Sukses

Pelabuhan Banten Dulu dan Sekarang

Sejarah Banten tak terlepas dari Pelabuhan Banten Lama sebagai bandar internasional abad ke-15. Sayang, situs ini terbengkalai berfungsi sebatas pelabuhan nelayan dan kayu gelondongan.

Liputan6.com, Serang: Kehadiran Provinsi Banten tak terlepas dari keberadaan Pelabuhan Banten Lama yang pernah menjadi pelabuhan internasional pada abad ke-15. Namun sayang, pelabuhan itu kini terbengkalai. Bahkan fungsi yang masih ada hanya sebatas pelabuhan nelayan biasa seperti rencana awal didirikannya dan pelabuhan kayu gelondongan saja.

Dalam sejarahnya, Pelabuhan Banten Lama yang terletak sekitar 10 kilometer dari pusat Kota Serang adalah sebuah bandar pelabuhan penting dalam perdagangan internasional di abad ke-15. Kala itu, Banten yang masih berbentuk kota menjadi sebuah tempat transit bagi jalur perdagangan antarnegara. Kapal-kapal asing yang hadir di pelabuhan tertua di Jawa dengan nama Karanghantu ini berasal dari negara Persia, Arab, Cina, Inggris, Belanda, dan Portugis.

Pelabuhan yang semula menjadi pelabuhan nelayan ini awalnya didirikan pada zaman Sultan Banten Pertama Maulana Hasanuddin. Dia adalah putra kandung Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. Masa keemasan pelabuhan ini berakhir pada ke-17. Sebab pusat pelabuhan mulai dialihkan ke Pelabuhan Sunda Kelapa di Batavia [Jakarta]. Kisah kemegahan pelabuhan internasional ini pun terus memudar. Bahkan kembali ke fungsi semula, sebuah pelabuhan nelayan.

Melihat kondisi ini, Departemen Perhubungan tak tinggal diam. Melalui PT Pelabuhan Indonesia, pada tahun 1980-an Pelabuhan Banten Lama ini mulai diaktifkan kembali. Bandar itu dijadikan sebuah pelabuhan rakyat untuk bongkar muat kayu glondongan.

Beberapa waktu kemudian, larangan impor kayu bulat diberlakukan oleh pemerintah. Ironisnya, pelabuhan tadi justru dimanfaatkan sejumlah orang sebagai tempat bongkar muat kayu ilegal dari Sumatra dan Kalimantan.

Potret sejarah yang terbengkalai ini tentu menjadi pekerjaan rumah buat Provinsi Banten. Kendati tak pasti benar, seberapa jauh mereka mau mempertahankan situs penting ini.(BMI/Amanullah dan Budi Sukmadiyanto)