Sukses

Eks Bupati Langkat Terbit Rencana Divonis Bebas dalam Kasus Kerangkeng Manusia, Jaksa Ajukan Kasasi

Mantan Bupati Langkat, Terbit Rencana Perangin-angin divonis bebas oleh Majelis Hakim PN Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara atas kasus TPPO. Kasus ini berawal dari penemuan praktik kerangkeng manusia di kediaman pribadinya, di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat.

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Bupati Langkat, Terbit Rencana Perangin-angin divonis bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara atas kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Vonis ini dibacakan Hakim Ketua Andriansyah saat sidang di PN Stabat, Langkat pada Senin 8 Juli 2024.

"Mengadili, menyatakan terdakwa Terbit Rencana Perangin-angin tidak terbukti bersalah sebagaimana dakwaan penuntut umum," kata Hakim Ketua Andriansyah saat membacakan vonis, dilansir dari Antara, Selasa (9/7/2024).

Dalam amar putusannya, majelis hakim meminta agar hak serta harkat martabat terdakwa Terbit Rencana Perangin-Angin dalam perkara ini dipulihkan.

"Membebaskan terdakwa dari semua dakwaan penuntut umum, memulihkan hak-hak terdakwa dalam kemampuan, serta harkat martabatnya. Menyatakan permohonan restitusi tidak dapat diterima," ujar Andriansyah.

Kepala Seksi Tindak Pidana Umum Kejari Langkat, Hendra Abdi Sinaga menegaskan, pihaknya akan melakukan upaya hukum kasasi atas putusan bebas tersebut. 

Kasasi adalah upaya hukum yang dilakukan terdakwa dan/atau penuntut umum setelah adanya putusan atau vonis banding dari Pengadilan Tinggi (PT). Terdakwa dan/atau penuntut umum mengajukan kasasi karena tidak puas dengan putusan pengadilan banding.

"JPU Kejari Langkat di di persidangan telah menyatakan kasasi," tegas dia.

Sebab, sebelumnya JPU telah menuntut terdakwa Terbit Rencana Perangin-angin dengan pidana penjara 14 tahun dan denda Rp500 juta dengan ketentuan jika tidak dibayar, maka diganti penjara enam bulan.

Selain itu, kata Hendra, pihaknya juga membebankan terdakwa membayar biaya restitusi untuk sebelas korban maupun ahli waris sebesar Rp2,3 miliar.

"JPU menilai terdakwa terbukti melanggar Pasal 2 Ayat 2 Jo Pasal 11 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang sebagaimana surat dakwaan keempat," tegas Hendra.

Kasus yang menjerat Terbit Rencana Perangin Angin-angin berawal dari penemuan praktik kerangkeng manusia di kediaman pribadinya, di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara pada 19 Januari 2022.

Kerangkeng manusia ini disebutkan bakal digunakan untuk 'memenjarakan' pekerja kebun kelapa sawit milik Terbit Rencana Perangin-Angin.

Namun Terbit Rencana Perangin-Angin mengklaim kerangkeng manusia berukuran 6 meter x 6 meter yang terbagi dua kamar itu merupakan sel membina pelaku penyalahgunaan narkoba.

Polisi menyebut kerangkeng manusia dimaksud belum memiliki izin, dan Badan Narkotika Nasional menegaskan kerangkeng di rumah Terbit Rencana Perangin-Angin tidak bisa disebut sebagai tempat rehabilitasi.

 

2 dari 2 halaman

Kasus Kerangkeng Manusia di Langkat, LPSK Ingatkan Restitusi Maksimal untuk Korban

Sidang putusan mantan Bupati Langkat, Terbit Rencana Perangin Angin dalam perkara Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), rencana digelar Senin 8 Juli 2024 di Pengadilan Negeri (PN) Stabat, Kabupaten Langkat.

Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Antonius PS Wibowo berharap, putusan mampu mewujudkan keadilan dan pemulihan yang efektif bagi korban.

"Harapannya, pada kasus kerangkeng manusia yang menjadi perhatian publik ini para korbannya mendapat keadilan," ujar Antonius seperti dikutip dari siaran pers diterima, Minggu 7 Juli 2024.

Dia menambahkan, selain hukuman maksimal untuk pelaku, dia berharap restitusi juga bisa dikabulkan sepenuhnya sehingga. Tujuannya, agar dapat membantu pemulihan korban.

"LPSK telah menyerahkan kepada Jaksa Penuntut Umum  berkas penilaian restitusi dan JPU telah mengajukan tuntutan restitusi sebesar kurag lebih  Rp 2,3 miliar untuk korban atau ahli warisnya dan hukuman selama 14 tahun penjara," tegas Antonius.

Antonius mengapresiasi, adanya implementasi UU TPPO, dimana penyidik atas arahan JPU telah menyita pabrik kelapa sawit sebagai jaminan pembayaran restitusi para korban.

Merujuk pada data LPSK, ini adalah praktik yang pertama kali dilakukan penyitaan aset terdakwa perkara TPPO di tahap penyidikan.

Antonius mencatat, kasus TPPO di Langkat menjadi salah satu kasus yang menjadi atensi maksimal LPSK. Sebab kasus dimulai dengan melakukan tindakan pro aktif dalam rangka mengungkapkan perkara. 

"LPSK memberi perlindungan pada Korban, Saksi, dan Keluarga Korban dengan program Perlindungan Fisik, Pemenuhan Hak Prosedural, Fasilitasi Restitusi dan Rehabilitasi Psikososial maka dengan dukungan para mitra harapannya berdampak terhadap pemulihan yang efektif pada korban dan pemidanaan yang menjerakan pelaku," kata Antonius.