Liputan6.com, Jakarta - Ketua Mahkamah Konstitusi 2003-2008, Jimly Asshiddiqie mengatakan, mengusulkan pembentukan lembaga khusus untuk menangani pelanggaran etika. Menurut dia, lembaga tersebut adalah Mahkamah Etika Nasional, tujuannya memperbaiki kerapuhan etika penyelenggara negara.
"Saya sudah tiga kali menggelar konvensi nasional tentang etika kehidupan berbangsa. Bahkan waktu pelantikan Presiden Jokowi tahun 2019, Ketua MPR mendukung ide pembentukan Mahkamah Etika Nasional. Sudah disetujui, tetapi tidak ada yang mengerjakan teknisnya," ujar Jimly dalam diskusi bersama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, seperti dikutip dari keterangan tertulis diterima, Rabu (18/9/2024).
Jimly mengaku, ia telah berulang kali mempromosikan pentingnya menata sistem etika di Indonesia. Namun, hingga kini, tidak ada usaha nyata dari pemerintah untuk mewujudkan rekomendasi yang sudah tertuang dalam Tap MPR Nomor 6 Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
Advertisement
“Tap tersebut secara eksplisit mengamanatkan kepada presiden, penyelenggar negara, dan masyarakat untuk menegakkan etika kehidupan berbangsa dan bernegara,” jelas dia.
Maka dari itu, Jimly pun melihat momentum pergantian kepemimpinan sangat tepat untuk memulai pembentukan Mahkamah Etika Nasional.
Dia berharap, dengan lahirnya lembaga tersebut ini bisa menjawab persoalan etika yang melanda berbagai sektor publik di Indonesia. Ia pun percaya Mahkamah Etika akan menjadi institusi yang berperan penting dalam menjaga integritas pejabat publik dan penyelenggara negara.
"Saya yakin timingnya sudah tepat. Kita buat Undang-Undang tentang etika berbangsa dan Mahkamah Etika Nasional. Undang-undang ini akan mengatur substansi etika dan infrastruktur pendukungnya, tidak hanya menyangkut penyelenggara negara, tetapi juga semua jabatan publik," tegas Jimly.
Pentingnya Etika
Senada dengan itu, Hakim Agung sekaligus Guru Besar Hukum di Universitas Krisnadwipayana, Topaen Gayus Lumbuun menekankan pentingnya etika dalam kehidupan berbangsa.
Menurut dia, etika muncul ketika hukum tidak lagi mampu mengatasi persoalan yang terjadi, terutama ketika menghadapi krisis multidimensi seperti yang dialami Indonesia pada 1998.
"Secara etika, sangat mungkin sebuah kebijakan menjadi lebih bijaksana daripada sekadar mengikuti aturan hukum. Namun, apakah kebijaksanaan penyelenggara negara selalu berjalan baik? Ternyata tidak," kata Gayus dalam kesempatan senada.
Gayus lalu mengutip, tulisan Jimly saat menyebut hukum yang diberlakukan sebagai undang-undang memang baik, tetapi jangan sampai hukum digunakan sebagai alat oleh individu atau kelompok untuk menegakkan kekuasaan pribadi.
Kemudian, Guru Besar Hukum Universitas Hasanuddin Andi Pangerang Moenta yang turut hadir dalam acara tersebut menggarisbawahi pentingnya budaya hukum yang berlandaskan pada etika dalam kehidupan bermasyarakat.
Menurut dia, budaya hukum di Indonesia masih berada pada tahap "compliance" atau kepatuhan karena takut pada sanksi, sementara idealnya, kepatuhan hukum harus berakar pada internalisasi nilai-nilai etika.
"Kita masih berada di tataran kepatuhan karena takut, perjalanan masih panjang menuju internalisasi. Biar hukumnya bagus dan aparatnya juga bagus, kalau budaya hukum tidak terdukung, itu tidak bisa jalan," jelas Andi.
Advertisement
Pancasila Sumber Segala Hukum
Merangkum diskusi panel tersebut, Hakim Konstitusi (2003-2014) Harjono mengatakan, Pancasila adalah sumber dari segala hukum di Indonesia sebenarnya sudah mencakup nilai-nilai etika yang harus diimplementasikan dalam semua sektor kehidupan.
"Persoalan Pancasila ada dua dimensi: pandangan hidup dan krisis etika. Kita sudah berada dalam krisis etika, dan jika tidak ditangani, generasi mendatang bisa terjebak dalam krisis yang lebih dalam," Harjono menandasi.