Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron telah dijatuhi sanksi etik oleh Dewan Pengawasan Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK). Indonesia Memanggil (IM57+) Institute pun meminta kepada Pansel Capim KPK untuk mendiskualifikasi Nurul Ghufron sebagai kandidat.
“Adanya putusan etik yang menyatakan bahwa Nurul Ghufron telah melanggar kode etik. Harus menjadi dasar bagi Pansel Capim KPK untuk mendiskualifikasi Nurul Ghufron,” kata Ketua IM57+ Institute M. Praswad Nugraha melalui keterangan tertulis, dikutip Sabtu (7/9/2024).
Menurut Praswad, putusan etik ini menjadi bukti agar pansel KPK mendiskualifikasi Nurul Ghufron dalam proses seleksi Capim KPK yang diketahui masuk sampai tahap 40 besar.
Advertisement
“Pansel tidak menggugurkan Nurul Ghufron maka percuma saja dilakukan serangkaian seleksi untuk menghimpun berbagai informasi mengenai calon Pimpimpinan,” ujarnya.
Dengan adanya putusan etik ini, maka tindakan Nurul Ghufron telah mencoreng integritas KPK. Diketahui Nurul Ghufron mencoba menghubungi Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Pertanian (Kementan) Kasdi Subagyono untuk memindahkan seorang pegawai Andi Dwi Mandasari agar dipindahkan dari Pusat ke BPTP Jawa Timur. Padahal diwaktu yang sama KPK sedang menangani kasus Eks Mentan Syahrul Yasin Limpo.
“Tindakan tetap mempertahankan Nurul Ghufron akan membangun skema bahwa benar proses seleksi dilakukan hanya untuk formalitas belaka,” tegas Praswad.
“Sosok Capim KPK yang melanggar etik bahkan saat dia sedang menjabat sebagai Pimpinan KPK. Niscaya kedepannya akan menghasilkan berbagai potensi keputusan dan tindakan yang melanggar etik pula,” tambahnya.
Nurul Ghufron Bisa Diproses Hukum
Sementara dari apa yang diungkap dalam sidang etik Nurul Ghufron, kata Praswad, seharusnya bisa dilakukan penyidikan sesuai Pasal 36 juncto Pasal 65 UU KPK tentang hubungan yang terjadi dengan pihak berperkara.
Maka dari itu, putusan etik ini bisa menjadi bukti permulaan bagi KPK, Kepolisian bahkan Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk memulai proses penyelidikan dan penyidikan pada kasus ini
“Dan jika proses penegakan hukum dimulai, maka Nurul Ghufron akan tersandera dengan potensi pidana. Sehingga menjadi mustahil bagi dirinya memimpin KPK dengan independen dimasa yang akan datang,” tuturnya.
Sebelumnya Ghufron saat ini telah dijatuhi sanksi etik sedang oleh Dewas KPK. Akibat dugaan penyalahgunaan kewenangan sebagaimana Pasal 4 ayat 2 huruf b Peraturan Dewas Nomor 3 Tahun 2021 tentang integritas insan KPK.
Dengan sanksi teguran tertulis, serta hukuman pemotongan penghasilan yang diterima Ghufron setiap bulan sebagai Wakil Ketua KPK sebesar 20% selama 6 bulan.
Advertisement
Nurul Ghufron Dijatuhi Sanksi Etik Sedang oleh Dewas KPK, Gaji Dipotong Selama 6 Bulan
Dewan Pengawasan Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) telah menjatuhkan sanksi etik sedang terhadap Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron, Jumat (6/9/2024).
Sidang ini berkaitan dengan perkara dugaan penyalahgunaan jabatan yang dilakukan Ghufron membantu salah seorang ASN Kementerian Pertanian (Kementan) dimutasikan dari pusat ke daerah.
“Menjatuhkan sanksi sedang kepada terperiksa berupa teguran,” kata Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean dalam sidang yang digelar secara terbuka untuk umum di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi, Jakarta, Jumat (6/9/2024).
Dengan hukuman itu, Ghufron selaku Pimpinan KPK diminta agar senantiasa menjaga sikap dan perilaku dengan mentaati dan melaksanakan Kode Etik dan Kode Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi.
“Agar terperiksa tidak mengulangi perbuatannya dan agar terperiksa selaku Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi senantiasa menjaga sikap dan perilaku dengan mentaati dan melaksanakan Kode Etik dan Kode Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi,” bebernya.
Selain itu, putusan etik ini juga berpengaruh terhadap pemotongan penghasilan yang diterima Ghufron setiap bulan sebagai Wakil Ketua KPK sebesar 20% selama 6 bulan.
Sanksi itu dijatuhkan karena komunikasi Ghufron kepada Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Pertanian (Kementan) Kasdi Subagyono untuk memindahkan seorang pegawai Andi Dwi Mandasari agar dipindahkan dari Pusat ke BPTP Jawa Timur.
“Bahwa Terperiksa menghubungi saksi Kasdi Subagyono, dengan memperkenalkan diri dan mengatakan ‘Saya Ghufron, dari KPK’, untuk meminta bantuan proses mutasi saksi Andi Dwi Mandasari pegawai Inspektorat Il pada Kementan RI, agar dipindahkan ke BPTP Jawa Timur,” ujar Majelis Dewas KPK dalam pertimbangannya.
Fakta tersebut didukung dengan keterangan, saksi Tin Latifah dan saksi Kasdi Subagyono serta barang bukti berupa Foto Nomor HP 08113588778 yang dipakai Ghufron untuk menghubungi Kasdi Subagyono.
Dalih Nurul Ghufron
Padahal dalam waktu yang sama, KPK tengah mengusut perkara dugaan korupsi dalam Pengadaan Sapi yang melibatkan oknum Anggota DPR pada lingkungan Kementerian Pertanian (Kementan)
Namun, Ghufron berdalih motivasi yang menghubungi Kasdi Subagyono bukan untuk meminta bantuan melainkan hanya mengkomunikasikan keluhan dari Andi Dwi Mandasari yang pada akhirnya dimutasi.
“Menimbang, bahwa Majelis tidak sependapat dengan keterangan Terperiksa (Ghufron) yang menerangkan motivasinya karena alasan kemanusiaan,” ujar Majelis Dewas.
Karena, dinilai komunikasi yang dilakukan Ghufron menimbulkan relasi kuasa yang tidak seimbang. Dengan posisinya selaku Wakil Ketua KPK yang lebih tinggi dari Sekjen Kementan, Kasdi Subagyono.
“Serta situasi para pejabat di Kementan pada waktu itu yang khawatir karena ada Informasi KPK sedang menangani perkara di Kementan. Maka permintaan bantuan mutasi dari Terperiksa dikabulkan oleh saksi Kasdi Subagyono karena pengaruh Terperiksa sebagai Wakil Ketua KPK,” ujarnya.
Adapun, Ghufron dinilai melanggar Pasal 4 ayat 2 huruf b Peraturan Dewas Nomor 3 Tahun 2021. Aturan dimaksud mengatur soal integritas insan KPK yang menjadi sebuah komitmen untuk tidak dilakukan atau larangan, berikut bunyinya;
“b. menyalahgunakan jabatan dan/atau kewenangan yang dimiliki termasuk menyalahgunakan pengaruh sebagai Insan Komisi baik dalam pelaksanaan tugas, maupun kepentingan pribadi dan/atau golongan.”
Reporter: Bachtiarudin Alam
Sumber: Merdeka.com
Advertisement