Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah warga negara Indonesia, yakni Desy Natalia, Audrey Tangkudung, Rudi Andries, Marlon Kansil, dan Meity Anita Lingkani melakukan uji materil atau judicial review terkait Pasal 416 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 soal Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (17/7/2024).
Menurut dia, dalam pasal itu tidak ada kalimat penegasan kapan presiden terpilih dilantik. Mengingat, termin pelantikan presiden terpilih 2024 dirasa terlalu lama, yakni Oktober 2024. Padahal MK secara secara final dan mengikat sudah membuat keputusan sejak April 2024.
Baca Juga
"Saya menilai tidak ada celah untuk menunda, apa lagi membatalkan pelantikan karena Pemilu sudah selesai, keputusan MK dan ketetapan KPU atas hasil Pilpres sudah jelas. Tahapan selanjutnya adalah pelantikan," kata Desy di Gedung MK saat mendaftarkan permohonannya, seperti dikutip Kamis (18/7/2024).
Advertisement
Desy meyakini, apa yang telah dipilih rakyat tidak boleh diganggu oleh siapapun. Bahkan menurut hasil kajian Badan Pengkajian MPR RI dan Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR, pasangan presiden dan wakil presiden terpilih yang sudah ditetapkan oleh KPU sudah diperkuat dengan produk hukum konstitusi berupa Ketetapan MPR (TAP MPR).
"Dari alasan itu, menurut saya semua sudah memenuhi prosedur konstitusi. Saya mengajak kita semua berpikir soal jangka waktu antara Penetepan KPU dengan Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih sangatlah jauh," nilai dia.
Alasan
Desy mengungkap, ada beberapa alasan pihaknya mengupayakan hal tersebut ke MK. Pertama, untuk mempercepat pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Sebab saat ini ada keunikan tersendiri dalam sistem pemerintahan, yaitu seakan Indonesia saat ini memiliki dua Presiden, yakni Presiden yang masih menjabat, dan Presiden terpilih hasil Pilpres.
"Presiden yang sedang menjabat tak bisa lagi mengeluarkan kebijakan yang efektif dan strategis, karena sudah ada Presiden dan Wakil Presiden baru, meski belum dilantik,"jelas Desy.
Kedua, pasca pemilu terjadi gugatan hukum ke MK lalu MK mengesahkan terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden hasil Pilpres 2024, maka legitimasi Presiden terpilih menjadi lebih kuat lagi.
"Artinya menurut kami situasi semacam saat ini, mengakibatkan kevakuman pemerintahan selama 8 bulan atau bisa juga terjadi disorientasi pemerintahan," padang Desy.
Ketiga, penurunan pengaruh presiden menjabat saat ini di organisasi pemerintahan, terutama di kementerian yang dipimpin dari kalangan berlatar-belakang parpol. Kerja birokrasi dirasa menjadi terhambat dan mendekat kepada kabinet bayangan atau tim pemenang.
"Karena itu menurut saya penting MK menetapkan sebuah norma baru dalam hal waktu pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpiloh ini agar kedepan demokrasi kita makin membaik," harap Desy.
Advertisement
Pasal
Diketahui, Pasal 416 ayat (1) saat ini berbunyi, Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah provinsi di Indonesia.
Pemohon menilai, Pasal tersebut bisa disempurnakan dengan ditambahkan kalimat, apabila calon presiden dan calon wakil presiden terpilih telah memperoleh suara pada pemilu putaran pertama lebih dari 50 persen dan setelah ditetapkan oleh KPU maka MPR harus segera melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih selambatlambatnya pada 3 bulan setelah ditetapkan oleh KPU.
“Sebab, di Pasal 416 tidak pernah menyatakan kapan waktu pelantikan Presiden dan Wakil presiden terpilih maka kami minta kan untuk ditambah," kata Daniel Edward Tangkau selaku tim hukum dari pemohon.
Menurut Daniel, pemohon khawatir, jika tidak dipercepat maka akan terjadi masalah di pelbagai sektor misalnya politik, ekonomi hukum dan keamanan negara.
“Maka kita ajukan Judicial Review ke MK. Tapi semua berpulang pada penilaian para hakim MK, karena kami mengacu pada permohonan para Pemohon," dia menandasi.