Sukses

Hasto PDIP Nilai Kudatuli adalah Ekstra Ordinary Crime dan Pelanggaran HAM Berat

PDIP, kata Hasto berharap negara dapat mengakui peristiwa Kudatuli sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat. Hasto bilang, peristiwa Kudatuli mengajarkan bahwa kekuatan arus bawah tidak bisa dibungkam.

Liputan6.com, Jakarta - Sekjen PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto menilai peristiwa Kudatuli atau penyerangan 27 Juli 1996 bukan sekedar menggambarkan hukum yang otoriter yang menyerang kedaulatan PDIP. Kudatuli, kata Hasto adalah kejahatan luar biasa.

Hal ini disampakan Hasto dalam pidatonya di acara peringatan 28 tahun peristiwa Kudatuli di Kantor DPP PDIP, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta, Sabtu (27/7/2024).

"Kudatuli adalah suatu ekstra ordinary crime, suatu kejahatan yang luar biasa, suatu pelanggaran HAM berat," kata Hasto.

PDIP, kata Hasto berharap negara dapat mengakui peristiwa Kudatuli sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat. Hasto bilang, peristiwa Kudatuli mengajarkan bahwa kekuatan arus bawah tidak bisa dibungkam.

"Ia (kudatuli) adalah serangan terhadap kemanusiaan serangan terhadap peradaban serangan terhadap sistem hukum dan demokrasi dan serangan terhadap kedaulatan rakyat itu sendiri," jelas Hasto.

Dia menyampaikan, peristiwa kudatuli juga mencerminkan watak kekuasaan yang otoriter. Sehingga, kata dia dalam memperingati peristiwa Kudatuli, kader hingga simpatisan PDIP diajak terus menggelorakan semangat perjuangan.

"Ini sekaligus mengingatkan kalau yang namanya watak kekuasaan pada dasarnya kekuasaan itu muncul bukan melekat pada diri si aktor," kata dia.

Kekuasaan, lanjut Hasto pada dasarnya muncul dari suatu kekuatan kolektif dan ide dari rakyat yang mendambakan kemerdekaan, hak perserikatan dan berkumpul.

"Kekuasaan arus bawah mampu melawan berbagai tembok-tembok kekuasaan yang lupa diri makna sejatinya kekuasaan untuk rakyat untuk kepemimpinan Indonesia bagi dunia," ujar Hasto.

2 dari 4 halaman

Peringati Kudatuli, PDIP Desak Komnas HAM Nyatakan Sebagai Pelanggaran Berat

Ratusan kader dan simpatisan PDI Perjuangan melakukan longmarch sambil membawa spanduk dan bendera Merah Putih dari kantor DPP PDIP, Jalan Diponegoro menuju ke Kantor Komnas HAM Jalan Latuharhary saat memperingati peristiwa Kudatuli, Jumat (26/7/2024).

Agenda tersebut dalam rangka mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merekomendasikan peristiwa Kudatuli  agar dinyatakan sebagai kasus pelanggaran HAM berat.

Dalam aksi ini, selain simpatisan PDIP juga turut diikuti oleh keluarga korban peristiwa Kudatuli. Mereka tampak memakai kaus hitam dengan membawa bendera merah putih dan payung hitam.

Ketua DPP PDIP Djarot Syaiful Hidayat saat berorasi di depan Kantor Komnas HAM berharap Kudatuli tidak lagi terjadi pada pemerintahan yang akan datang. Dia menegaskan, keadilan harus ditegakkan dan kebenaran harus disuarakan.

"Kami mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk merekomendasikan kepada pemerintah agar peristiwa penyerangan Kantor DPP PDI Pro Mega di Jalan Diponegoro nomor 58 Jakarta Pusat pada tanggal 27 Juli 1996 ditetapkan sebagai kasus pelanggaran HAM berat dan menjadi tanggung jawab pemerintah," kata dia.

Ia menilai, di dalam kasus pelanggaran HAM berat meskipun peristiwa penyerangan ini terjadi 28 tahun yang lalu tidak ada masa kedaluarsanya.

Djarot mengatakan, penyerangan yang terjadi pada 27 Juli 1996 lalu itu merupakan bentuk intervensi politik pemerintah Orde Baru kepada kubu PDI Pro Mega.

Saat itu, rezim Orba disebut mendorong massa pro Soerjadi untuk melakukan penyerangan. "Akibat dari penyerangan tersebut Komnas HAM menemukan fakta, 149 orang luka-luka. 9 orang tewas dan 23 orang hilang," ungkap Djarot.

 

3 dari 4 halaman

Menyelesaikan Kajian

Sementara, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Atnike Nova Sigiro mengatakan, pihaknya tengah menyelesaikan kajian peristiwa Kudatuli atau penyerangan terhadap kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia (DPP PDI) yang terjadi pada 27 Juli 1996 silam.

Menurutnya, hasil kajian tersebut akan dibawa ke DPR RI. Dari situ, Komnas HAM akan menentukan apakah peristiwa tersebut masuk sebagai pelanggaran HAM berat atau tidak.

"Dalam tempo yang tidak terlalu lama, (diharapkan) kajiannya sudah selesai. Tetapi itu belum dibahas dan finalkan di tingkat paripurna," ujar Atnike saat audiensi dengan perwakilan DPP PDIP di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat.

Atnike menuturkan, Komnas HAM menggarap kajian ini secara serius meski peristiwa penyerangan tersebut terjadi sekitar 28 tahun yang lalu.

"Kami berkomitmen serius untuk mengerjakan kajian maupun nanti apa langkah-langkah ke depan yang akan menjadi keputusan Komnas HAM," kata dia.

4 dari 4 halaman

Amnesty Internasional: Kudatuli Cermin Intervensi Politik Pemerintah

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menyoroti kerusuhan 27 Juli 1996 atau yang dikenal sebagai peristiwa Kudatuli. Dia mengatakan, peristiwa tersebut merupakan produk dari intervensi politik pemerintah.

Usman menjelaskan bahwa serangan terhadap Kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada 27 Juli 1996 silam seharusnya disebut "raid" atau penyerangan, bukan "riot" atau kerusuhan.

“Istilah serangan itu, itu menunjukkan ada satu pihak dari otoritas keamanan bersama sekelompok preman yang secara sengaja menggunakan kekerasan, menyerang sekretariat PDI, dan menggunakan kekerasan untuk menyingkirkan seluruh orang -orang yang ada di sana,” kata Usman dalam diskusi bertajuk “Kudatuli, Kami Tidak Lupa” di kantor DPP PDIP di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (20/7/2024).

Usman menambahkan bahwa serangan tersebut bertujuan untuk menyingkirkan kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, sebagai bagian dari upaya penyingkiran oposisi politik.

“Jadi, sampai di titik itu, jelas peristiwa 27 Juli adalah peristiwa yang lahir sebagai produk dari intervensi politik kekuasaan, termasuk politik kekerasan negara berupa pengambilalihan paksa dan penangkapan, penyerangan, dan lain-lain gitu," ucap dia.

Ia juga menekankan keterlibatan aparat keamanan dalam serangan tersebut, meskipun beberapa menggunakan seragam sipil.

“Tetapi, kalaupun aparat TNI misalnya menggunakan seragam sipil, aparat kepolisian juga masih jelas menggunakan seragam resmi dan ikut melakukan penyerangan atau pembubaran aksi mimbar bebas yang ada di dalam areal kantor PDI ketika itu," ucap Usman Hamid.

Video Terkini