Sukses

Pakar Nilai Langkah PK Bos Duta Palma Grup Surya Darmadi Sudah Tepat

Menurutnya, Undang-Undang Cipta Kerja dalam pasalnya mengatakan, 'pemberian izin yang telah diterbitkan atau istilah sudah terlanjur diterbitkan itu akan diselesaikan berdasarkan restorative justice atau diselesaikan berdasarkan penyelesaian di luar pengadilan'.

Liputan6.com, Jakarta - Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Prof Mudzakkir mengatakaan, langkah hukum Peninjaun Kembali (PK) yang dilakukan terpidana bos Duta Palma Grup Surya Darmadi sudah tepat. Karena inti pokok perkara alih fungsi kawasan hutan ini akibat keterlanjuran pemberian izin kepada pengusaha kala itu.

Menurutnya, Undang-Undang Cipta Kerja dalam pasalnya mengatakan, 'pemberian izin yang telah diterbitkan atau istilah sudah terlanjur diterbitkan itu akan diselesaikan berdasarkan restorative justice atau diselesaikan berdasarkan penyelesaian di luar pengadilan'.

“Bahwa keterlanjuran pemberian izin itu adalah masuk dalam ranah hukum admistrasi dan sanksinya dapat dikenakan sanksi denda. Itu menunjukkan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah yang mengatur lebih lanjut dari ketentuan itu sudah menegaskan bahwa keterlanjuran pemberian izin itu adalah persoalan hukum administrasi sanksinya adalah sanksi administrasi,” tegas Mudzzakir.

Kalau undang-undang menyatakan itu adalah sanksi administrasi, lanjut Mudzzakir, maka penyidik tidak menggeser menjadi persoalan tindak pidana korupsi yang merugikan negara.

“Kalau undang-undang sendiri sudah menegaskan seperti itu maka tidak ada penyidik yang lain yang kemudian membangkang terhadap undang-undang tersebut dan juga peraturan pelaksanaannya dengan mengajuakan proses dugaan tindak pidana korupsi terhadap Surya Darmadi,” papar Mudzzakir.

Jika itu dilakakukan, lanjut Muddzakir, itu jelas bertentangan dengan prinsip negara hukum Indonesia.

“Tindakan penyidik ini menjadi tanda tanya, kalau kami sebagai ahli pidana tentu saja tidak akan bisa menerima argumen bahwa itu pelanggaran administrasi digeser menjadi pelanggaran hukum pidana,” tegasnya.

Terkait terbitnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas kasus dugaan suap Surya Darmadi, Mudzzakir melihatnya karena KPK berpandangan kasus tersebut sebagai perbuatan pelanggaran hukum administrasi, tidak masuk dalam ranah tindak pidana korupsi.

“Terlepas dari apa yang pertimbangannya putusan KPK itu saya belum membaca secara detil. Atas dasar itu saya berpendapat bahwa sikap KPK juga mendasarkan pada kaidah hukum dan ketentuan yang sama,” kata Mudzzakir.

“Sebaiknya karena itu masuk ranah hukum administrasi, lembaga manapun termasuk lembaga kejaksaan dan juga KPK juga harus menghormati itu. Jadi, kalau memang sudah terlanjur disangkakan atau didakwa sebagai tindak pidana korupsi, ya sebaiknya secara objektif juga KPK juga harus menghentikan tindakan penyidikan dalam proses itu,” tambahnya.

 

2 dari 2 halaman

Singgung Perlakuan Diskriminatif

Mudzzakir juga menyinggung perlakuan diskriminatif yang dihadapai oleh Duta Palma Group, karena dari ribuan perusahaan yang mendapatkan izin sebelum UU Cipta Kerja diterbitkan, tidak diproses secara hukum

“Saya dengar ribuan izin telah diterbitkan kepada korporasi-korporasi. Saya mengusulkan semuanya diproses pengadilan sejumlah ribuan izin yang diterbitkan dalam kasus itu. Sehingga ada namanya perlakuannya adil. Tindakan diskriminatif itu bertentangan dengan UUD 1945,” pungkas Mudzzakir.

Diketahui, KPK menerbitkan SP3 kasus dugaan suap Surya Darmadi, terkait pengajuan revisi alih fungsi hutan di Riau pada 2014. Surat itu bernomor: B/360/DIK.00/23/06/2024 perihal itu ditandatangani oleh Direktur Penyidikan Asep Guntur Rahayu.

Penerbitaan SP3 dalam perkara ini atas pertimbangan putusan peninjauan kembali (PK) mantan Legal Manager PT Duta Palma Group, Suheri Terta dinyatakan bebas atas vonis tiga tahun penjara.

Proses hukum ini merupakan pengembangan dari perkara yang menjerat mantan Gubernur Riau Annas Maamun dan kawan-kawan.

Dengan demikian, Surya Darmadi lepas dari jerat hukum pidana sebagaimana yang disangkakan dalam Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP atau Pasal 56 KUHP.