Sukses

Kasus Pemerkosaan di Palembang, Komisi X Desak Pemerintah Batasi Siswa dari Akses Situs Porno

Menurut Komisi X, peristiwa di Palembang itu salah satunya disebabkan kecanduan pornografi anak-anak usia sekolah dan berujung menjadi tindakan menyimpang dan kriminal.

Liputan6.com, Jakarta - Kasus tragis pembunuhan dan pemerkosaan seorang siswi di TPU Tionghoa, Palembang, yang melibatkan pelaku di bawah umur, menarik perhatian publik. Komisi X DPR RI turut memantau perkembangan kasus ini. Mereka menilai hal ini menjadi tantangan besar yang dihadapi pemerintah saat ini.

“Memproteksi peserta didik kita dengan cara peserta didik kita tidak boleh lagi begitu mudah bisa mengakses situs-situs pornografi dan situs-situs kekerasan. Ini PR kita,” kata Ketua Komisi X Syaiful Huda di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (6/9/2024).

“Itu opsi paling cepat supaya mitigasinya juga jelas dan dampaknya akan terasa langsung adalah memastikan pemerintah membatasi akses peserta didik kita terhadap situs-situs porno aksi dan pornografi,” sambungnya.

Menurutnya, peristiwa di Palembang itu salah satunya disebabkan kecanduan pornografi anak-anak usia sekolah dan berujung menjadi tindakan menyimpang dan kriminal.

“Karena yang kita dapati, peristiwa tindak kekerasan di Palembang anak-anak yang masih umur 13, 12, dan 16 tahun itu, empat anak itu di hp-nya cukup tertera jelas mereka begitu mudah bisa mengakses aksi pornografi di hp nya masing-masing, Itulah yang lalu kemudian menjadi perilaku menyimpang sampai akhirnya melakukan tindak kekerasan,” kata dia.

 

2 dari 3 halaman

Ubah Patokan Alokasi Anggaran Pendidikan

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani meminta DPR mengubah patokan alokasi 20% anggaran pendidikan dari belanja negara ke pendapatan negara. Langkah ini dinilai akan kian menurunkan besaran mandatory spending APBN untuk layanan penyelenggaraan pendidikan di Tanah Air.

“Kami menolak segala upaya yang berdampak pada penurunan alokasi anggaran pendidikan dari APBN karena pasti berdampak pada kualitas layanan pendidikan di Tanah Air. Kita bisa bayangkan dengan skema saat ini saja masih banyak anak yang tidak bisa sekolah karena alasan biaya, apalagi jika dana pendidikan diturunkan,” ujar Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda, Jumat (6/9/2024).

Untuk diketahui Sri Mulyani meminta DPR untuk melakukan reformulasi perhitungan mandatory spending anggaran pendidikan 20% APBN dalam Rapat Kerja dengan Badan Anggara (Banggar) pada Rabu (4/9/2024).

Jika selama ini formulasi 20% APBN untuk pendidikan berpatokan pada besaran belanja negara, ke depan harus berpatokan pada besaran pendapatan negara. Ketua Banggar Said Abdullah pun menyanggupi permintaan Sri Mulyani tersebut.

 

3 dari 3 halaman

Formulasi APBN

Huda mengungkapkan jika formulasi 20% APBN untuk Pendidikan berpatokan pada pendapatan negara maka berpotensi menurunkan besaran anggaran untuk pendidikan. Menurutnya dalam penyusunan APBN, besaran belanja negara selalu diproyeksikan lebih besar dari pendapatan negara.

“Dalam RAPBN 2025 misalnya pos belanja negara diproyeksikan mencapai Rp3.613, triliun sedangkan pos pendapatan negara hanya diproyeksikan mencapai Rp2.996,9 triliun. Maka jika patokan 20% mandatory spending pendidikan pada pendapatan negara sudah pasti menurunkan alokasi dana pendidikan,” katanya.

Huda menegaskan pendidikan layak menjadi prioritas dalam rencana pembangunan yang tercermin dalam belanja atau pengeluaran negara. Dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 4 jelas ditegaskan bahwa negara wajib memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% APBN serta dari APBD untuk memenuhi penyelenggaraan pendidikan nasional.

Video Terkini