Sukses

Pengamat Nilai Korupsi Masih Jadi Ancaman Serius bagi Demokrasi Indonesia

Pengamat Hukum dan Politik Pieter C Zulkifli menilai korupsi menjadi 'penyakit kronis' yang tak habis menghantui bangsa Indonesia. Parahnya, praktik culas itu menjelma jadi ancaman yang serius bagi demokrasi Tanah Air.

Liputan6.com, Jakarta - Korupsi menjadi 'penyakit kronis' yang tak habis menghantui bangsa Indonesia. Parahnya, praktik culas itu menjelma jadi ancaman yang serius bagi demokrasi Tanah Air.

Hal tersebut seperti disampaikan Pengamat Hukum dan Politik Pieter C Zulkifli dalam analisisnya dengan judul Etika Negara Demokrasi, Membangun Politik, Hukum dan Ekonomi yang Bermartabat.

"Akar masalah korupsi semakin dalam, tertanam kuat dalam relasi antara elite politik dan kekuasaan. Keterlibatan elite dalam praktik korupsi bahkan telah menyandera politik nasional, menghambat pembangunan, dan menjauhkan masyarakat dari cita-cita keadilan sosial," ujar Pieter melalui keterangan tertulis, Sabtu (17/8/2024).

Dia menjelaskan, hubungan antara elite politik dan korupsi seringkali digambarkan sebagai simbiosis mutualisme yang mematikan. Keduanya, kata Pieter, saling membutuhkan dan saling melindungi, menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus.

"Hukum tidak boleh tunduk dan patuh pada kekuasaan politik. Kekuasaan politiklah yang harus tunduk dan patuh pada hukum. Ini sikap dasar hidup bernegara yang benar. Sebab, kekuasaan di mana-mana cenderung korup dan sewenang-wenang. Tidak peduli siapa pemimpinnya," ucap dia.

Menurut Pieter, belakangan ini istilah 'politik sandera' semakin sering digunakan dalam percakapan politik di Indonesia. Istilah tersebut, kata dia, merujuk pada penggunaan instrumen hukum atau perkara hukum untuk menekan lawan politik atau pihak yang berseberangan.

"Praktik ini bisa terjadi secara terang-terangan atau dilakukan dengan cara yang lebih tersembunyi melalui lobi-lobi di balik layar oleh para elite politik. Politik sandera yang memanfaatkan instrumen hukum sebagai alat tawar telah merusak kinerja institusi penegak hukum," terang Pieter.

"Alih-alih menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kesetaraan, praktik ini justru menginjak-injak supremasi hukum, menjadikannya hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan pribadi atau kelompok tertentu," sambung dia.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Peringkat Turun

Di sisi lain, menurut Pieter, penurunan indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia yang kini berada pada angka 34, menempatkan Tanah Air di peringkat 115 dari 180 negara pada 2023. Artinya, kata dia, keberhasilan penanganan korupsi Indonesia turun dari peringkat 110 pada tahun sebelumnya.

Pieter bahkan memandang penurunan ranking itu menandakan adanya masalah serius dalam penegakan hukum dan korupsi di Indonesia. Dia menilai, salah satu faktor yang mungkin berkontribusi adalah fenomena politik sandera dalam penanganan kasus korupsi.

"Contoh terkini dari politik sandera ini ialah mundurnya Airlangga Hartarto dari kursi Ketua Umum Partai Golkar yang diduga kuat terkait dengan kasus korupsi fasilitas ekspor minyak sawit mentah (CPO) yang sedang diusut oleh Kejaksaan Agung (Kejagung)," papar Pieter.

Meskipun bukan satu-satunya faktor, lanjut dia,, kasus hukum ini setidaknya mencerminkan adanya tekanan politik yang digunakan untuk menekan Airlangga. Sebab, Airlangga sejauh ini cukup berani dan terbuka dengan isu hukum tersebut.

"Itu dibuktikannya dengan memenuhi panggilan Kejagung tahun lalu. Dia sempat diperiksa selama 12 jam sebagai saksi dalam perkara ini," terang Pieter.

 

3 dari 4 halaman

Bisa Merusak Demokrasi

Pieter menuturkan, politik sandera yang dilakukan melalui kasus hukum untuk menekan dan mengontrol lawan politik adalah noda hitam bagi demokrasi. Praktik tersebut, kata dia, mereduksi supremasi hukum menjadi alat untuk mengamankan kepentingan segelintir elite dan kelompoknya, bukan untuk menegakkan keadilan.

"Sikap pragmatis dan tak tahu malu ini, berpotensi merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum yang seharusnya berdiri di atas prinsip keadilan dan kesetaraan," terang Pieter.

Dia mengatakan, politik sandera membuat institusi hukum menjadi tidak berfungsi sebagaimana tujuan dan hakikatnya untuk menegakkan hukum keadilan dan kemanfaatan.

"Fungsi itu seharusnya untuk seluruh masyarakat bukan hanya segelintir elite penguasa," ucap Pieter.

Pieter juga berpandangan jika penegakan hukum saar ini sudah dikerdilkan menjadi alat politik untuk melanggengkan kekuasaan. Padahal, yang semestinya dijunjung adalah prinsip politiae legius non leges politii adoptandae atau politik harus tunduk pada hukum, bukan sebaliknya.

"Politik sandera yang dijalankan oleh para penguasa didorong oleh budaya korupsi yang merajalela di kalangan elite partai politik," kata dia.

Bagi Pieter, secara struktural kehidupan politik di Indonesia sangat rentan terhadap praktik korupsi. Hal ini menjadi bumerang bagi partai politik (parpol) itu sendiri dan menciptakan ketakutan di kalangan elite politik untuk melawan penguasa.

"Mengutip catatan Transparansi Internasional, korupsi di Indonesia paling banyak terjadi di sektor politik. Ini juga yang menjelaskan mengapa Jokowi, yang dikenal lurus dan bersih dari prilaku korup begitu percaya diri dalam menghadapi partai-partai politik," ucap dia.

"Struktur politik yang korup membuat banyak elite partai politik terjebak dalam politik sandera. Sementara, korupsi di sektor penegakan hukum, seperti kepolisian dan kejaksaan, menjadikan mereka menjadi alat yang mudah digunakan untuk menekan lawan politik," sambung Pieter.

 

4 dari 4 halaman

Ada Pengaruh Kekuasaan

Pieter memiliki pandangan yang sama dengan pernyataan almarhum JE Sahetapy yang menyebutkan bahwa sesungguhnya politik tidaklah kotor, yang kotor adalah manusia-manusia tidak bermoral. Menurutnya, pendapat Sahetapy sangat relevan dalam konteks saat ini.

"Para elite politik negeri telah lama terjebak dalam pragmatisme. Pragmatisme ini tercermin dalam komitmen antikorupsi yang lemah dan persekongkolan di antara para elite hukum dan politik," ucap Pieter.

Dia mengatakan,m para elite tidak peduli dengan penegakan hukum, terutama jika hukum yang ditegakkan akan mengancam kepentingan mereka. Pieter menilai, prinsip demokrasi yang seharusnya memberikan ruang bagi pilihan politik publik dalam pemilu, hanya digunakan sebagai alat legitimasi untuk mencapai kekuasaan.

"Setelah meraih kekuasaan, mereka akan berupaya membangun struktur yang memungkinkan persekutuan politik-ekonomi antara elite kaya dan berpengaruh untuk terus berlangsung," kata dia.

Menurut Pieter, contoh nyata dari politik sandera ini adalah bagaimana produk-produk hukum seringkali dimanipulasi oleh para elite yang hanya mementingkan kekuasaan.

Dia menilai, kasus-kasus hukum yang seharusnya diselesaikan, justru diakumulasi sebagai alat tawar-menawar di antara para elite sebagai bagian dari investasi karier politik mereka.

"Untuk itu, negara membutuhkan upaya penyelamatan revolusioner dari pemimpin-pemimpinnya, termasuk para elite hukum dan presiden," terang dia.

"Diperlukan sikap moral yang tegas dari pemimpin untuk membela penegakan hukum dan antikorupsi, agar negeri ini tidak terus dibajak oleh para elite korup dan busuk," tandas Pieter.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.