Sukses

E-waste, Racun yang Terabaikan

Berdasarkan laporan United Nations Global E-waste yang dirilis Maret 2024, pada tahun 2022 dunia menghasilkan 62 juta metrik ton sampah elektronik.

Liputan6.com, Jakarta Senyum Waryanto semringah ketika Liputan6.com datang menyambangi rumahnya di Sumur Batu, Bantargebang, Kota Bekasi, Jawa Barat. Setelah berjabat tangan dia langsung mempersilahkan kami untuk melihat gudang pemilahan sampah miliknya. Lokasinya hanya di samping dan belakang rumah Waryanto.

Tumpukan sampah elektronik yang masih terbungkus menghiasi sekitar rumahnya. Sebagai pengepul sampah, barang-barang rongsokan itu adalah sumber uang. Sampah karungan itu didatangkan Waryanto dari berbagai pelapak langganannya. 

Pria 41 tahun ini mulai fokus usaha memanfaatkan sampah elektronik sejak 2012. Siang itu, beberapa pekerja tampak melakukan aktivitas. Berbagai suara dihasilkan dari pekerjaan yang dilakukan karyawannya. 

Suara memecahkan berbagai barang menggunakan palu menarik perhatian kami. Saat ditemui, salah satu karyawan Waryanto sedangkan memecahkan berbagai perangkat elektronik berukuran kecil. Misalnya kipas angin portable mini hingga berbagai mainan anak-anak. 

Gerakan tangannya cekatan untuk memisahkan berbagai komponennya. Sejumlah boks berukuran 50x30 centimeter disediakan untuk berbagai komponennya. Mulai dari plastik, PCB, hingga berbagai kabel. 

"Ini dipilah antara plastik sama komponen dalamnya. Biar mudah waktu mau diproses lanjutan," kata dia kepada Liputan6.com. 

Sementara itu suara mematahkan plastik bekas pendingin ruangan terdengar seperti renyahan kerupuk. Sampah itu dipisahkan berdasarkan warnanya. Hal itu untuk mempermudah dalam pencacahan.

Untuk pengelolaan lanjutan hingga berbentuk biji plastik biasanya Waryanto bekerja sama dengan pihak lain. Biji plastik tersebut nantinya dikirim ke luar negeri ataupun domestik. Dia mengaku banyak mendulang keuntungan dari bisnis daur ulang komponen plastik yang terdapat pada perangkat elektronik. 

Kemudian pendapatan lainnya juga diperoleh dari pengumpulan jenis logam dari berbagai komponen yang ada pada perangkat elektronik. Contohnya tembaga, kuningan, perak, hingga emas. Biasanya pria asal Blora, Jawa Tengah ini menerapkan sistem bagi hasil dengan karyawan untuk pengumpulan logam.

Untuk mendapatkan berbagai material logam tersebut Waryanto melakukan peleburan ke jasa pihak lainnya setiap tiga bulan sekali. Lanjut dia, dalam suatu tahun pihaknya mampu mengumpulkan campuran logam sampai 20 kuintal.

"Untuk peleburan tembaga ataupun pencacahan untuk plastiknya tidak di sini. Tapi ke pihak lain yang ada mesinnya dan kita bayar. Soalnya enggak boleh dekat dengan permukiman," jelas dia.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Daur Ulang Limbah Elektronik Melibatkan Sektor Informal

Waryanto merupakan satu dari puluhan orang di sekitar kawasan Bantargebang yang berprofesi mengelola sampah-sampah elektronik. Bahkan ada puluhan warga pula yang melakukan praktik daur ulang termasuk peleburan. Dalam peleburan mereka menargetkan mendapat kandungan tembaga, perak, hingga emas.

Ketua Koalisi Persampahan Nasional Bagong Suyoto menyatakan bahwa daur ulang limbah elektronik masih banyak melibatkan sektor informal. 

Praktik daur ulang termasuk peleburan masih dilakukan secara tradisional atau tidak memakai peralatan yang seusai standar yang ditentukan. Padahal e-waste termasuk golongan sampah dengan bahan berbahaya dan beracun (B3).

Seharusnya pengelolaan e-waste dilakukan secara profesional. Bahkan perusahaan yang menjalankannya harus izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sedangkan saat ini banyak pemerintah daerah belum melaksanakan aturan tersebut. 

"Jadi, harus dari pusat izinnya. Nah, rata-rata yang ngerjain limbah elektronik ini sektor informal," kata Bagong kepada Liputan6.com. 

Kata dia, banyak para pemulung sampah hingga pelapak tidak mengetahui dan paham terkait standar penanganan yang telah ditentukan. Sebab mereka hanya memikirkan bisnis untuk bertahan hidup. Meskipun zat kimia dalam komponen perangkat elektronik merupakan ancaman untuk jangka panjang.

Mulai dari dampak lingkungan dan kesehatan. Misalnya ancaman penyakit kanker hingga gangguan alat reproduksi. Komponen yang berbahaya pada e-waste yakni timbal, merkuri, tembaga, hingga kadmium.

"Mereka enggak paham, ternyata di dalam limbah e-waste ini ada bahayanya," ucap dia.

Bagong meminta pemerintah dapat melakukan pendataan kepada sektor informal yang melakukan pengelolaan limbah elektronik. Karena hal itu dia meminta kepada pemerintah daerah untuk memberikan penyuluhan ataupun pembinaan kepada sektor informal terkait pengelolaan sampah elektronik.

"Nah, ini seharusnya pemerintah melakukan advokasi, melakukan monitoring, pembantuan kepada mereka," tandas Bagong.

3 dari 4 halaman

Dampak Panjang Daur Ulang E-waste untuk Kesehatan

Penggunaan berbagai peralatan elektronik sudah akrab dengan keseharian masyarakat. Mulai dari ponsel, komputer, televisi, rice cooker, hingga kulkas. Barang-barang tersebut nantinya akan menjadi sampah elektronik atau e-waste bila sudah usang dan tak terpakai lagi. 

E-waste dibedakan menjadi dua kategori yakni industri dan rumah tangga. Untuk e-waste hasil dari rumah tangga dalam pengelolaannya diatur dalam peraturan daerah. Sedangkan untuk limbah perusahaan masuk dalam Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER). 

Berdasarkan laporan United Nations Global E-waste yang dirilis Maret 2024, pada tahun 2022 dunia menghasilkan 62 juta metrik ton sampah elektronik. Jumlah tersebut mengalami peningkatan sebanyak 82 persen dibandingkan tahun 2010. Bahkan diperkirakan meningkat 32 persen hingga mencapai 82 juta metrik ton pada tahun 2030.

Masalah sampah elektronik juga menghantui Indonesia. Bisa dibayangkan berapa jumlah sampah elektronik yang akan dikeluarkan pada beberapa tahun ke depan. Mengingat betapa banyaknya jumlah penduduk dan tingginya tingkat produksi alat elektronik setiap tahun. 

Apalagi masyarakat sering gonta ganti produk elektronik dan pilihan untuk memperbaiki terbatas. Saat ini siklus produk elektronik sangat pendek sedangkan pengelolaan e-waste belum memadai.

Peneliti Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dede Anwar Musadad mengatakan bahwa WHO telah memberikan peringatan terkait perkembangan limbah elektronik yang cukup pesat. Sebab paparan e-waste yang ditimbulkan dari proses peleburan juga berdampak pada kesehatan. 

Dampak yang ditimbulkan tidak langsung terlibat namun prosesnya melalui beberapa mekanisme. Pertama yaitu berasal dari zat-zat kimia dari lingkungan akibat adanya penimbunan atau dibuang di permukaan tanah. 

Secara otomatis zat kimia ataupun logam berat itu akan menyebar dan larut ke tanah kemudian masuk ke sumber air. Kedua yakni terjadi jika zat kimia masuk dalam manusia melalui pencemaran udara. 

"Jadi pada saat diolah, dihancurkan si elektronik itu, dia akan mengeluarkan zat-zat kimia yang berbahaya. Bahkan dari beberapa pustaka itu sampai ada sekitar seribu zat kimia yang ditimbulkan karena penanganan limbah elektronik yang tidak selayaknya," kata Anwar kepada Liputan6.com. 

Kemudian proses mekanisme yang mempengaruhi sistem dalam tubuh. Mekanisme masuk ke dalam tubuh kata Anwar, dapat melalui inhalasi atau masuk dalam pernapasan. Lalu melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi. 

Hal tersebut dapat menyebabkan sejumlah penyakit pada tubuh manusia. Misalnya kandungan timbel (Pb) dapat menyebabkan kerusakan sistem saraf pusat, perifer, sistem darah dan ginjal. Lalu ada merkuri (Hg) bisa membikin sistem saraf otak remuk dan cacat bawaan. 

Selain itu ada pula kadmium (Cd) dapat menyebabkan kanker paru-paru dan kerusakan ginjal. Bahkan beberapa komponen lainnya yang dapat menganggu fungsi saraf dan perkembangan kognitif, sampai kesehatan reproduksi. 

"Jadi ini berakumulasi, itu sangat tergantung kepada dosisnya, kemudian serangannya terhadap sistem mana. Jadi masing-masing punya efek yang bervariasi dari sisi durasi," jelas Anwar.

4 dari 4 halaman

Pengelolaan Sampah Berdasarkan Standar Mutu

Permasalahan sampah, khususnya limbah elektronik, tak bisa diselesaikan oleh satu pihak saja. Juru Kampanye Urban Greenpeace Muharram Atha Rasyadi menyebut permasalahan semua jenis sampah di Indonesia masih problematik. 

Menurut Atha, model pengangkutan sampah di Indonesia masih campur dan tanpa ada pemilihan. Sehingga tercampur dan sulit dilakukan pemilihan di tempat pembuangan akhir.

"Akhirnya sampah yang tercampur tidak bisa diapapakan. Maksudnya sampah organik, sampah plastik, sampah elektronik tidak bisa dikelola sesuai dengan jenisnya," kata Atha kepada Liputan6.com.

Seharusnya kata dia, sampah setelah dikonsumsi atau digunakan dipisahkan sesuai dengan jenisnya. Sampah organik, anorganik, kertas, kesehatan, hingga B3. Sehingga sisa-sisa pemakaian yang masih memiliki nilai dapat diproduksi kembali.

"Termasuk mungkin sampah-sampah elektronik bisa jadi ada bagian-bagian yang masih bisa dipakai kembali untuk diproduksi baik itu misalnya menjadi produk yang baru gitu atau mungkin bisa jadi produk yang mirip seperti itu," ucap dia.

Selain itu, dia juga mengharapkan adanya keseimbangan antara perilaku konsumen atau masyarakat dengan pihak industri elektronik. Misalnya pihak industri memiliki skema untuk bekerjasama dengan pihak bank sampah untuk menyediakan boks penampungan sampah elektronik. 

Sebab setiap tahunnya produksi elektronik terus bertambah dan produk baru selalu diperbarui. Sedangkan masyarakat terus merasa dimudahkan dengan produk baru tersebut.

"Seharusnya ini bisa menjadi langkah awal juga bentuk tanggung jawab produsen dan juga tentu membantu kerja dari pemerintah daerah," jelas Atha.

Layanan Penjemputan Sampah Elektronik 

Sementara itu, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta menyediakan pelayanan penjemputan langsung sampah elektronik di masyarakat sejak 2017. Kegiatan tersebut diklaim sebagai pelopor pengelolaan sampah elektronik. Dalam pelaksanaannya disiapkan empat mekanisme pengumpulan sampah secara gratis. 

Yakni melalui pemilahan oleh petugas kebersihan, lalu penjemputan langsung ke rumah warga minimal 5 kilogram. Untuk penjemputan limbah elektronik meliputi barang elektronik bekas, seperti televisi, handphone, kulkas, mesin cuci, kipas angin, AC, dan sejenisnya. 

Kemudian ada pula dengan drop box atau kotak penampungan sampah di 49 titik dan tempat penampungan sampah sementara di setiap kecamatan. Ketua Sub Kelompok Bidang Pengelolaan Sampah dan Limbah B3, Dinas LH DKI Jakarta, Adi Darmawan menyatakan dari berdasarkan data pada tahun 2019 hingga Mei 2024 limbah elektronik yang telah terkelola sebanyak 165 ton. 

Untuk pengelolaannya Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta bekerjasama dengan pihak swasta yang sudah memenuhi standar operasional. Sampah elektronik terbanyak yang diterima oleh Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta yaitu TV tabung hampir 50 persen dari keseluruhan. 

Hasil olahan dari limbah elektronik berupa ingot atau aluminium batangan yang kerap dibutuhkan oleh industri untuk dapat dilebur ulang dan dijadikan berbagai macam produk. Sedangkan untuk komponen elektroniknya akan dilakukan peleburan. 

"Terus kemudian itu akan menjadi logam tapi logamnya itu sebenarnya masih logam campuran. Dan di situ mungkin akan tergantung beberapa macam logam yang akhirnya itu juga bisa dimanfaatkan sebagai raw material yang dibutuhkan oleh pihak lainnya," kata Adi kepada Liputan6.com. 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.