Liputan6.com, Jakarta Berdasarkan data BPS Februari 2024, jumlah penduduk bekerja yang berpendidikan SMP ke bawah sekitar 57,09 persen. Artinya kualitas penduduk bekerja di Indonesia perlu adanya peningkatan.Â
Sedangkan data dari Kementerian Ketenagakerjaan pada 2014 angkatan kerja yang berpendidikan SMP ke bawah sekitar 63,65 persen yang kemudian turun menjadi 53,44 persen pada 2023. Dengan kata lain, dalam 10 tahun hanya mengalami penurunan kurang lebih 10 persen.
Baca Juga
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan (Sekjen Kemnaker) Anwar Sanusi menyatakan saat ini pemerintah telah melakukan terobosan dengan melakukan revitalisasi pelatihan vokasi. Yaitu modalitas pelatihan vokasi nasional terus ditingkatkan secara kapasitas dan kualitasnya.
Advertisement
Untuk memasuki dunia kerja, pendidikan dan pelatihan adalah sebuah prasyarat yang harus dipenuhi. Anwar menyebut pendidikan merupakan pengayaan terutama dari sisi pengetahuan dan keterampilan terbentuk dari pelatihan.
"Jadi memang dua-duanya adalah saling melengkapi. Bagaimana pengetahuan yang dimiliki, keterampilan yang dia kuasai ini dua-duanya harus membentuk sebuah hubungan sebuah katakanlah simbiosis yang saling membutuhkan," kata Anwar kepada Liputan6.com.Â
Anwar menyebut saat ini kapasitas pelatihan vokasi sekitar 4,3 sampai 4,5 juta orang per tahun dan kapasitas sertifikasi sebanyak 4,9 juta orang per tahun. Kemudian Balai Latihan Kerja (BLK) milik pemerintah sebenarnya 289 unit, 1.926 LPK swasta dan 2.245 LPS untuk sertifikasi.Â
"Selain itu juga memiliki 3.757 BLK komunitas yang mana itu menjadi tanda bahwa publik luas ternyata mampu mengorganisasikan dirinya untuk berkontribusi secara positif terhadap peningkatan keterampilan bangsa," ucapnya.Â
Nantinya kata dia, diperlukan keperpihakan dan partisipasi semua pihak. Mulai dari pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat untuk berkontribusi dalam membangun ekosistem pelatihan vokasi nasional.Â
Kenapa Pengangguran Gen Z Tinggi?
Sementara itu, pengamat ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita menyatakan angka anak muda yang masuk kategori pengangguran atau education, employment, and training (NEET) pada Gen Z yang cukup tinggi dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Pertama yaitu rendahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia, sehingga daya serap ekonomi atas tenaga kerja baru yang tumbuh, utamanya tentu Gen Z juga cukup rendah.
Sebagaimana diketahui, setiap tahun angkatan kerja baru bertambah, yang tentunya datang dari Gen Z, sebagai generasi angkatan kerja termuda.
Alhasil jika perekonomian nasional menyerab tenaga kerja jauh di bawah tingkat pertumbuhan angkatan kerja baru, maka otomatis peluang angkatan kerja baru menjadi pengangguran semakin tinggi.
"Kedua, selain pertumbuhan ekonomi yang kurang tinggi, tingkat Incremental Labour Output Ratio (ILOR) kita juga cukup rendah. Penyerapan tenaga kerja per 1 persen pertumbuhan semakin hari semakin menurun, terutama karena investasi baru banyak terjadi di sektor non tradeble dan karena disrupsi teknologi," kata Ronny kepada Liputan6.com.
Lalu, karakter Gen Z sudah tidak sama lagi dengan generasi sebelumnya. Sehingga cara pandang mereka terhadap dunia kerja juga berbeda. Maka sebagian lapangan pekerjaan konvensional yang tersedia terkadang tidak sesuai dengan karakter Gen Z.
"Sementara itu, investasi di sektor teknologi dan start up yang cenderung lebih sesuai dengan karakter Gen Z tidak terlalu ekspansif, bahkan belakangan banyak yang gulung tikar. Sehingga menambah potensi pengangguran pada segmen Generasi Z," ujarnya.
Advertisement