Sukses

Sulitnya Izin Tambang Legal Dinilai Berdampak Mata Pencaharian Rakyat

Koordinator Advokasi ASPETI, Rizal Zulkarnain melihat, sulitnya rakyat mendapatkan izin disebabkan belum optimalnya komitmen dari pemerintah pusat dan daerah dalam menetapkan Kepment dan Perda Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR).

Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Penambang Bumi Pertiwi (ASPETI) menilai kegiatan pertambangan tanpa izin atau PETI yang marak di sejumlah daerah diduga akibat ada pembiaran serta minimnya pengawasan dari pihak berwenang. Sebaliknya, keinginan rakyat yang hendak mengajukan izin menambang dinilai masih sulit.

Menanggapi hal itu, Koordinator Advokasi ASPETI, Rizal Zulkarnain melihat, sulitnya rakyat mendapatkan izin disebabkan belum optimalnya komitmen dari pemerintah pusat dan daerah dalam menetapkan Kepment dan Perda Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yaitu izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.

“Adanya pembiaran dari pihak berwenang, kurangnya pengawasan dan sosialiasi dari pihak-pihak yang berwajib tentang prosedur dan tata cara pengurusan perizinan tambang rakyat menjadi penyebab meruaknya banyak kasus PETI di Indonesia” kata Rizal dalam keterangan tertulis diterima, Senin (15/7/2024).

Rizal menambahkan, maraknya aktivitas PETI juga tidak terlepas dari melemahnya pendapatan masyarakat yang diakibatkan krisis ekonomi yang terjadi secara menyeluruh dalam tiap lapisan masyarakat, khususnya masyarakat kelas bawah.

"(Efeknya) banyak warga yang menggantungkan mata pencaharian dari aktivitas ilegal ini, karena peluang untuk menyambung hidup masyarakat di desa adalah di pertambangan," tutur Rizal.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Data

Rizal mencatat, data kementerian ESDM melaporkan terdapat sebanyak 2.741 lokasi tambang ilegal atau Pertambangan Tanpa Izin (PETI) di Indonesia, data itu berdasarkan data per Agustus 2021. Rizal mendorong, data tersebut harus menjadi perhatian yang serius oleh pemerintah, tindakan serius bisa berupa pembinaan, pengawasan atau tindakan extrem berupa penutupan aktivitas tambang mineral.

“Secara normatif, pasal 158 UU No 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah mengatur bahwa PETI merupakan kejahatan sehingga pelakunya dikenai pertanggung jawaban pidana selama 5 tahun penjara dan denda 100 miliar akan digencarkan sehingga akan memberikan efek jera terhadap pelaku PETI," terang Rizal.  Rizal meyakini, saat aktivitas PETI diberantas maka upaya hukum yang bersifat multisektor disertai koordinasi antarinstansi terkait, selain itu juga diperlukan penegakan hukum yang kuat sertasupervisi antara kementrian ESDM dan Lembaga agar pemberantasan praktik illegal ini bisa berhasil.

“Perlu juga ada satgas penanggulangan PETI. Satgas ini tidak hanya bersifat penegakan hukum, tetapimelakukan pembinaan, fasilitasi, dan supervisi. Pembentukan satgas penanggulangan PETI menjadi salah satucara ada kerja terorganisasi, lintas sektor, dan komperhensifdalam mengatasi persoalan PETI," saran Rizal.

Rizal juga mengimbau, kepada seluruh masyarakat luas untuk lebih berhati-hati dalam melakukan serangkain aktivitas pertambangan yang bisa membahayakan keselamatan diri sendiri. Hal itu mengingat, adanya insiden tanah longsor melanda kawasan tambang mineral dan emas tanpa izin di Desa Tulabolo, Kecamatan Suwawa Timur, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo yang terjadi pada tanggal 7 Juli 2024 Pukul 09.00 WITA.

“Kami mengajak kepada seluruh stakeholder, beserta Lembaga-lembaga terkait untuk Bersama-sama mengawasi seluruh aktivitas pertambangan yang tanpa menggunakan izin, atau Penambangan Tanpa Izin (PETI)," Rizal menandasi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini