Sukses

Negara Maju Sudah Larang BPA, Pakar Ini Masih Beda Pendapat Soal Bahaya BPA

Dibandingkan Indonesia yang masih melunak, sebanyak 27 negara maju yang bergabung dalam Uni Eropa dengan tegas melarang penggunaan BPA pada kemasan makanan dan minuman mulai akhir tahun 2024.

Liputan6.com, Jakarta Banyak negara di seluruh dunia memperketat regulasi untuk mengendalikan paparan senyawa Bisfenol A (BPA). Indonesia, akhirnya mulai mewajibkan peringatan label bahaya BPA pada galon guna ulang polikarbonat, dengan tenggat waktu transisi empat tahun bagi produsen untuk melakukan penyesuaian sesuai dengan Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Nomor 6 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan.

Pemerintah masih bersikap menenggang soal BPA ini dengan memberi napas cukup panjang kepada produsen air minum dalam kemasan (AMDK) berbahan BPA untuk mematuhi regulasi, yakni selama empat tahun sejak peraturan diberlakukan BPOM tahun ini. Terkait hal ini, muncul berbagai pendapat dan pandangan dari pakar soal pelabelan BPA.

Prof. Akhmad Zainal Abidin, seorang pakar polimer dari ITB menyoroti regulasi BPOM tentang pelabelan galon polikarbonat berbahan BPA. Menurutnya, masih ada kurangnya transparansi dalam pelabelan produk dan kebutuhan mendesak akan informasi yang akurat tentang bahan kimia berbahaya. 

“Pelabelan ‘BPA Free’ pada botol PET bisa menyesatkan,” kata Prof. Akhmad dalam diskusi “Fomo Apa-Apa BPA Free” di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (21/08).

Meski demikian, Akhmad mengakui adanya potensi bahaya jika kandungan zat berbahaya seperti BPA melebihi ambang batas.

"Ada faktor bahaya? Ya kalau jumlahnya itu gede ya ada, tapi kalau jumlahnya kecil ya aman. Tapi sejauh ini, jumlahnya enggak besar," katanya.

BPOM sendiri sudah cukup transparan dengan memutuskan untuk mengeluarkan regulasi terkait pelabelan bahaya BPA pada galon guna ulang polikarbonat, setelah sebelumnya mendapatkan data tiga kali hasil pemeriksaan pada fasilitas produksi dalam kurun waktu 2021-2022, di mana didapati kadar BPA yang bermigrasi pada air minum dengan jumlah melebihi ambang batas aman 0,6 ppm mengalami peningkatan berturut-turut sebesar 3,13%, 3,45%, dan 4,58%. 

Terkait pernyataan Akhmad yang mengecilkan bahaya BPA kalau dalam jumlah kecil, realitasnya justru berbanding terbalik. Sebutan label “BPA Free” pada botol plastik bening dari jenis Polietilena tereftalat (PET), secara internasional dinilai jauh lebih aman dan lazim digunakan di seluruh dunia.

Dalam lima tahun terakhir, negara-negara Eropa sudah bertindak lebih jauh ketimbang Indonesia, dalam memperketat penggunaan BPA untuk kemasan makanan dan minuman. Bukan cuma memperkecil batas migrasi BPA, Eropa juga secara drastis menurunkan angka asupan harian (total daily intake/TDI) pada asupan tercemar BPA yang bisa dikonsumsi manusia setiap hari.

2 dari 3 halaman

Uni Eropa Larang Kandungan BPA di Kemasan Makanan dan Minuman

Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) telah melakukan penilaian ulang terhadap TDI atau asupan harian yang bisa ditoleransi terhadap BPA. Semula pada 2015, EFSA menetapkan TDI untuk BPA sebesar 4 mikrogram per kilogram berat badan per hari. Namun, pada April 2023 lalu, sudah ada pemberitahuan dari EFSA bahwa TDI yang baru sudah ditetapkan dengan nilai 0,2 nanogram per kilogram berat badan per hari. Ini artinya, nilai TDI yang baru ini 20.000 kali lebih rendah. 

“Jadi, asupan harian (BPA) yang bisa ditoleransi menjadi lebih ketat. Ini salah satu yang melatarbelakangi kenapa kami juga melakukan penilaian ulang terhadap regulasi yang ada,” kata Anisyah, Direktur Standardisasi Pangan Olahan BPOM, saat wawancara dialog tentang BPA di sebuah stasiun televisi beberapa waktu lalu.

Ia mencontohkan pengetatan regulasi di Uni Eropa (UE) pada 2011 menetapkan batas migrasi BPA sebesar 0,6 PPM, tetapi pada 2018 justru direvisi dan diperketat jadi semakin rendah di level 0,05 PPM. Artinya, risiko kontaminasi BPA dari kemasan pangan atau minuman ke produk yang diwadahinya, sudah dianggap sangat berbahaya dan harus dihindari.  

Menurut EFSA, BPA yang menjadi campuran plastik kemasan atau wadah dapat bermigrasi ke makanan dan minuman, yang meskipun dalam jumlah kecil tapi dapat membahayakan kesehatan konsumen. 

Dibandingkan Indonesia yang masih sangat lunak, Uni Eropa telah bertindak lebih keras lagi dari sekadar melabeli AMDK galon berbahan BPA. Sebanyak 27 negara maju yang bergabung dalam UE tegas menyatakan, BPA sudah tidak boleh lagi digunakan mulai akhir tahun 2024.

“Setelah periode phase-out, bahan kimia (BPA) tersebut tidak akan lagi diizinkan digunakan dalam produk-produk (kemasan makanan dan minuman) di Uni Eropa,” demikian paparan rilis Uni Eropa yang disiarkan ke media (12/6/2024).

Secara praktis, larangan penggunaan BPA, bahan yang digunakan di dalam makanan kaleng, botol air minum, gelas plastik, dan baki, tetapi dianggap berbahaya untuk sistem kekebalan tubuh oleh EFSA, akan dimulai pada akhir tahun 2024.

3 dari 3 halaman

Peraturan BPOM tentang Label Pangan Olahan

Pada bulan April 2024, BPOM mengesahkan penambahan dua pasal pada peraturan Label Pangan Olahan, yakni kewajiban pencantuman label cara penyimpanan air minum kemasan (Pasal 48a) dan kewajiban pencantuman label peringatan risiko BPA pada semua galon air minum yang menggunakan kemasan plastik polikarbonat.

Pasal 61A dalam peraturan tersebut menyatakan, “Air minum dalam kemasan yang menggunakan kemasan plastik polikarbonat wajib mencantumkan tulisan "Dalam kondisi tertentu, kemasan polikarbonat dapat melepaskan BPA pada air minum dalam kemasan". Pasal lainnya menyebut produsen galon air minum bermerek punya waktu tenggang (grace period) empat tahun untuk mentaati peraturan tersebut.

 

(*)