Liputan6.com, Jakarta - Pengadilan Negeri (PN) Surabaya menjatuhkan vonis bebas terhadap Gregorius Ronald Tannur, terdakwa kasus penganiayaan hingga tewas Dini Sera Afrianti.
Putusan tersebut sesuai dengan amar putusan yang dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim Erintuah Damanik pada Rabu 24 Juli 2024. Hakim Erintuah menyatakan, terdakwa Gregorius Ronald Tannur yang juga putra dari Politisi PKB itu dianggap tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan pembunuhan maupun penganiayaan yang menyebabkan tewasnya korban.
Baca Juga
Putusan Ronald Tannur bebas itu pun menuai beragam tanggapan. Salah satunya Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Prof Nur Basuki Minarno.
Advertisement
Menurut dia, putusan vonis bebas terhadap Ronald Tannur dari dakwaan pembunuhan kekasihnya Dini Sera Afriyanti itu tidak berdasar hukum.
"Menurut pendapat saya, putusan pengadilan negeri pada fakta-fakta yang ada di dalam persidangan itu tidak berdasar hukum," kata Prof Basuki di Surabaya, Kamis 25 Juli 2024.
Sementara itu, Kejaksaan Agung (Kejagung) pun akan mengajukan kasasi atas vonis bebas terdakwa Gregorius Ronald Tannur, anak dari Edward Tannur eks anggota DPR RI.
"Iya, kita akan mengambil langkah hukum kasasi karena hakim tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya," kata Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar.
Dia menjabarkan, pertimbangan dari mengajukan kasasi karena majelis hakim tingkat pertama tidak mempertimbangkan sejumlah bukti yang telah disodorkan jaksa penuntut umum.
"Semisal CCTV yang nampak telah muncul niat atau mens rea dari Ronald Tannur untuk menghabisi nyawa dari kekasihnya Dini, dengan melindas korban. Namun tidak dinilai oleh hakim, hanya karena tidak ada saksi saat kejadian," ucap Harli.
PKB juga turut angkat bicara. Wakil Ketua Umum PKB Jazilul Fawaid mengaku prihatin, dengan vonis bebas putra politikus PKB Ronald Tannur di kasus pembunuhan dan penganiayaan terhadap Dini.
Jazilul mendorong agar menempuh jalur hukum lain untuk mendapat keadilan. Namun, dia menyebut menghormati keputusan pengadilan tersebut.
"Kami prihatin dengan vonis yang diputuskan. Tetapi kami tetap harus menghormati pengadilan. Pengadilan itu kan ada proses tahapan hukum selanjutnya. Ya kita dorong juga kasasi, atau jalur hukum yang lain," kata Jazilul.
Berikut sederet respons berbagai pihak usai PN Surabaya vonis bebas Ronald Tannur, terdakwa kasus penganiayaan hingga tewas Dini Sera Afrianti dihimpun Liputan6.com:
Â
1. Guru Besar Unair Sebut Putusan Bebas Ronald Tannur Tak Berdasarkan Hukum
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Prof Nur Basuki Minarno menanggapi putusan vonis hakim Pengadilan Negeri Surabaya terhadap Gregorius Ronald Tannur.
Menurut dia, putusan vonis bebas terhadap Ronald Tannur dari dakwaan pembunuhan kekasihnya Dini Sera Afriyanti itu tidak berdasar hukum.
"Menurut pendapat saya, putusan pengadilan negeri pada fakta-fakta yang ada di dalam persidangan itu tidak berdasar hukum," kata Prof Basuki di Surabaya, Kamis 25 Juli 2024.
Ia menjelaskan maksud dari tidak berdasarkan hukum itu karena ada bukti-bukti dalam persidangan yang disuguhkan oleh jaksa penuntut umum (JPU) telah dikesampingkan majelis hakim.
"Salah satunya dia mengesampingkan terkait dengan hasil visum et repertum oleh ahli yang mana sebelum memberikan keterangan ahli telah mengangkat sumpah, terikat dengan sumpah. Kalau kemudian dikesampingkan seperti itu tanpa ada dasar yang kuat, tentu keliru dalam membuat putusan. Berarti salah dalam penerapan hukumnya," ujarnya.
Ia menambahkan melihat dalam surat dakwaan JPU, ada empat pasal yang menjadi dasar dakwaan. Yaitu, pasal 338 KUHP, pasal 351 ayat 3 KUHP, pasal 359 KUHP, dan 351 ayat 1 KUHP.
Yang perlu diketahui, dari ketiga pasal itu adalah, korbannya meninggal dunia, sedangkan kalau pasal 351 ayat 1 itu terkait dengan penganiayaan biasa.
"Lah, empat pasal itu kalau di dalam KUHP namanya delik materiil, yaitu yang dilarang adalah akibatnya. Oleh karena itu, dalam persidangan harus dibuktikan adanya hubungan langsung antara perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa dengan matinya korban atau penganiayaan yang diderita oleh si korban. Harus ada hubungan langsung," ujarnya.
Dalam perkara ini, tambahnya, JPU sudah mencoba upaya maksimal dengan mengajukan alat bukti dan barang bukti yang memperkuat bahwa matinya korban itu karena perbuatan yang dilakukan oleh pihak terdakwa, baik saksi, CCTV maupun visum et repertum.
"Saya membaca dari beberapa media, hasil visum et repertum dinyatakan bahwa matinya korban itu disebabkan hatinya mengalami pendarahan yang disebabkan benda tumpul," ungkapnya.
Memang, kata dia, kalau di dalam visum, tidak menyebutkan pelakunya. Hanya visum itu menjelaskan mengapa korban meninggal dunia, atau penyebab korban meninggal dunia, sehingga dalam visum et repertum itu tidak bisa menunjuk orang.
Oleh sebab itu, tegasnya, untuk membuktikan siapa pelakunya maka JPU harus menggunakan alat bukti lain. Ia lantas kembali mencontohkan, jaksa sudah mengajukan alat bukti CCTV tapi juga mengajukan saksi.
"Itulah yang akan membuktikan bahwa si terdakwa itu adalah pelakunya, sehingga si korban meninggal dunia," ucapnya.
Dirinya melihat dalam perkara ini bisa jadi kurang saksi, namun ia menegaskan bahwa dalam perkara tersebut saksinya adalah antara pelaku dengan korban saja.
Dalam kasus ini, korban pun sudah meninggal dunia, sehingga hanya pelaku saja yang mengetahui secara persis apa yang terjadi.
"Jaksa sudah menunjukkan adanya CCTV. Memang di dalam perkara ini kurang saksi. Barangkali saksinya itu antara pelaku dan korban, di mana korban sudah meninggal dunia, sehingga pertanyaannya, siapa pelakunya yang menyebabkan korban mengalami seperti diterangkan di visum," ungkapnya.
Meski visum tidak bisa menunjukkan siapa pelakunya, tetapi rekaman CCTV dan kronologi perkara menyebut tidak ada pelaku lain selain terdakwa.
"Dari visum tadi yang tidak bisa menunjuk siapa pelakunya, tapi dari CCTV kemudian kronologis perkara kan tidak ada pelaku lain selain si terdakwa. Karena di dalam keterangannya itu diterangkan, sebelumnya antara terdakwa dengan si korban telah mengalami cekcok," kata Nur Basuki.
Soal pertimbangan hakim yang menyebutkan kematian korban disebabkan oleh alkohol, Prof Basuki pun mempertanyakan dasar hukum yang dipakai oleh majelis hakim.
"Majelis hakim mempunyai pendapat seperti itu dasarnya apa? Apakah memang ada ahli yang menerangkan untuk itu atau tidak. Atau paling tidak, ada dokter yang barangkali pernah merawat si korban bahwa korban itu sebelumnya menderita penyakit tertentu sehingga kalau dia minum alkohol menyebabkan matinya si korban. Ini ada atau tidak? Kalau ini tidak pernah terungkap di persidangan, kemudian majelis hakim menyatakan bahwa matinya korban bukan karena atas perbuatan terdakwa tapi karena minuman keras, menurut saya tidak berdasar," tambahnya.
Soal upaya jaksa yang melakukan upaya hukum kasasi dianggapnya sebagai langkah yang tepat. Ia bahkan memberikan saran, agar kejaksaan sebagai wakil dari korban, mendalilkan bahwa putusan bebas itu adalah putusan bebas yang tidak murni.
Dengan salah satu alasannya adalah PN Surabaya memutus perkara ini ada kesalahan di dalam penerapan hukumnya.
Â
Advertisement
2. Kejagung Akan Ajukan Kasasi, Sebut Putusan Agak Laen
Kejaksaan Agung (Kejagung) resmi mengajukan kasasi atas vonis bebas terdakwa Gregorius Ronald Tannur, anak dari Edward Tannur eks anggota DPR RI yang bebas dari dakwaan pembunuhan Dini Sera Afrianti (29).
Upaya kasasi itu akan dilayangkan, merespons putusan yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Rabu 24 Juli 2024.
"Iya, kita akan mengambil langkah hukum kasasi karena hakim tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya," kata Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar, Kamis 25 Juli 2024.
Menurutnya, pertimbangan dari mengajukan kasasi karena majelis hakim tingkat pertama tidak mempertimbangkan sejumlah bukti yang telah disodorkan jaksa penuntut umum.
Semisal CCTV yang nampak telah muncul niat atau mens rea dari Ronald Tannur untuk menghabisi nyawa dari kekasihnya Dini, dengan melindas korban. Namun tidak dinilai oleh hakim, hanya karena tidak ada saksi saat kejadian.
"Pertimbangan hakim yang didasarkan hanya pada tidak ada saksi sangat tidak beralasan. Karena hakim tidak secara utuh mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan oleh JPU misalnya bukti CCTV," tuturnya.
Sedangkan untuk pertimbangan Ronald pengaruh alkohol saat kejadian, Harli melihat persoalan itu seharusnya tidak menjadi alasan menggugurkan tindakan penganiayaannya.
"Artinya begini, alkohol apa bisa membuat orang meninggal? Kan harus ada dipicu dengan yang lain. Namanya orang dilindas, misalnya dia sudah minum alkohol tapi yang kita dakwaan soal melindasnya. Membunuhnya," tuturnya.
"Justru menurut kita kalau hakim hanya mempertimbangkan kematian korban itu hanya karena efek alkohol. Sangat sumir," tambah Harli.
Oleh sebab itu, Harli mengatakan pihaknya akan segera menyusun memori kasasi yang akan diajukan untuk sidang tingkat akhir di Mahkamah Agung (MA) sebagai upaya menjerat kembali Ronald Tanur.
"Saat ini kita sedang menunggu salinan putusan pengadilan sebagai dasar penyusunan memori kasasi. Ada waktu 14 hari untuk menyatakan kasasi dan 14 hari setelah itu untuk mengajukan memori kasasinya," ucap Harli.
Dia juga menyebut, putusan PN Surabaya tersebut sangat berbeda dari yang biasanya.
"Bahwa pelaku misalnya pada akhirnya dia mencoba menolong ya itu hal yang meringankan kalaupun itu bisa menjadi pertimbangan. Tapi niatnya, mens rea sudah melakukan pembunuhan di mana actus reus ya dia melindas, dia menampar dahulu," tutur Harli.
"Makanya putusan kali ini agak laen kita melihatnya," sambungnya.
Harli menyatakan, vonis hakim PN Surabaya terhadap Gregorius Ronald Tannur tidaklah memenuhi rasa keadilan masyarakat. Majelis pun dinilai tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya, menggunakan pertimbangan yang sangat sumir, serta tidak didasarkan fakta yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan fakta di lapangan.
Untuk itu, Kejagung memastikan untuk mengajukan langkah hukum kasasi atas putusan bebas PN Surabaya terhadap Gregorius Ronald Tannur.
"Yang paling miris, dakwaan itu tidak hanya pembunuhan tapi banyak lapisnya, tapi nggak ada yang kena. Menampar memukul itu kan sudah bagian dari penganiayaan dan jaksa sudah berupaya, kita tuntut 12 tahun," tegas Harli.
Â
3. Komisi Yudisial Pelajari Putusan
Komisi Yudisial (KY) angkat bicara. Juru Bicara KY Mukti Fajar Nur Dewata menegaskan KY akan turun tangan melakukan penyelidikan.
"Putusan ini menimbulkan perhatian publik, maka KY menggunakan hak inisiatifnya untuk melakukan pemeriksaan pada kasus tersebut," ujar Mukti Fajar dalam keterangannya, Kamis 25 Juli 2024.
Mukti mengatakan, putusan hakim menimbulkan tanda tanya dan kontroversi di tengah masyarakat.
Padahal, kata dia, Jaksa sebelumnya menuntut hukuman 12 tahun pidana penjara dan membayar restitusi pada keluarga korban atau ahli waris senilai Rp 263,6 juta subsider 6 bulan.
Mukti mengatakan, walau KY tidak bisa menilai suatu putusan, tetapi sangat memungkinkan bagi KY untuk menurunkan tim investigasi, serta mendalami putusan tersebut.
"Guna melihat dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH)," jelas dia.
KY juga mempersilakan kepada publik untuk melaporkan dugaan pelanggaran kode etik hakim jika ada bukti-bukti pendukung agar kasus tersebut dapat ditindaklanjuti sesuai prosedur berlaku.
Â
Advertisement
4. Ahmad Sahroni Kritik Vonis Bebas Ronald Tannur
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni mengutuk keras vonis bebas Ronald Tannur. Dia pun menyebut putusan hakim itu memalukan.
"Saya dengan lantang mengutuk vonis bebas ini, terlebih sebagai pimpinan Komisi III yang membidangi hukum dan HAM, saya merasa sangat malu dengan putusan tersebut. Rusak penegakkan hukum kita," kata dia dalam keterangannya.
Politikus NasDem ini mengungkapkan, kasus ini bukti jelas serta rekaman ada, bahkan korbannya pun meninggal.
"Masa iya pelakunya bebas? Ngaco aja, jauh sekali dari tuntutan Jaksa," jelas dia.
Sahroni pun meminta agar dilakukan banding. Dia pun meminta Komisi Yudisial pun diminta untuk memeriksa para hakim yang mengadili perkara, karena diduga terdapat kesalahan atau kecacatan proses.
"Maka dari itu, saya minta Komisi Yudisial periksa semua hakim yang menangani perkara tersebut. Karena para hakim dengan jelas menampilkan sebuah kecacatan hukum kepada masyarakat," ungkap dia.
Sebab menurut Sahroni, hukuman terhadap pelaku akan sangat mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap penegakkan hukum.
"Kepercayaan masyarakat terhadap penegakkan hukum sedang dipertaruhkan. Jangan hukum jadi tebang pilih begini, mentang-mentang anak siapa jadi berbeda perlakuannya. Sangat memuakkan dan memalukan," ucap Sahroni.
Dia mengecam putusan Hakim PN Surabaya. Putusan Hakim PN Surabaya itu dinilai tak berpihak kepada korban.
"Terkait dengan putusan Pengadilan Negeri Surabaya, saya sudah sampaikan kemarin ini hakimnya sakit," ucap Sahroni.
"Mungkin dia enggak punya anak, seorang anak perempuan yang bisa merasakan bagaimana perempuan ini diperlakukan tidak selayaknya, yang herannya jaksa penuntut umum sudah melayangkan 12 tahun penjara," sambung dia.
Oleh sebab itu, Politikus NasDem meminta Hakim PN Surabaya yang memutuskan vonis diawasi untuk mengungkap alasan yang membuat hakim memberikan vonis bebas terhadap Ronald Tannur.
"Terang benderang bahwa tindak pidana yang jelas sangat pada tahun 2023, dengan penganiayaan yang menyebabkan seorang perempuan meninggal dunia, ini kan fatal," kata dia.
Lebih lanjut, Bendahara Umum (Bendum) Partai NasDem itu juga mendorong agar Hakim PN Surabaya diperiksa. Menurut dia putusan Hakim PN Surabaya itu memalukan.
"Para pihak harus memberikan satu sumbangsih untuk periksa hakimnya secara menyeluruh, apa yang terjadi diputuskan yang bersangkutan bebas," pungkas Sahroni.
Â
5. Fraksi PKB Dukung JPU Kasasi, Waketum Sebut Ayah Ronald Tannur Masih Aktif di Partai
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PKB Rano Alfath mendukung penuh langkah Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan kasasi atas putusan bebas Ronald Tannur terdakwa pembunuhan Dini Sera Afrianti oleh hakim Pengadilan Negeri Surabaya. Dia menilai putusan bebas terhadap Ronald Tanur menciderai rasa keadilan publik.
"Kami mendukung penuh langkah yang diambil jaksa penuntut umum untuk mengajukan kasasi putusan bebas Ronald Tannur terdakwa pembunuhan Dini Sera Afrianti ke Mahkamah Agung. Kami menilai putusan tersebut menciderasi rasa keadilan publik," ujar Rano di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis 25 Juli 2024.
Rano menegaskan penetapan Ronald Tannur sebagai tersangka telah melalui proses penyidikan mendalam. Polisi pun telah mengumpulkan berbagai barang bukti mulai dari CCTV hingga memeriksa saksi di sekitar tempat lokasi kejadian perkara.
"Terdakwa juga diketahui merupakan orang terakhir yang bersama korban dan diketahui tengah cekcok sebelum korban meninggal. Jadi agak janggal jika kemudian dengan konstruksi kasus yang ada lalu ada putusan bebas murni," katanya.
Rano menegaskan kasus pembunuhan Dini Sera Afrianti ini merupakan kasus yang menjadi perhatian publik. Tidak hanya karena proses kematian korban yang tergolong sadis, tetapi juga karena status terdakwa pembunuhan sebagai anak pejabat negara.
"Maka wajar jika perhatian publik terhadap kasus ini cukup besar karena khawatir adanya perlakukan berbeda dalam proses penyidikan maupun proses peradilan kepada terduga pelaku," ucap Rano.
Putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya, lanjut Rano, menebalkan persepsi publik jika hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Maka Fraksi PKB DPR RI mendukung sepenuhnya langkah JPU dari Kejaksaan Negeri Surabaya untuk melakukan Kasasi.
"Kami mendukung langkah tersebut dan berharap ada keputusan adil dari majelis hakim di tingkat Mahkamah Agung," terang Rano.
Legislator asal Banten III ini menegaskan jika Fraksi PKB berkomitmen penuh agar ada keadilan bagi pelaku dan korban dalam kasus pembunuhan Dini Sera Afrianti. Menurutnya meskipun terduga pelaku adalah anak mantan anggota Fraksi PKB, tetapi secara kelembagaan PKB berkomitmen untuk berdiri di pihak korban.
"Kami tidak akan melindungi siapapun yang terbukti bersalah secara hukum meskipun mereka anggota kami atau keluarga dari anggota kami," pungkas Rano.
Tak jauh berbeda, Wakil Ketua Umum PKB Jazilul Fawaid mengaku prihatin, dengan vonis bebasnya putra politikus PKB Ronald Tannur di kasus pembunuhan dan penganiayaan terhadap Dini.
Jazilul mendorong agar menempuh jalur hukum lain untuk mendapat keadilan. Namun, dia menyebut menghormati keputusan pengadilan tersebut.
"Kami prihatin dengan vonis yang diputuskan. Tetapi kami tetap harus menghormati pengadilan. Pengadilan itu kan ada proses tahapan hukum selanjutnya. Ya kita dorong juga kasasi, atau jalur hukum yang lain," kata Jazilul.
"Yang jelas kami tidak akan berprasangka buruk terhadap institusi pengadilan yang ada. Kami tetap hormati, tapi kami prihatin," sambungnya.
Kendati demikian, Jazilul merasa heran dengan vonis putusan Ronald Tannur. Dia pun mempertanyakan bukti-bukti dan keterangan dalam kasus tersebut.
"Kok bisa gitu ya. Apakah bukti-bukti apakah keterangan, apakah dalam proses ada soal di situ. Kami tidak sampai di situ. Tapi yang jelas kami turut prihatin terhadap vonis bebas itu," ungkap dia.
Lebih lanjut, perihal ayahanda Ronald Tannur, Edward Tannur masih aktif menjadi kader PKB. Jazilul menegaskan, kasus Ronald Tannur tak ada kaitannya dengan keanggotaan Edward Tannur di PKB.
"Masih. Masih. Kemarin nyalon lagi. Belum berhasil. Dan itu nggak ada hubungannya. Itu anak kok," jelas Jazilul.
"Kan dalam hukum pidana enggak bisa kemudian seorang ayah dia sekaligus bertanggung jawab dengan pidana yang dilakukan anaknya. Dan sekali-kali di Indonesia jangan hubungkanlah," tambahnya.
Dia pun meminta agar seluruh pihak tak mengait-ngaitkan kasus anak dengan keluarganya. Terlebih, melibatkan partai yang menaungi Edward saat ini.
"Sering kali kita menganggap bahwa kalau terjadi dalam keluarga itu, satu keluarga yang rusak. Enggak juga. Ini hukum pidana semuanya berjalan. Semua ada. Jadi jangan juga kemudian. Terus abis itu, kami PKB disebut semuanya juga. Nggak lah. Nggak ada hubungannya. Ini perilaku yang dilakukan Ronald," tegas dia.
"Dan Ronald sudah mempertanggungjawabkan. Dan sudah divonis. Bahwa vonis bebas itu kita nggak bisa intervensi. Kita cukup prihatin saja," tandas Jazilul.
Â
Advertisement
6. Sekjen PAN Sebut Majelis Hakim Harus Diperiksa
Vonis bebas Ronald Tannur menjadi kontroversi di tengah masyarakat. Sekjen PAN Eddy Soeparno menyebut putusan bebas Ronald Tannur mengusik rasa keadilan di tengah masyarakat.
"Kekerasan yang dilakukan Ronald Tannur sangat jelas, bukti audio visualnya ada dan viral dilihat oleh masyarakat. Apa penjelasannya vonisnya justru bebas? Ini yang mengusik rasa keadilan masyarakat," kata Eddy dikutip Kamis 25 Juli 2024.
"Bahkan andaikata Dini korbannya tidak meninggal pun, Ronald Tannur secara jelas menganiaya Dini Sera Afrianti. Kali ini secara jelas fakta dan bukti yang dikumpulkan kejaksaan jelas menunjukkan penganiayaan hingga korban meninggal. Inilah yang membuat publik bereaksi dan memprotes putusan ini," lanjutnya.
Sebagai Sekjen PAN, Eddy akan mendorong Pimpinan Komisi III DPR RI dari PAN untuk mendalami putusan majelis hakim yang membebaskan terdakwa.
"Di internal, saya mendorong pimpinan komisi hukum dari PAN untuk melakukan pendalaman terhadap majelis hakim yang memberikan putusan janggal, yaitu bebas," ucap Eddy.
Selanjutnya, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI ini juga menyampaikan, agar Komisi Yudisial bergerak cepat merespons putusan ini dan lebih jauh untuk melibatkan aparat penegak hukum untuk melakukan investigasi mengenai latar belakang keputusan majelis hakim membebaskan Ronald Tannur.
"Jika diperlukan, peran KPK juga bisa dilibatkan untuk memastikan tidak ada potensi korupsi maupun gratifikasi yang menjadi latar belakang putusan bebas ini. Terakhir kami berpesan, jangan sampai institusi kehakiman tercederai reputasinya karena putusan hakim yang agak di luar nalar ini," tutup Anggota DPR RI Dapil Kota Bogor dan Cianjur ini.
Â
7. Komisi III DPR Minta KY Periksa Hakim Pemberi Vonis Bebas ke Ronald Tannur
Anggota Komisi III DPR RI, Sari Yuliati mengaku prihatin soal vonis bebas diberikan kepada Gregorius Ronald Tannur, seorang pembunuh pacarnya Dini Sera Afriyanti. Menurut Sari, sosok paling layak dimintai pertanggung jawaban atas putusan tersebut adalah Hakim Erintuah Damanik.
"Keputusan ini mengejutkan dan menimbulkan pertanyaan serius mengenai integritas serta keadilan dalam proses peradilan tersebut. Kami mendesak Komisi Yudisial (KY) untuk segera melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap ketiga hakim yang menangani perkara tersebut," ucap Sari melalui keterangan tertulis, Jumat (26/7/2024).
Sari meyakini, andil dari KY menjadi penting untuk memastikan setiap proses pengambilan keputusan dilakukan dengan obyektif, jujur, dan tanpa adanya pengaruh-pengaruh yang merugikan rasa keadilan.
"KY berperan penting dalam menjaga integritas hakim dalam proses peradilan. Maka dari itu, segera periksa ketiga hakim tersebut harus secara menyeluruh dan transparan," pinta dia.
Selain KY, Sari mendesak Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk segera mengajukan upaya kasasi terhadap putusan itu. Dia percaya, ada cukup bukti dan dasar hukum yang kuat untuk membuktikan kesalahan Gregorius Ronald Tannur sebab keputusan bebas dari hakim tidak mencerminkan kebenaran.
"Putusan bebas ini tidak hanya melukai perasaan korban dan keluarga, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap sistem peradilan di Indonesia dan tentu sangat melukai akal sehat kita sebagai manusia," kritik kader Partai Golkar ini.
"Apalagi di dalam putusannya hakim mengatakan tidak menemukan bukti yang meyakinkan, padahal telah beredar luas di tengah-tengah masyarakat rekaman CCTV yang menunjukan kekejaman terdakwa kepada korban," imbuhnya heran.
Sari lalu mengajak seluruh elemen masyarakat, media, dan pemangku kepentingan untuk turut serta mengawasi dan mendukung proses hukum yang sedang berlangsung. Secara bersama-sama, dia percaya dapat menciptakan sistem peradilan yang adil, transparan, dan akuntabel.
"Setiap putusan hakim harus didasarkan pada bukti dan hukum yang berlaku, tanpa adanya intervensi atau pengaruh eksternal. Ini bukan hanya untuk kasus Gregorius Ronald Tannur, tetapi juga untuk kasus-kasus yang lainnya demi menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan secara keseluruhan," desak dia.
"Hakim selain harus punya mata hati, juga harus punya mata, literally mata, karena dalam kasus ini sudah terlihat dengan jelas bagaimana korban diperlakukan oleh terdakwa," imbuh Sari memungkasi.
Advertisement