Liputan6.com, Jakarta - Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD menyatakan bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) memiliki posisi yang lebih tinggi daripada negara.
Hal ini disampaikannya saat menghadiri diskusi publik mengenai "Catatan Kelabu Pelindungan Pembela HAM 2014-2023" yang dilaksanakan di Gondangdia, Jakarta Pusat, pada Jumat (27/9/2024).
Baca Juga
“Tentu kalau saya ditanya, yang lebih tinggi itu adalah hak asasi manusia. Karena filosofinya itu, negara ini ada pertama-tama untuk melindungi hak asasi manusia. Yang martabatnya terinjak, kemudian mendirikan negara agar martabat itu terlindungi,” tuturnya.
Advertisement
Mahfud juga mengakui bahwa dalam praktiknya sering terjadi kontradiksi antara HAM dan hak negara. “Itu betul memang dalam praktiknya kemudian terjadi pertentangan antara hak asasi manusia dan hak negara. State right dan human right,” katanya.
Eks Ketua Mahkamah Agung (MA) ini menyayangkan adanya kontradiksi di antara para pembela HAM dan menyebut kasus Vina Cirebon sebagai contoh.
Ia mengingatkan masyarakat untuk saling melindungi, termasuk aparat yang sedang menjalankan tugas.
“Sekarang pembela HAM dihantam oleh sesama pembela HAM. Kasus Vina Cirebon misalnya, itu kan orang mau membela orang yang terdzolimi, diadili secara salah. Tapi ada pembela yang mengantam, nggak mau salah, malah membela misalnya polisi dan itu tidak salah. Membela itu jangan sampai polisi pun jadi korban karena melaksanakan tugas. Itu kan jadi tidak mudah untuk merumuskan itu,” ungkapnya.
Kata Mahfud MD Soal Penghapusan Nama Soeharto dari TAP MPR
Sebelumnya, Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD menanggapi isu penghapusan nama Soeharto dari Ketetapan MPR Nomor 11 Tahun 1998 saat menghadiri diskusi publik bertajuk "Catatan Kelabu Pelindungan Pembela HAM 2014-2023" yang digelar, Jumat (27/9/2024).
Dalam pernyataannya, Mahfud menegaskan bahwa istilah "dihapus" tidak ada dalam konteks ketetapan MPR tersebut. "Saya tidak dengar itu dihapus, menurut saya itu bukan dihapus tetapi memang sudah ditetapkan sebagai Ketetapan yang tidak berlaku lagi sejak keluarnya Tap MPR Nomor 1 Tahun 2023," ujarnya.
Lebih lanjut, ia juga menegaskan bahwa istilah penghapusan dalam konteks ini tidaklah tepat. "Istilah dihapus itu tidak ada ya, mungkin itu sudah dinyatakan selesai, sehingga tidak perlu ada hukum untuk tindakan baru, mungkin begitu maksudnya. Kalau dihapus itu ndak boleh," tambahnya.
Advertisement
Soal UU Tipikor
Di sisi lain, Mahfud juga merespons usulan Ketua KPK yang ingin memasukkan konflik kepentingan ke dalam UU Tipikor. Ia menyatakan dukungannya terhadap rencana ini, mengingat banyaknya konflik kepentingan yang terjadi.
"Bagus, karena memang itu yang selama ini menjadi kendala. Ada konflik kepentingan di antara pejabat negara dengan kasus, di antara pejabat dengan tugasnya, di antara pejabat dengan prosedur hukum, itu banyak konflik kepentingan. Itu sudah ditemukan dari sigi internasional, Transparency International itu sudah menyatakan di Indonesia itu banyak konflik of interest," katanya.
Sebagai akademisi sekaligus politikus, ia juga memuji langkah KPK jika berhasil memasukkan konflik kepentingan ke dalam UU Tipikor, termasuk mengatasi masalah lain yang sudah lama dibahas.
"Bahkan KPK bagus kalau bisa memasukan itu, termasuk juga yang sudah lama dibahas korupsi di ruang lingkup swasta. Sekarang ini kan korupsi itu artinya pejabat, padahal banyak juga korupsi di lingkungan swasta," lanjutnya usai acara yang digelar di Gondangdia, Jakarta Pusat.