Liputan6.com, Jakarta - Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi, menilai ada beberapa faktor yang membuat PDI Perjuangan (PDIP) sulit bergabung ke dalam pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
"Pertama, faktor sejarah. Orde lama versus orde baru. Soekarno versus Soeharto. Dan kita tahu, ada Titiek Soeharto bersama Prabowo," ungkap R Haidar Alwi.
Baca Juga
Ia meyakini, orde baru merupakan memori kelam yang sangat membekas dalam ingatan Ketum PDIP, Megawati Soekarnoputri. Baik pada masa awalnya ketika Soeharto menduduki tampuk kekuasaan menggantikan Soekarno, maupun pada akhirnya saat Megawati berperan dalam reformasi tumbangnya orde baru.
Advertisement
"Kedua, faktor SBY," lanjut R Haidar Alwi.
Ia melihat, hingga saat ini Megawati belum bisa menerima kekalahannya dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam Pilpres 2004. Kala itu, SBY yang menjabat Menko Polhukam Kabinet Gotong Royong Megawati dengan Partai Demokrat yang baru didirikannya berhasil mengalahkan Megawati dengan perolehan suara 60,62 persen berbanding 39,38 persen.
Dua dekade berlalu, kata Haidar, pertemuan antara Megawati dan SBY bisa dihitung jari. Mereka hanya bertemu di acara-acara resmi. SBY sendiri kini merupakan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat yang tergabung dalam koalisi pendukung Prabowo-Gibran.
"Ketiga, faktor Jokowi," sambung R Haidar Alwi.
Dalam pengamatannya, PDI Perjuangan mungkin menganggap Jokowi sebagai pengkhianat. Mulai dari dukungan terhadap Prabowo, pencalonan Gibran sebagai Cawapres, hingga pemecatan Bobby Nasution sebagai kader PDIP.
"Bagi Megawati dan PDIP, semua itu mungkin berbau pengkhianatan," pungkasnya.
Wacana Pertemuan Pertemuan Megawati-Prabowo
Haidar menilai, rencana pertemuan antara Prabowo dengan Megawati tidak bermanfaat secara politik kecuali PDIP bergabung ke dalam pemerintahan Prabowo-Gibran.
"Bahkan mudaratnya lebih besar daripada manfaatnya, karena tidak ada lagi partai politik yang menjadi kontrol kekuasaan jika PDIP bergabung ke dalam pemerintahan Prabowo-Gibran," kata dia.
Menurutnya, kalaupun itu terjadi tentu tidak mudah dan tidak gratis. Ada harga yang harus dibayar misalkan sejumlah kursi menteri untuk PDI Perjuangan.
Terlebih, PDI Perjuangan merupakan partai dengan jumlah kursi terbanyak di DPR dan satu-satunya partai yang belum bergabung ke dalam koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran.
"Dengan kondisi demikian, PDIP berada pada posisi tawar yang lebih tinggi. Apalagi PDIP tahu bahwa Prabowo tidak menginginkan adanya oposisi. Karena itu, PDIP pastinya akan jual mahal," jelas R Haidar Alwi.
Advertisement