Liputan6.com, Jakarta - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menyoroti kerusuhan 27 Juli 1996 atau yang dikenal sebagai peristiwa Kudatuli. Dia mengatakan, peristiwa tersebut merupakan produk dari intervensi politik pemerintah.
Usman menjelaskan bahwa serangan terhadap Kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada 27 Juli 1996 silam seharusnya disebut "raid" atau penyerangan, bukan "riot" atau kerusuhan.
“Istilah serangan itu, itu menunjukkan ada satu pihak dari otoritas keamanan bersama sekelompok preman yang secara sengaja menggunakan kekerasan, menyerang sekretariat PDI, dan menggunakan kekerasan untuk menyingkirkan seluruh orang -orang yang ada di sana,” kata Usman dalam diskusi bertajuk “Kudatuli, Kami Tidak Lupa” di kantor DPP PDIP di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (20/7/2024).
Advertisement
Usman menambahkan bahwa serangan tersebut bertujuan untuk menyingkirkan kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, sebagai bagian dari upaya penyingkiran oposisi politik.
“Jadi, sampai di titik itu, jelas peristiwa 27 Juli adalah peristiwa yang lahir sebagai produk dari intervensi politik kekuasaan, termasuk politik kekerasan negara berupa pengambilalihan paksa dan penangkapan, penyerangan, dan lain-lain gitu," ucap dia.
Ia juga menekankan keterlibatan aparat keamanan dalam serangan tersebut, meskipun beberapa menggunakan seragam sipil.
“Tetapi, kalaupun aparat TNI misalnya menggunakan seragam sipil, aparat kepolisian juga masih jelas menggunakan seragam resmi dan ikut melakukan penyerangan atau pembubaran aksi mimbar bebas yang ada di dalam areal kantor PDI ketika itu," ucap Usman Hamid.
Pemicu Gelombang Penculikan
Peristiwa tersebut memicu kemarahan masyarakat yang ditunjukkan melalui protes di berbagai lokasi seperti Senen, Kramat, Menteng, dan Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat.
Rekayasa politik pemerintah kala itu, kata Usman, terlihat jelas dengan menggusur kepemimpinan oposisi, yang memicu protes keras di berbagai tempat.
Menurutnya, peristiwa 27 Juli 1996 juga menjadi pemicu gelombang penculikan dan penghilangan paksa, dimulai dengan aktivis PRD dan penculikan Wiji Thukul.
Gelombang pertama penculikan dimulai dari peristiwa 27 Juli, diikuti oleh gelombang kedua pada sidang umum MPR tahun 1998.
“Gelombang ketiga penculikan dan penghilangan paksa terjadi pada bulan Mei ketika saksi-saksi kunci yang melihat keterlibatan aparat itu disingkirkan, dieliminasi,” katanya.
Advertisement
Persis Seperti Pemerintahan Sekarang
Atas dasar itu, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia ini menegaskan bahwa peristiwa 27 Juli 1996 merupakan cerminan intervensi kebijakan politik dan keamanan pemerintah untuk memperpanjang kekuasaan dan menyingkirkan lawan politik, mirip dengan situasi politik saat ini.
“Persis seperti pemerintah sekarang ini yang mencoba memperpanjang periode kepresidenannya atau memperpanjang pemerintahannya, menunda pemilunya, dan menyingkirkan lawan-lawan politiknya dengan menjadikan hukum sebagai alat kekuasaan," kata Usman Hamid menandaskan.