagi, masih tetap dapat. Karena misalnya dia sekarang sudah mengalami peningkatan kualitas hidup."

Kedua, jika kualitas hidup baik, tiba-tiba ada bencana, ada musibah, harus mendapatkan, tapi tidak diperoleh. Ketiga, isu ada berbagai keluhan masyarakat bahwa orang yang menerima tidak tepat karena mereka memiliki kaitan atau jaringan dengan pendata di level bawah. Akhirnya disinyalir bahwa mereka adalah temannya siapa, kenal dengan siapa, dan sebagainya. 

"Penambahan kategorinya tentu saja ini menjadi tanggung jawab negara kalau ada saudara-saudara kita yang membutuhkan bantuan. Entah itu karena korban judi online, korban musibah dan sebagainya. Itu sebenarnya pangkal persoalannya."

Devie mengatakan keluarga korban judi online layak menerima bansos jika memang mereka tidak menggunakan judi online, tapi gara-gara pasangan, keluarga dia menjadi ada di jalanan, tidak bisa makan dan sebagainya, tentu ini menjadi tanggungjawab negara.

"Tapi sekali lagi yang perlu dilakukan negara adalah membuka daftar secara transparan sehingga siapapun bisa mengecek, bisa check and recheck siapa yang sebenarnya pantas menerima bansos ini."

"Sekarang dengan kehadiran teknologi sebenarnya itu bisa dimungkinkan. Pendataan itu harus sampai di level RT jadi akan ketahuan sebenarnya. Sekarang di era digital enggak ada yang bisa berbohong, semua bisa transparan. Kenapa orang yang punya mobil, motor, rumahnya banyak bisa dapat bansos, kan itu pertanyaannya kalau di masyarakat. Nah ini persoalan pendataan bukan persoalan kategori, kalau kategori bisa saja terus bertambah tidak ada masalah."

Artinya perlu dilakukan perbaikan data kepada masyarakat ketimbang perdebatan kategori siapa yang berhak menerima bansos.

"Termasuk kalau memang dia tiba-tiba menjadi hidupnya menderita artinya tidak bisa makan, tidak bisa sekolah, harus ada di jalanan, karena anggota keluarga harus bertanggungjawab kepada dia terjerat pinjol atau judi online sehingga dia menderita," tambahnya.

Definisi Korban Judi Online Masih Abu-Abu

Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansah, menilai definisi korban judi online saat ini masih abu-abu. Sebab, belum ada regulasi yang konkret.

"Harus ada syarat-syaratnya, sementara di satu sisi masyarakat penerima Bansos saat ini ditengarai juga ada yang bermain judi online, tetapi pemerintah gagal memastikan apakah bansos yang disampaikan kepada mereka itu memang tepat guna dan tepat fungsi, atau justru malah digunakan untuk tindakan judi online," kata Trubus kepada Liputan6.com, Selasa (18/6/2024).

Kemudian, kata dia, di sisi lain yang tidak termasuk di dalam daftar penerima bansos mereka memang penjudi, lalu dampaknya mereka jadi miskin sehingga mereka juga bisa dapat bansos.

"Maka yang terjadi jika seperti itu orang yang berada di luar daftar penerima bansos akan masuk ke dalam daftar penerima sedangkan di dalam daftar penerima diduga ada juga yang bermain judi online."

"Jadi ini bahaya dan dikhawatirkan melanggengkan perjudian online. Maka ketika publik memprotes disebabkan pajak yang mereka bayarkan justru digunakan untuk membiayai mereka para keluarga korban judi online, padahal pelakunya sadar berjudi itu kan dilarang," pungkasnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 6 halaman

Penjelasan Menko Muhadjir

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menjelaskan panjang lebar, terkait pernyataanya soal korban judi online (judol) mendapatkan bantuan sosial atau bansos.

“Jadi saya sudah mencermati reaksi dari masyarakat tentang usulan saya, nanti mereka yang jadi korban judi online itu bisa mendapat bantuan sosial dengan kriteria tertentu. Saya tangkap, dari opini masyarakat itu ada sebagian masyarakat yang menganggap bahwa korban judi online itu adalah pelaku,” kata Muhadjir kepada awak media di Jakarta, Senin (17/6/2024).

Muhadjir menjelaskan, perlu dibedakan antara pelaku dan korban. Pelaku yang dimaksud adalah penjudi dan bandar judi online.

“Jadi tidak begitu, menurut KUHP Pasal 303 maupun UU ITE 11 th 2008 Pasal 27, pelaku judi adalah tindak pidana, karena itu para pelaku baik itu pemain maupun bandar itu adalah pelanggar hukum dan harus ditindak dan itulah tugas siber satgas penumpasan judi online itu menjadi tugas utama mereka,” beber Muhadjir.

Muhadjir berlasan, keluarga miskin menjadi tanggung jawab negara, sesuai UUD pasal 34 ayat 1 bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Jadi, orang miskin itu tidak hanya korban judi online saja.

“Semua orang miskin itu menjadi tanggung jawab negara untuk diberi santunan dan itu kemudian akan diproses, akan dicek juga standar, kriteriannya cocok tidak dengan yang ditetapkan Kementerian Sosial, kemudian ada verifikasi, kalau memang dipastikan bahwa dia memang telah jatuh miskin akibat judi online ya dia akan dapat bansos,” beber Muhadjir.

“Jadi jangan bayangkan terus pemain judi kemudian miskin dan langsung dibagi-bagi bansos, bukan begitu,” imbuh dia menandasi.

 

3 dari 6 halaman

DPR: Jangan Sampai Pelaku Judi Online Mikir Menang dapat Uang, Kalah dapat Bansos

Anggota Komisi VIII DPR RI, Wisnu Wijaya Adiputra menolak usulan Wakil Ketua Satuan Tugas Pemberantasan Judi Online Muhadjir Effendy, soal bantuan sosial (bansos) kepada pelaku judi online. Menurut dia, alih-alih memberantas, usulan tersebut akan memparah keadaan di mana para penjudi makin kecanduan serta merangsang munculnya penjudi baru.

"Mereka tentu akan berpikir, wah enak dong main judi online. Kalau menang dapat uang, kalau kalah dapat bansos," kata Wisnu seperti dikutip dari siaran pers, Selasa (18/6/2024).

Wisnu menilai, pemerintah seharusnya ingat para pemain judi online ini adalah pelaku tindak pidana, bukan korban, sehingga tidak harus diberikan bansos. Sebab, praktik perjudian online makin merajalela.

Dia mencatat pada Juli-September 2022, dari 2.236 kasus perjudian yang dibongkar Polri ternyata 1.125 di antaranya kasus judi online.

Sementara Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan perputaran uang judi daring tahun 2023 mencapai Rp327 triliun. Pada kuartal I Januari-Maret 2024 ini saja sudah menyentuh angka Rp 100 triliun.

"Angka ini benar-benar fantastis. Belum lagi dampak judi online yang sangat meresahkan. Tidak hanya merusak ekonomi keluarga, tapi juga menimbulkan tindak kriminal turunan seperti pencurian, perampokan bahkan pembunuhan. Contohnya kasus terbaru di Mojokerto dimana ada seorang polisi wanita membakar suaminya yang juga polisi hingga mati akibat sang suami terjerat judi online," ungkap anggota Komisi VIII yang menjadi mitra Kementerian Sosial dan Kementerian Agama itu.

Wisnu berharap Satgas Judi Online yang baru saja dibentuk Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2024 itu bisa bekerja tegas, cepat, efektif dan solutif.

"Jangan sampai blunder, seperti usulan bansos untuk pejudi online itu. Satgas harus tegas dalam penegakan hukum sesuai tugasnya sebagaimana Pasal 1 Keppres tersebut, bahwa Satgas dibentuk sebagai upaya percepatan pemberantasan perjudian daring secara terpadu," papar legislator Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.

Wisnu menyarankan, percepatan pemberantasan bisa dilakukan dengan membabat habis para pelaku judi daring. Tidak sekedar para pemain tapi lebih dari itu adalah para bandar, jaringan bisnis judi daring serta para oknum yang membekingi bisnis haram mereka.

"Kami berharap, di bawah komando Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Hadi Tjahjanto sebagai ketua, Satgas Judi Daring bisa secepatnya memberantas perjudian online di Indonesia hingga ke akar-akarnya,” pungkas wakil rakyat dari daerah pemilihan Jawa Tengah I itu.

4 dari 6 halaman

Respons Menko Airlangga dan Menaker Ida Fauziah

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan bahwa bantuan sosial (bansos) bagi korban judi daring atau online tidak masuk ke dalam anggaran maupun rencana pemerintah saat ini.

"Terkait dengan judi online, tidak ada dalam anggaran sekarang," kata Airlangga di Masjid Ainul Hikmah DPP Golkar, Jakarta Barat, dilansir dari Antara, Senin (17/6/2024).

Airlangga menambahkan, pihaknya belum berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan terkait usulan tersebut.

"Kalau koordinasi tentu kalau ada usulan program, silakan dibahas dengan kementerian teknis," tambah Airlangga.

Sementara Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) RI Ida Fauziah mengatakan pihaknya bakal mengikuti aspirasi publik.

Kendati bansos diperuntukkan bagi masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah, Ida mengatakan Kementerian Sosial (Kemensos) lah yang lebih tepat untuk meneliti keuntungan dan kerugian penyaluran bansos bagi masyarakat korban judi online.

"Iya itu kalau saya ikutin pendapat publik saja, satu sisi memang kalau mereka jatuh miskin, tentu berhak juga dapatkan bansos. Di sisi lain ada pendapat masyarakat yang mengatakan kalau kemudian menjadi 'tuman'," kata Ida di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Senin (17/6/2024).

"Saya kira itu sih ranahnya Kemensos menghitung manfaat dan mudaratnya," sambung dia.

5 dari 6 halaman

MUI Tak Sepakat Korban Judi Online Masuk Kategori Penerima Bansos

Majelis Ulama Indonesia (MUI) merespons rencana pemerintah untuk menjadikan korban judi online sebagai penerima bantuan sosial (bansos).

Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof Asrorun Niam Sholeh tak sepakat dengan rencana tersebut. Justru ia menilai, korban judi online seharusnya tidak masuk dalam kategori penerima bansos.

"Kita juga harus konsisten ya, di satu sisi kita memberantas tindak perjudian salah satunya adalah melakukan langkah-langkah preventif, di sisi yang lain harus ada langkah disinsentif bagaimana pejudi justru jangan diberi bansos," kata Ketua MUI Bidang Fatwa Prof Asrorun Niam Sholeh di Kantor MUI Pusat, Jakarta, dilansir dari Antara Sabtu (15/6/2024).

Niam mengatakan, bansos yang diberikan kepada pejudi berpotensi digunakan kembali untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum tersebut.

Ia menekankan tidak ada istilah korban dari judi daring, ataupun kemiskinan struktural akibat dampak judi online, karena berjudi merupakan pilihan hidup pelakunya.

Berbeda dengan pinjaman daring (pinjol), kata dia, terdapat sejumlah penyedia layanan yang melakukan kecurangan, dan menyebabkan penggunanya tertipu lalu menjadi korban.

"Masa iya kemudian kita memprioritaskan mereka? Tentu ini logika yang perlu didiskusikan. Kalau tahu uangnya terbatas untuk kepentingan bansos, prioritaskan justru orang yang mau belajar, orang yang mau berusaha, orang yang gigih di dalam mempertahankan hidupnya, tetapi karena persoalan struktural dia tidak cukup rezeki. Ini yang kita intervensi, jangan sampai kemudian itu enggak tepat sasaran," ucap Niam.

Menurut Niam, pemerintah tak perlu melakukan tindakan restoratif kepada para pelaku tindak pidana perjudian. Sebab, kata dia, pelaku judi melakukan hal tersebut dalam keadaan sadar.

Adapun secara khusus ia mengapresiasi upaya pemerintah dalam memberantas judi online, melalui pembentukan satuan tugas guna memberantas tindak pidana tersebut.

"Dalam melakukan tindakan pencegahan dan juga penindakan hukum secara holistik, jangan tebang pilih, karena ada juga platform digital yang sejatinya dia bergerak kepada perjudian online, tetapi dibungkus dalam bentuk permainan dan sejenisnya. MUI secara khusus memberikan apresiasi dan dukungan penuh terhadap upaya pemerintah dalam memberantas tindak perjudian melalui Satgas Judi Online," tuturnya.

6 dari 6 halaman

Guru Honorer Lebih Layak dapat Bansos

Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) menilai guru honorer lebih layak masuk Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) agar menerima bantuan sosial (Bansos), ketimbang korban judi online.

"Seharusnya yang layak mendapat Bansos tersebut adalah guru, terutama guru yang berstatus honorer," kata Peneliti IDEAS Muhammad Anwar.

Anwar menilai, berdasarkan temuan survei IDEAS dan GREAT Edunesia, masih banyak guru yang tidak pernah mendapatkan Bansos.

"Survei kami pada bulan Mei lalu menunjukan sebanyak 63,2 persen guru mengaku tidak pernah mendapatkan Bansos dalam bentuk apapun baik dari Pemerintah Pusat, Daerah maupun lembaga sosial," ujar Anwar

Selain itu, yang tercatat hanya 36,7 persen saja guru yang pernah mendapatkaan Bansos. Itupun tidak semuanya berasal dari Pemerintah.

"35,5 persen Bansos berasal dari Pemerintah Pusat dan 33,7 persen berasal dari Pemerintah Daerah. Selebihnya Bansos yang didapatkan guru berasal dari Lembaga Amil Zakat (14,2 persen), Baznas (10,1 persen), Masjid (4,7 persen), dan lembaga lain (0,5 persen)," ungkap Anwar.

Menurutnya guru, terutama yang honorer, lebih layak untuk mendapatkan bantuan sosial daripada korban judi online. Dari survei yang dilakukannya terlihat tekad mengajar yang kuat dari para pahlawan tanpa jasa ini.

"Walaupun dalam kondisi kondisi kesejahteraan guru yang rendah, kami melihat tekad guru Indonesia sangat membanggakan ini terbaca dari 93,5 persen guru berkeinginan untuk tetap mengabdi dan memberikan ilmu sebagai guru hingga masa pensiun," ujarnya.

Sangatlah ironis bila pemerintah lebih memperhatikan nasib korban judi online yang notabenenya karena ulah mereka sendiri, daripada guru mengingat penghasilan guru jauh dari kata layak.

"Dalam survei yang sama kami menemukan bahwa sebanyak 42 persen guru memiliki penghasilan di bawah Rp2 Juta per bulan dan 13 persen diantaranya berpenghasilan di bawah Rp 500 Ribu per bulan. guru-guru ini sangat layak untuk menerima Bansos," tambahnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.