Liputan6.com, Jakarta: Persidangan lanjutan Kasus Bom Bali dengan terdakwa Imam Samudra kembali digelar di Gedung Wanita Narigraha, Denpasar, Kamis (12/6). Agenda persidangan yang dipimpin I Wayan Sugawa adalah mendengarkan kesaksian para pegawai Sari Club yang keluarganya menjadi korban ledakan. Saksi ini dihadirkan oleh jaksa penuntut umum. Mereka yang didengar keterangannya antara lain Suyanto, Santiko Bambang Subeno, dan Janduka [baca: Pengadilan Menolak Eksepsi Imam Samudra].
Suasana persidangan tampak emosional. Bahkan, saksi Santiko tak mampu menjawab pertanyaan hakim. Dia hanya bisa menangis. Saksi lain, Janduka, melontarkan hujatan kepada Imam Samudra karena tak mampu menahan amarah. Umumnya, mereka menyatakan melihat langsung terjadinya ledakan. Sebab, sebelum ledakan terjadi para saksi berada di sekitar lokasi ledakan. Yang tragis adalah Janduka. Sesaat setelah ledakan, dia menemukan potongan tubuh anggota keluarganya.
Di tempat berbeda, tepatnya di Gedung Nari Graha, Jl. Cut Nyak Dien, Denpasar, tersangka kasus Bom Bali lainnya, Amrozi, diperdengarkan kesaksian pertamanya. Pada persidangan ke-11 itu, Amrozi mengatakan puas dengan pengeboman yang dilakukan. Mengenai jatuhnya korban tak bersalah, dia mengatakan bahwa dalam sejarah bom mobil selalu ada orang tak bersalah yang turut menjadi korban. Untuk itu, dia menyatakan belasungkawa untuk mereka.
Menurut Amrozi, tujuan pengeboman itu yang utama adalah untuk menjaga agama. Tugas menjaga agama itu sangat penting bagi manusia. Dia melanjutkan, dengan berpegang teguh pada agama, bangsa Indonesia tidak akan mudah dijajah asing [baca: Amrozi Mengaku Perencana Bom Bali].
Kepada majelis hakim, Amrozi mengakui bahwa dialah yang membeli mobil Mitsubishi Colt L 300, yang diparkir di depan Sari Club. Sedangkan yang memasangkan bomnya adalah seorang ahli elektronik dari Malaysia bernama dr Azhari dan seorang pedagang mobil bekas, seorang WNI bernama Dulmatin. Hingga kini keduanya masih buron. Amrozi juga mengakui dia bertugas membeli bahan-bahan untuk membuat bom buat meledakkan Atrium Senen, bom natal, dan bom di depan Kedutaan Besar Filipina.(RSB/Tim Liputan 6)
Suasana persidangan tampak emosional. Bahkan, saksi Santiko tak mampu menjawab pertanyaan hakim. Dia hanya bisa menangis. Saksi lain, Janduka, melontarkan hujatan kepada Imam Samudra karena tak mampu menahan amarah. Umumnya, mereka menyatakan melihat langsung terjadinya ledakan. Sebab, sebelum ledakan terjadi para saksi berada di sekitar lokasi ledakan. Yang tragis adalah Janduka. Sesaat setelah ledakan, dia menemukan potongan tubuh anggota keluarganya.
Di tempat berbeda, tepatnya di Gedung Nari Graha, Jl. Cut Nyak Dien, Denpasar, tersangka kasus Bom Bali lainnya, Amrozi, diperdengarkan kesaksian pertamanya. Pada persidangan ke-11 itu, Amrozi mengatakan puas dengan pengeboman yang dilakukan. Mengenai jatuhnya korban tak bersalah, dia mengatakan bahwa dalam sejarah bom mobil selalu ada orang tak bersalah yang turut menjadi korban. Untuk itu, dia menyatakan belasungkawa untuk mereka.
Menurut Amrozi, tujuan pengeboman itu yang utama adalah untuk menjaga agama. Tugas menjaga agama itu sangat penting bagi manusia. Dia melanjutkan, dengan berpegang teguh pada agama, bangsa Indonesia tidak akan mudah dijajah asing [baca: Amrozi Mengaku Perencana Bom Bali].
Kepada majelis hakim, Amrozi mengakui bahwa dialah yang membeli mobil Mitsubishi Colt L 300, yang diparkir di depan Sari Club. Sedangkan yang memasangkan bomnya adalah seorang ahli elektronik dari Malaysia bernama dr Azhari dan seorang pedagang mobil bekas, seorang WNI bernama Dulmatin. Hingga kini keduanya masih buron. Amrozi juga mengakui dia bertugas membeli bahan-bahan untuk membuat bom buat meledakkan Atrium Senen, bom natal, dan bom di depan Kedutaan Besar Filipina.(RSB/Tim Liputan 6)