Liputan6.com, Jakarta - Menteri Kesehatan atau Menkes Budi Gunadi Sadikin menyebut Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan akan segera disahkan dalam waktu dekat.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) KH Sarmidi Husna menilai, sepanjang pembahasan RPP pelaksanaan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan pasal Pengamanan Zat Adiktif kurang melibatkan partisipasi publik secara luas dan berimbang.
"P3M meminta Menteri Kesehatan agar mengeluarkan pasal-pasal terkait Pengamanan Zat Adiktif dari draft RPP Kesehatan yang ada, karena selain bertentangan dengan UU Kesehatan, UU Pembentukan Peraturan Perundang Undangan, UU Perkebunan, dan putusan Mahkamah Konstitusi, juga berpotensi mematikan kelangsungan ekosistem dan tata niaga pertembakauan," ujar Sarmidi, melalui keterangan tertulis, Rabu (10/07/2024).
Advertisement
Menurut dia, pasal-pasal terkait produk industri hasil tembakau seharusnya diatur dalam pengaturan tersendiri sebagaimana mandat UU Kesehatan.
"P3M mendesak Budi Gunadi Sadikin untuk dipisahkan dari pembahasan RPP Kesehatan dengan pertimbangan mempunyai ekosistem yang berbeda signifikan dengan sektor kesehatan," ucap Sarmidi.
Dia menjelaskan, UU Kesehatan Pasal 152 Ayat (1) UU 17/2023 memandatkan, ketentuan pengaturan pengamanan zat adiktif, berupa produk tembakau, diatur melalui Peraturan Pemerintah.
Begitu pula, kata Sarmidi, pada Ayat (2), ketentuan lebih lanjut rokok elektronik diatur melalui Peraturan Pemerintah.
"Kata 'diatur dengan' Peraturan Pemerintah pada Pasal 152, sangat tegas amanatnya, sehingga seyogyanya, rokok konvensional diatur tersendiri, rokok elektronik diatur tersendiri. Keduanya, juga sebaiknya terpisah dari RPP yang memiliki ekosistem berbeda," terang Sarmidi.
Â
Ingatkan Harus Mengacu pada Banyak Prinsip
Kemudian, Sarmidi Husna juga mengingatkan bahwa perumusan RPP Kesehatan produk Tembakau harus mengacu pada prinsip-prinsip pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Lalu keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum, dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, sebagaimana amanat dalam pasal 6 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
"P3M mendesak pemerintah bersama multi-stakeholder untuk merumuskan pasal-pasal alternatif terkait RPP yang non-diskriminatif, lebih berkeadilan dan berkedaulatan," terang Sarmidi.
Dia mengatakan, RPP tentang pelaksanaan UU Kesehatan 2023 terkait Pengaman Zat Adiktif merupakan kebijakan pemerintah yang harus mengacu pada prinsip atau kaidah kemaslahatan umat secara umum, yaitu tasharruful imam 'ala al-ra'iyyah manuthun bil mashlahah.
"Kebijakan negara atau pemerintah harus mengacu pada kemaslahatan," terang Sarmidi.
Sepanjang pembahasan RPP Kesehatan, lanjut dia, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) disinyalir menutup komunikasi dengan multi-stakeholders ekosistem pertembakauan. Demikian halnya dengan P3M yang memberikan masukan namun nampaknya tidak diakomodir oleh Kemenkes.
"Kami menduga mungkin ada tekanan global yang membuat pemerintah terutama Kemenkes tidak melibatkan ekosistem pertembakauan," kata Sarmidi.
Â
Advertisement
Kajian dari P3M
Hal itu, menurut Sarmidi, bisa dilihat dalam Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), sebagaimana pada Pasal 5.3 FCTC menyatakan, dalam membuat kebijakan berkait pengendalian tembakau pemerintah harus bertindak untuk melindungi dari pengaruh industri tembakau karena ada konflik mendasar dan tidak dapat didamaikan antara kepentingan industri tembakau dan kepentingan kebijakan kesehatan masyarakat.
"Karena ketentuan tersebut, tampaknya hampir tidak mungkin ekosistem pertembakauan dilibatkan oleh Kemenkes. Padahal, petani tembakau, petani cengkeh, dan pekerja IHT yang akan menjadi korban pertama kali jika RPP disahkan. Seharusnya, dalam membuat kebijakan melibatkan objek yang hendak diatur sehingga ketemu titik tengah," beber dia.
Merujuk kajian P3M, lanjut Sarmidi, dampak dari disahkannya RPP Kesehatan dengan pasal tembakau yang ada pada industri akan berpengaruh buruk bagi iklim usaha IHT.
Dia mengatakan, banyaknya larangan terhadap IHT seperti bahan tambahan atau pembatasan tar dan nikotin, akan membuat IHT nasional gulung tikar. Perlu diketahui, kretek yang menjadi produk IHT nasional menggunakan bahan tambahan rempah sebagai penggenap rasa.
"Kretek khas Indonesia juga menggunakan tembakau dan cengkeh dalam negeri dalam pembuatan rokok. Kalau dibatasi dan dilarang, yang terkena dampak terlebih dahulu industri kretek nasional," kata Sarmidi.
Â
Kebijakan Fiskal
Sarmidi mengungkapkan, sebelum adanya RPP Kesehatan pun, IHT sudah kepayahan karena kebijakan fiskal yang eksesif. Sejak tahun 2020, tarif cukai hasil tembakau selalu naik dua digit. Padahal, kata dia, di saat bersamaan, IHT tertekan karena pandemi Covid-19 dan disusul situasi dunia yang tidak pasti.
"Situasi IHT legal saat ini terus terpuruk yang terkonfirmasi melalui realisasi penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang tidak memenuhi target. Produksi rokok juga turun," ucap Sarmidi.
Dengan kondisi itu, lanjut dia, pemerintah perlu memberikan peluang untuk pemulihan, dengan cara, tidak ada kenaikan tarif CHT untuk tahun 2025 karena sudah ada kenaikan tarif PPN terhadap hasil tembakau.
"Sedangkan untuk tahun 2026 dan tahun berikutnya, kenaikan tarif cukai HT disesuaikan dengan pertumbuhan ekonomi atau angka inflasi," terang Sarmidi.
Dengan tambahan RPP, tentu akan membuat IHT gulung tikar. IHT akan semakin berat jika harus memenuhi ketentuan dari RPP seperti perubahan kemasan, bahan baku, yang costnya sangat besar, pengaturannya juga semakin ketat.
"IHT telah diatur melalui banyak regulasi. Ada 446 regulasi yang mengatur IHT. 400 (89,68%) itu berbentuk kontrol. 41 (9,19%) mengatur soal cukai hasil tembakau, dan hanya 5 (1,12%) regulasi yang mengatur isu ekonomi/kesejahteraan," jelas Sarmidi.
Advertisement