Liputan6.com, Jakarta - Pakar Hukum Tata negara Bivitri Susanti memberikan refleksinya atas peristiwa 27 Juli 1996 atau Kudatuli, di mana hukum jadi senjata penguasa, yang ironinya masih bisa dilihat pada saat ini.
Hal itu dikatakan Bivitri saat sesi diskusi Kudatuli #Kamitidaklupa bertajuk Perspektif Hukum: ‘Kudatuli: Arus Bawah Vs Hukum Alat Kekuasaan’ di Kantor DPP PDIP, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta, Sabtu (20/7/2024).
Baca Juga
Bivitri menyatakan dirinya memotret dua hal yang menyadarkan bahwa hukum dijadikan alat kekuasaan oleh pihak penguasa untuk mematikan pihak-pihak yang tidak sejalan.
Advertisement
"Hal pertama yakni hukum dijadikan alat kekuasaan untuk mematikan pihak yang menganggap berseberangan dengan pemerintah yang berkuasa," ujar Bivitri, Sabtu (20/7/2024).
Menurut dia, peristiwa Kudatuli menggambarkan hal itu. Bahkan, dia melihat fenomena itu justru kembali muncul di saat ini. Di mana, kata Bivitri, pihak-pihak yang bersebrangan dengan pemerintah berkuasa akan 'dikriminalisasi' dengan instrumen hukum.
"Yang pertama adalah ketika pandangan berbeda, atau dalam bahasa yang bisa longgar kita gunakan oposisi, pandangan berbeda dalam politik formal itu dimatikan. Dan itulah yang sebenarnya terjadi pada peristiwa 27 Juli sebenarnya," papar dia.
"Nah, uniknya adalah berpuluh-puluh tahun kemudian ini terjadi lagi, tapi dengan halus sekali," sambung Bivitri.
Bivitri pun menyebut, jika pemerintahan yang berkuasa saat ini tidak menggunakan serangan fisik secara terbuka, seperti pada peristiwa Kudatuli 1996.
Namun, kata dia, hal yang mengkhawatirkan, justru serangan itu ditujukan untuk mematikan demokrasi melalui instrumen hukum.
"Mungkin tidak ada lagi penyerangan fisik partai, tapi diserangnya kita, dimatikannya demokrasi kita, itu melalui hukum. Jadi smooth sekali. Kalau tidak dikasih tahu oleh kawan-kawan kita sendiri, mungkin kita tidak sadar bahwa kita sebenarnya tengah dijajah," terang Bivitri.
Â
Demokrasi Dinilai Dibuat Rusak
Bivitri juga menilai, sebenarnya demokrasi tengah dibuat rusak karena alat-alat untuk akuntabilitas kekuasaan yang dimatikan. Dia pun memotret fenomena itu terjadi di dalam parlemen Senayan.
Di mana, kata dia, DPR yang seharusnya menjadi kontrol terhadap jalannya pemerintahan justru dimatikan lewat hukum.
"Apa itu akuntabilitas kekuasaan? Salah satunya adalah kekuatan penyeimbang," ucap Bivitri.
"Saya paham Ibu Mega kurang sepakat dan saya setuju dengan itu, kalau kita menggunakan kata oposisi. Karena secara konstitusional kita tidak mengenal kata oposisi. Tapi bahkan penyeimbang di dalam DPR itu dimatikan secara mulus sekali melalui instrumen hukum. Itu yang tengah terjadi. Itu satu ya, mematikan kekuatan penyeimbang," sambung dia.
Bivitri yang juga merupakan seorang Akademisi ini, menjelaskan hal kedua yang menjadikan hukum sebagai alat kekuasaan, yakni legalisasi politik amoral.
Dia bahkan mengaku sedih ketika berkeliling daerah. Bivitri mendapati bahwa anak-anak muda di daerah justru ‘jijik’ terhadap politik. Sebab, politik terlanjur kotor dan tidak bermoral.
Padahal, dia berpandangan bahwa politik seharusnya bertumpu pada moralitas kekuasaan.
"Tapi pikiran kita dan cara berpolitik banyak orang sudah dirusak. Sehingga politik tidak lagi punya sandaran-sandaran moral. Soalnya adalah itu kemudian diberi cap kebenaran justru oleh pengadilan. Apa misalnya, lihat putusan No. 90 dari Mahkamah Konstitusi," kata Bivitri.
"Lihat putusan tentang PHPU Pilpres. Baik untuk Capres-Cawapres 01 maupun Capres-Cawapres 03. Yang sebenarnya diuraikan dengan sangat baik pelanggaran-pelanggaran yang sifatnya etik. Tapi lima orang hakim konstitusi bilang, ya memang sih itu melanggar etik, tapi kan tidak ada pasalnya yang dilanggar. Bayangkan, kawan-kawan. Sandaran hakim konstitusi hari-hari ini adalah bunyi pasal kata per kata," sambung dia.
Â
Advertisement
Bahas soal Putusan MA
Tak berhenti disitu, Bivitri menyebut bahwa putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengatur soal batas usia kepala daerah saat mendaftar dan dilantik juga menjadi suatu bukti legalisasi politik amoral.
"Yang juga secara logika dasar, saya sering bilang nih sama mahasiswa saya, kita tuh nggak usah kuliah 4 tahun ya, kalau baca putusan itu juga ngerti, ini nggak logis. Nggak usah kuliah hukum bisa ngerti. Masa iya pendaftaran calon dipahami sebagai pelantikan. Itu aja udah nggak usah belajar hukum lama-lama, kita sudah paham," terang dia.
"Tapi kan dianggapnya kita semua bodoh-bodoh oleh orang-orang yang punya kekuasaan hukum. Nah itu yang saya anggap sebagai, apa yang namanya hukum sebagai alat kekuasaan. Dan dimatikan itu dari banyak hal," sambung Bivitri.
Bivitri menambahkan, bahwa saat ini penguasa menggunakan lembaga yudikatif untuk mengkooptasi yang namanya kebenaran dan juga mematikan KPK.
"Mungkin kita tidak lihat lagi penyerangan fisik partai seperti yang terjadi pada 1996 dengan Kudatuli. Tapi yang kita lihat sekarang adalah penyerangan yang sifatnya mulus dan mungkin orang cuma manggut-manggut, oh benar juga ya legal kok semuanya, padahal salah secara substansi," tandas dia.