Sukses

Panjangnya Musim Kemarau, Menanti Penghujan Datang

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi kekeringan tahun ini akan terjadi lebih panjang mulai Mei sampai Oktober 2024, yang artinya kemungkinan untuk masuk masa penghujan bisa berubah.

Liputan6.com, Jakarta Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi kekeringan tahun ini akan terjadi lebih panjang mulai Mei sampai Oktober 2024, yang artinya kemungkinan untuk masuk masa penghujan bisa berubah. Sebanyak 7 dari 38 provinsi di Indonesia mengalami kekeringan ekstrem pada laporan BMKG Rabu 18 September 2024. 

Menurut BMKG, daerah yang mengalami kekeringan ekstrem antara lain berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur meliputi Kota Kupang (144 hari), Sumba Timur (141 hari), Sabu Raijua (128 hari), Kupang (116 hari), Lembata (97 hari), Timor Tengah Selatan (97 hari), Sikka (72 hari), Rote Ndao (70 hari), Sumba Barat Daya (69 hari), dan Ende (69 hari).

Kondisi yang sama juga melanda Provinsi Jawa Timur, yakni Jember (139 hari), Kota Probolinggo (139 hari), Pasuruan (138 hari), Situbondo (138 hari), Banyuwangi (137 hari), Blitar (137 hari), Mojokerto (137 hari), Tulungagung (137 hari), Bangkalan (135 hari), dan Malang (108 hari).

Daerah di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang juga terdampak yakni Bima (137 hari) dan Lombok Timur (94 hari). Di Provinsi Sulawesi Selatan situasi yang sama melanda Barru (68 hari), Pangkep (68 hari), Takalar (68 hari), dan Makassar (68 hari).

Kondisi serupa juga dialami Daerah Istimewa Yogyakarta meliputi Bantul (68 hari) dan Gunungkidul (67 hari). Provinsi Jawa Barat meliputi Ciamis (66 hari), Cirebon (65 hari), Indramayu (65 hari), Karawang (65 hari), Majalengka (65 hari), Purwakarta (65 hari), Subang (65 hari), Sumedang (65 hari), dan Bekasi (65 hari).

Terakhir adalah Provinsi Banten, tepatnya di Pandeglang (66 hari).

Meski demikian, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, memang musim kemarau lebih panjang sehingga awal musim hujan 2024 ini tak akan terjadi secara bersamaan. Hal ini terjadi akibat tingginya keragaman iklim di wilayah Indonesia.

"Awal musim hujan di Indonesia bervariasi, dimulai dari Pulau Sumatera bagian barat yang memasuki hujan pada Agustus 2024, kemudian secara bertahap meluas ke wilayah timur hingga Desember 2024," kata Dwikorita dalam keterangannya, Kamis (26/9/2024).

Dia mengungkapkan, sebagian besar wilayah Indonesia akan mengalami musim hujan pada periode Oktober hingga November 2024. Apabila dibandingkan rata-ratanya, kata dia, maka musim hujan 2024/2025 akan datang lebih awal dari biasanya.

Selain itu, sifat hujan pada Musim Hujan 2024/2025 diprediksi akan berada pada kategori normal yang menunjukkan kondisi yang tidak terlalu basah maupun kering. Adapun puncak musim hujan, tambah Dwikorita, akan banyak terjadi pada bulan November hingga Desember 2024 di wilayah Indonesia bagian barat dan bulan Januari hingga Februari 2025 untuk Indonesia bagian timur.

Berdasarkan prakiraan tersebut, lanjut dia, secara khusus BMKG menghimbau Kementerian/Lembaga/pemerintah daerah dan masyarakat untuk mewaspadai, mengantisipasi dan melakukan aksi mitigasi lebih awal guna menghindari dan mengurangi risiko bencana hidrometeorologi.

Khusus kepada pemerintah daerah, diharapkan dapat lebih optimal dalam mengedukasi masyarakat tentang cara menghadapi risiko bencana yang berpotensi terjadi selama periode musim hujan serta pentingnya memperhatikan peringatan dini.

"Utamanya di wilayah yang mengalami sifat musim hujan atas normal (lebih basah dibanding biasanya). Wilayah ini berpotensi mengalami peningkatan risiko bencana banjir dan tanah longsor," ujarnya.

 

 

Sudah Ada yang Masuk Musim Penghujan

Sementara itu, Deputi Klimatologi BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan menerangkan, Dari total 699 Zona Musim (ZOM) di Indonesia, sebanyak 75 ZOM (10,7%) diprediksi akan memasuki musim hujan pada bulan September 2024 meliputi pesisir timur perairan Sumatera Utara, Riau bagian selatan, Jambi, sebagian Bengkulu, Sumatera Selatan bagian barat, sebagian Kalimantan Barat, sebagian Kalimantan Tengah, sebagian Kalimantan Timur dan sebagian Papua.

Sedangkan 210 ZOM (30,04%) akan memasuki musim hujan pada bulan Oktober 2024 yang meliputi sebagian besar Sumatera Selatan, sebagian besar Pulau Jawa, sebagian besar Pulau Kalimantan, pesisir barat Sulawesi Selatan, pesisir utara Sulawesi Utara, Maluku Utara, sebagian kecil Maluku dan Papua Barat.

Adapun sebanyak 181 ZOM (25,9%) ZOM diprediksi akan mulai mengalami musim hujan pada November 2024 yang meliputi Lampung bagian selatan, Pulau Jawa bagian timur, sebagian besar Pulau Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Merauke bagian selatan.

Kemudian, terdapat 113 ZOM (16,2%) wilayah lainnya memiliki pola musim hujan yang berlangsung sepanjang tahun atau disebut hanya mengalami satu musim.

Jika dibandingkan dengan rata klimatologisnya (periode 1991-2020), kata Ardhasena, maka sebagian besar wilayah Indonesia diprediksi akan mengalami awal musim hujan yang MAJU atau lebih cepat yaitu sebanyak 267 ZOM (38%) yang meliputi sebagian besar Pulau Sumatera, pesisir utara Pulau Jawa, Pulau Sulawesi, sebagian besar Pulau Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur, dan sebagian besar Papua.

Sementara sekitar 190 ZOM (27%) wilayah akan mengalami awal musim hujan yang sama dengan normalnya,termasuk beberapa wilayah di Pulau Sumatera dan Jawa. Sebanyak 96 ZOM (14%) wilayah diprediksi akan mengalami awal musim hujan yang mundur atau datang lebih lambat dibandingkan dengan normalnya, terutama di beberapa bagian di Pulau Jawa, Sulawesi, dan Indonesia bagian timur seperti Maluku dan Papua.

"Sebagian besar wilayah Indonesia akan mengalami akumulasi curah hujan musiman pada kategori normal, namun ada sebagian wilayah yang masuk kategori diatas normal atau lebih basah yaitu sekitar 249 ZOM (35,6%) meliputi sebagian kecil Pulau Sumatera, pesisir selatan Jawa bagian barat, sebagian NTT, Pulau Sulawesi, Maluku, dan sebagian wilayah Papua. Terdapat juga daerah yang akan mengalami musim hujan dengan sifat bawah normal, yaitu sebagian kecil Sumatera Barat dan sebagian kecil Bengkulu," paparnya.

Terkait durasi musim hujan, tambah Ardhasena, terdapat 361 ZOM (51,6 %) wilayah Indonesia yang akan mengalami musim hujan lebih panjang dari biasanya. Sedangkan 114 ZOM (16,3%) diprediksi akan mengalami musim hujan yang lebih pendek meliputi sebagian Pulau Sumatera, Kalimantan Tengah bagian utara, Sulawesi bagian tengah, sebagian NTT, Papua Barat dan Merauke Papua. Sebanyak 86 ZOM (12,3%) diprediksi akan mengalami durasi musim hujan yang sama dengan normalnya meliputi Pulau Sumatera bagian tengah, Kalimantan Tengah bagian barat dan sebagian Maluku.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Gejala Iklim yang Terus Berubah

Pakar Mitigasi Bencana dari Fakultas Geografi UGM, Djati Mardiatno, mengatakan prediksi BMKG itu tidak sepenuhnya meleset karena gejala iklim yang berubah-ubah dan berdampak pada perubahan musim di Indonesia.

Dia menuturkan perubahan iklim ini karena kondisi geografis dan hidrogeologi Indonesia yang beragam menyebabkan beberapa tempat mengalami kekeringan, sedangkan tempat lain belum dapat dikategorikan sebagai bencana kekeringan.

Menurutnya, di tengah-tengah musim kemarau yang berlangsung mulai Mei sampai Oktober, gejala el nino dinilai tidak terlalu parah. “Tingkat keparahannya itu tidak seperti yang diprediksikan sebelumnya," kata Djati.

Dia memberikan contoh seperti di Gunung Kidul dan Nusa Tenggara Timur yang dikenal sulit mendapatkan sumber air apalagi di saat musim kemarau melanda bahkan musim kemarau berlangsung lebih panjang dibanding daripada wilayah lain.

Untuk dapat menilai suatu daerah memiliki potensi kekeringan atau tidak, lanjut dia, harus memperhatikan tipe dan zona iklim regional, material penyusun geologis, serta sistem alam yang terdapat di suatu daerah tersebut.

Selain itu, perubahan iklim ini juga mempengaruhi curah hujan yang turun di beberapa daerah di Indonesia. Perkiraan iklim sebelumnya menyatakan bahwa puncak musim kemarau akan berlangsung pada bulan Agustus hingga September.

Menurut Djati, bulan September adalah bulannya sumber mata air cenderung menjadi asat. Adanya perubahan iklim, itu tidak menutup kemungkinan akan turunnya hujan di bulan Agustus-September meskipun sedikit.

Perubahan iklim ini banyak sektor pertanian menjadi paling terdampak, karena saluran irigasi kurang mencukupi dan membuat tanaman tidak akan bisa tumbuh dan sawah akan mengering. Hal ini akan berimbas pada kelangkaan stok bahan pangan dan kenaikan harga sembako. “Kemarau panjang itu tidak terlalu ekstrem sehingga kemungkinan gagal panen itu rendah,” ujarnya.

 

3 dari 5 halaman

Pemerintah Tetap Diminta Waspada

Kondisi menurutnya, pemerintah dan masyarakat tetap waspada dan mengantisipasi datangnya kemarau panjang baik di pengairan sawah dan tidak bergantung hanya kepada air hujan seperti dari sungai, danau, atau embung. Djati mengatakan jika kondisi geologis suatu wilayah tidak terdapat sumber air alami, maka dapat menanam tanaman komoditas yang tidak membutuhkan banyak air.

Guna menghadapi ancaman kekeringan, cara yang paling mudah untuk dilakukan adalah penyediaan air oleh pemerintah setempat dan pengadaan pemompaan air tanah. Menurut Djati, Gunung Kidul misalnya memiliki potensi air tanah yang dapat dimanfaatkan. Secara geologis, tanah di Gunung Kidul memiliki material batan yang mudah larut dan membuat air hujan yang masuk ke dalam tanah dapat disimpan dalam waktu yang lama di sungai-sungai bawah tanah dan gua-gua yang memiliki kedalaman mencapai 100 meter. “Itu paling dangkal saja sekitar 50 meter, jadi sungainya itu dalam sekali,” kata Djati.

Alternatif lain yang dapat dilakukan untuk menghadapi kekeringan adalah membuat sumber air buatan, seperti embung atau bendungan. Cara ini sering digunakan di daerah Nusa Tenggara Timur sebagai persiapan musim kemarau dan bencana kekeringan. “Embung-embung itu untuk menampung air saat musim hujan, untuk kemudian bisa dimanfaatkan pada musim kemarau,” ujar Djati.

Upaya mitigasi kekeringan ini tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, masyarakat juga dapat memenuhi kebutuhan air di musim kemarau secara mandiri. Cara yang paling mudah adalah dengan membuat sistem penampungan air hujan di tandon-tandon air. Air tersebut dapat digunakan untuk kebutuhan irigasi dan domestik seperti MCK dan masak apabila sudah dijernihkan. “Tidak selalu harus menunggu dari pemerintah, sebetulnya secara mandiri masyarakat bisa dilibatkan,” tutur Djati.

4 dari 5 halaman

Mereka yang Masih Dilanda Kekeringan

Stasiun Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Kelas III mengeluarkan peringatan kepada masyarakat terkait potensi kekeringan ekstrim yang dapat mengancam wilayah Banyuwangi.

“Untuk wilayah Banyuwangi yang berpotensi terjadi kekeringan ekstrim di wilayah Wongsorejo,” kata Prakirawan BMKG Kelas III Banyuwangi, Yustoto Windiarto, Jumat (20/9/2024).

Kekeringan ekstrim tersebut berpotensi terjadi karena, pada bulan September ini masih berada pada puncak musim kemarau dengan panas tinggi.

Yustoto, juga menjelaskan, suhu udara tinggi yang sedang dirasakan masyarakat diakibatkan oleh cuaca yang dominan cerah tanpa tutupan awan.

Bukan hanya itu, panas yang menyengat itu terjadi karena gerak matahari yang mendekati garis khatulistiwa.

Oleh sebab itu, Yustoto mengimbau kepada masyarakat, agar lebih mewaspadai potensi terjadinya kekeringan karena kekurangan air bersih, termasuk kekurangan air bagi tanaman, kecuali daerah yang telah didukung oleh sistem irigasi.

Agar lebih bijak menggunakan air bersih tidak terlalu boros menggunakan air. Selain itu dalam sektor pertanian agar dapat menyesuaikan komoditas yang akan ditanam, hingga menanam varietas tanaman yang tahan dengan air yang sedikit dan tidak bergantung dengan hujan.

“Tidak kekeringan saja, untuk wilayah Banyuwangi tingkat kerentanan terjadinya kebakaran yaitu sangat mudah terjadinya kebakaran, dengan digambarkan dengan warna merah,” ujarnya.

Selama musim kemarau ini, BMKG Kelas III Banyuwangi juga mengimbau, selain untuk waspadai kekeringan, juga untuk mewaspadai potensi kebakaran.

Di antaranya agar mengurangi aktivitas membakar sampah terlebih tanpa adanya pengawasan. Selain itu diminta juga untuk tidak membuang puntung rokok secara sembarangan.

“Jangan lupa minum yang cukup agar mencegah dehidrasi saat cuaca terik, gunakan sunscreen dan pelembab kulit,” pesan Yustoto.

Diterangkan Yustoto, musim kemarau di wilayah Banyuwangi diprakirakan akan berlangsung hingga pertengahan atau akhir bulan Oktober 2024. Kemudian akan memasuki masa peralihan musim atau pancaroba dari musim kemarau ke musim hujan. 

“Awal musim hujan wilayah Banyuwangi dimulai dari bagian barat seperti wilayah Kalibaru dan sekitarnya pada November 2024 dasarian tiga atau akhir November,” terang Yustoto.

Krisis air bersih akibat dampak kekeringan musim kemarau yang melanda sejumlah daerah di wilayah NTB diprediksi masih akan terjadi hingga Desember 2024. Hal itu diungkapkan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Nusa Tenggara Barat.

"Untuk ketersediaan air minum/air bersih kemungkinan sampai Desember kita masih kekurangan," kata Kepala BPBD NTB Ahmadi, Rabu (25/9/2024).

Ia mengakui meski hujan sudah mulai terjadi di akhir September, namun untuk beberapa daerah khususnya yang berada di kawasan selatan Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa tetap masih kekurangan air alias krisis air bersih.

"Walaupun curah hujan tinggi belum tentu juga di kawasan selatan Pulau Lombok dan Sumbawa itu air langsung mengalir karena air itu butuh waktu resapan," ujarnya.

Berdasarkan data BPBD NTB, sampai dengan saat ini jumlah warga yang terdampak kekeringan mencapai 500 ribu jiwa lebih yang tersebar di 77 kecamatan. Sementara dari 10 kabupaten/kota, terdapat sembilan yang sudah menetapkan status siaga darurat kekeringan.

Selain menyebabkan kesulitan air bersih terdapat 10 hektare lahan pertanian juga terdampak kekeringan akibat musim kemarau.

"Saat ini dalam posisi puncak-puncaknya musim kering," katanya.

Untuk mengatasi kekurangan air bersih ini, BPBD NTB, terus melakukan distribusi air bersih ke wilayah-wilayah terdampak. Membangun sumur-sumur bor di sejumlah titik. Sumur bor ini diperoleh dari bantuan pemerintah pusat melalui BNPB, termasuk rencana modifikasi cuaca untuk menurunkan hujan.

"Wilayah Lombok selatan itu sumur bor tidak bisa karena tidak ada cekungan air tanah. Cara yang kita lakukan dengan mendistribusikan air, kalau pun pasang sumur bos itu tidak disana," terang Ahmadi.

Alokasi anggaran untuk membeli air dan operasional ini, BPBD NTB mendapatkan bantuan dana dari BNPB sebesar Rp300 juta, sedangkan di APBD NTB Rp700 juta.

"Ini kita gunakan untuk membeli kebutuhan air dan operasional mobil tangki. Dengan uang itu kita pakai untuk 2.000 tangki air," katanya.

Sebelumnya, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi potensi kekeringan di NTB bakal meluas karena puncak musim kemarau masih berlangsung pada September 2024.

Pada dasarian II September 2024 (11-20 September) potensi hujan di wilayah NTB sangat rendah. Potensi hujan dengan intensitas ringan hingga sedang terjadi di sebagian kecil wilayah NTB.

5 dari 5 halaman

Infografis Tips Antisipasi dan Mitigasi Hadapi Kekeringan

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.