Sukses

Deddy Sitorus PDIP Sebut Sejak 2019, Jokowi Mulai Bersikap Palsu

Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Deddy Yevri Hanteru Sitorus mengatakan, baru mulai sadar bahwa Presiden Joko Widodo atau Jokowi bersikap palsu sejak 2029.

Liputan6.com, Jakarta Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Deddy Yevri Hanteru Sitorus mengatakan, baru mulai sadar bahwa Presiden Joko Widodo atau Jokowi bersikap palsu sejak 2029.

Hal ini disampaikannya dalam diskusi bertajuk "26 Tahun Reformasi Dihancurkan Presiden RI Jokowi".

"Kapan kita mulai sadar sebenarnya. Kita mulai sadar bahwa Pak Jokowi ini fake, itu tahun 2019. Sehari setelah penetapan MK, terhadap putusan hasil pemilu," kata Deddy Sitorus dalam keterangannya, Kamis (1/8/2024).

Deddy bercerita saat itu Jokowi mengundang para pengacara untuk datang ke Istana dan Jokowi bertanya mengenai kemungkinan dirinya menjabat 3 periode.

"Dikira mau diucapkan terima kasih, diajak makan-makan, mungkin diharapkan jadi komisaris atau apa, ternyata yang ditanya gimana caranya tiga periode," katanya.

"Itu yang saya dengar dari salah seorang yang ikut dalam acara itu. Hari itu pikiran untuk 3 periode hadir hanya sehari setelah hasil Pemilu 2019 ditetapkan MK," sambungnya.

Dari momen itulah, kata dia, dalam pemerintahan Jokowi mulai membelokan hukum hingga penyanderaan demokrasi. Selain itu, Jokowi lebih memilih ngopi dengan orang kaya daripada dengan rakyat.

"Dan sejak 2019 itu juga para konglomerat oligarki mulai sering datang makan minum di Istana. Apalagi karena di Istana Bogor, kalau istana negara mungkin gampang orang melihat keluar masuk. Tapi karena di istana Bogor nggak tahu. Kita justru dapat informasi itu dari orang dekat Jokowi. Bahwa bapak sering ngopinya sama orang-orang kaya. Bukan lagi sama rakyat," ujarnya.

 

2 dari 3 halaman

Balik Lagi

Atas dasar itu, Deddy lantas membandingkan kondisi saat ini dengan era Reformasi yang ditandai dengan tumbangnya rezim otoriter Orde Baru Soeharto. 

"Ini kita kembali ke zaman Reformasi itu. Semua kesalahan itu ada Soeharto. Sekarang semua ada pada Jokowi. Kan gitu. Balik lagi kita ini mengulang sejarah," sesalnya.

Deddy pun menyoroti berbagai tanda bahwa situasi saat ini seperti kembali ke zaman Orba. Antara lain telah terjadi pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

"UU KPK dilemahkan. Melemahkan KPK ya, Bung Saut (mantan Wakil Ketua KPK). Kalau saya tidak salah itu terkait dengan pencalonan untuk mengamankan pada waktu itu, salah satu kota di Sumatera dan salah satu kota di pulau Jawa. Karena tidak mau ada masalah. Dan berhasil. Kita ikutan nih. Dengan harapan agenda cuma satu. Ada Dewas yang bisa menjaga kemurnian KPK. Yang terjadi bablas," katanya.

3 dari 3 halaman

Jelang Akhir Era Jokowi, Utang Pemerintah Tembus Rp 8.444 Triliun

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat kondisi utang pemerintah hingga Juni 2024 atau semester I-2024 telah mencapai Rp 8.444,87 triliun. Utang tersebut naik sebesar Rp 91,85 triliun dari posisi utang bulan sebelumnya yang senilai Rp 8.353,02 triliun.

Dikutip dari dokumen APBN KiTa 2024, meningkatnya jumlah utang tersebut mendorong rasio utang pemerintah turut terkerek naik dari 38,71 persen menjadi 39,13 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada Juni 2024.

 Kendati mengalami peningkatan, namun posisi utang itu masih di bawah batas aman yang ditetapkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yakni 60 persen terhadap PDB.

Jumlah utang pemerintah per akhir Juni 2024 tercatat Rp 8.444,87 triliun. Rasio utang per akhir Juni 2024 yang sebesar 39,13 persen terhadap PDB, tetap konsisten terjaga di bawah batas aman 60 persen PDB sesuai UU Nomor 17 tahun2003 tentang Keuangan Negara," tulis Kemenkeu dikutip Rabu (31/7/2024).

Adapun dalam laporannya, Kemenkeu mencatat utang pemerintah terdiri atas dua jenis, diantaranya berbentuk surat berharga negara (SBN) dan pinjaman.

Namun secara mayoritas utang pemerintah per akhir Juni 2024 didominasi oleh instrumen SBN yaitu 87,85 persen dan sisanya pinjaman 12,15 persen.

Untuk rinciannya, hingga Juni 2024 jumlah utang pemerintah dalam bentuk SBN mencapai Rp 7.418,76 triliun, yang terdiri dari SBN domestik sebesar Rp 5.967,70 triliun yang berasal dari Surat Utang Negara (SUN) sebesar Rp 4.732,71 triliun dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebesar Rp 1.234,99 triliun.

Sementara, utang pemerintah dalam bentuk SBN valuta asing tercatat Rp 1.451,07 triliun, dengan rincian berasal dari Surat Utang Negara Rp 1.091,63 triliun dan SBSN Rp 359,44 triliun.