Liputan6.com, Jakarta - Langit pagi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) saat awal pekan hari ini, Senin (30/9/2024) keseluruhannya diprakirakan berawan tebal. Demikianlah prediksi cuaca hari ini.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melaporkan, cuaca Jakarta siang nanti hampir seluruhanya diprakirakan cerah berawan, kecuali Jakarta Utara dan Kepulauan Seribu berawan.
Baca Juga
Untuk malam hari nanti, cuaca Jakarta diprediksi BMKG sebagiannya berawan dan berawan tebal, kecuali Jakarta Selatan hujan ringan.
Advertisement
Wilayah penyangganya yaitu Bekasi, Depok, dan Kota Bogor, Jawa Barat di siang hari diprakirakan cerah berawan. Berbeda di malam nanti, Bekasi diprediksi berawan, Depok hujan ringan, dan Kota Bogor berawan tebal.
Tak jauh berbeda di Kota Tangerang, Banten juga diprakirakan BMKG siang hari bakal cerah berawan dan malam nanti berawan tebal.
Berikut informasi prakiraan cuaca Jabodetabek selengkapnya yang dikutip Liputan6.com dari laman resmi BMKG www.bmkg.go.id:
 Kota |  Pagi |  Siang |  Malam |
 Jakarta Barat |  Berawan Tebal |  Cerah Berawan |  Berawan Tebal |
 Jakarta Pusat |  Berawan Tebal |  Cerah Berawan |  Berawan |
 Jakarta Selatan |  Berawan Tebal |  Cerah Berawan |  Hujan Ringan |
 Jakarta Timur |  Berawan Tebal |  Cerah Berawan |  Berawan |
 Jakarta Utara |  Berawan Tebal |  Berawan |  Berawan |
 Kepulauan Seribu |  Berawan Tebal |  Berawan |  Berawan Tebal |
 Bekasi |  Berawan Tebal |  Cerah Berawan |  Berawan |
 Depok |  Berawan Tebal |  Cerah Berawan |  Hujan Ringan |
 Kota Bogor |  Berawan Tebal |  Cerah Berawan |  Berawan Tebal |
 Tangerang |  Berawan Tebal |  Cerah Berawan |  Berawan Tebal |
BMKG Prediksi Kekeringan Tahun 2024 Lebih Panjang, Pakar UGM Sebut Pentingnya Mitigasi Kekeringan
Sebelumnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi kekeringan tahun ini akan terjadi lebih panjang mulai Mei sampai Oktober 2024.
Pakar Mitigasi Bencana dari Fakultas Geografi UGM, Djati Mardiatno, mengatakan prediksi BMKG itu tidak sepenuhnya meleset karena gejala iklim yang berubah-ubah dan berdampak pada perubahan musim di Indonesia sehingga penting adanya mitigasi kekeringan.
"Tingkat keparahannya itu tidak seperti yang diprediksikan sebelumnya," ujar Djati, Jumat 20 September 2024.
Menurut Djati perubahan iklim ini karena kondisi geografis dan hidrogeologi Indonesia yang beragam menyebabkan beberapa tempat mengalami kekeringan, sedangkan tempat lain belum dapat dikategorikan sebagai bencana kekeringan.
Ia memberikan contoh seperti di Gunung Kidul dan Nusa Tenggara Timur yang dikenal sulit mendapatkan sumber air apalagi di saat musim kemarau melanda bahkan musim kemarau berlangsung lebih panjang dibanding daripada wilayah lain.
Djati mengatakan untuk menilai suatu daerah memiliki potensi kekeringan atau tidak, harus memperhatikan tipe dan zona iklim regional, material penyusun geologis, serta sistem alam yang terdapat di suatu daerah tersebut.
Advertisement
Adanya Perubahan Iklim
Selain itu, perubahan iklim ini juga mempengaruhi curah hujan yang turun di beberapa daerah di Indonesia.
"Perkiraan iklim sebelumnya menyatakan bahwa puncak musim kemarau akan berlangsung pada bulan Agustus hingga September," kata Djati.
Menurut Djati, bulan September adalah bulannya sumber mata air cenderung menjadi kering sehingga penting adanya mitigasi kekeringan oleh pemerintah atau masyarakat.
Adanya perubahan iklim, itu tidak menutup kemungkinan akan turunnya hujan di bulan Agustus-September meskipun sedikit.
Perubahan iklim ini banyak sektor pertanian menjadi paling terdampak, karena saluran irigasi kurang mencukupi dan membuat tanaman tidak akan bisa tumbuh dan sawah akan mengering. Hal ini akan berimbas pada kelangkaan stok bahan pangan dan kenaikan harga sembako.
"Kemarau panjang itu tidak terlalu ekstrem sehingga kemungkinan gagal panen itu rendah," terang Djati..
Kondisi menurutnya, pemerintah dan masyarakat tetap waspada dan mengantisipasi datangnya kemarau panjang baik di pengairan sawah dan tidak bergantung hanya kepada air hujan seperti dari sungai, danau, atau embung.
Djati mengatakan jika kondisi geologis suatu wilayah tidak terdapat sumber air alami, maka dapat menanam tanaman komoditas yang tidak membutuhkan banyak air.
Cara Mudah yang Bisa Dilakukan
Guna menghadapi ancaman kekeringan, cara yang paling mudah untuk dilakukan adalah penyediaan air oleh pemerintah setempat dan pengadaan pemompaan air tanah.
Menurut Djati, Gunung Kidul misalnya memiliki potensi air tanah yang dapat dimanfaatkan.
Secara geologis, tanah di Gunung Kidul memiliki material batan yang mudah larut dan membuat air hujan yang masuk ke dalam tanah dapat disimpan dalam waktu yang lama di sungai-sungai bawah tanah dan gua-gua yang memiliki kedalaman mencapai 100 meter.
"Itu paling dangkal saja sekitar 50 meter, jadi sungainya itu dalam sekali," kata Djati.
Alternatif lain yang dapat dilakukan untuk menghadapi kekeringan adalah membuat sumber air buatan, seperti embung atau bendungan. Cara ini sering digunakan di daerah Nusa Tenggara Timur sebagai persiapan musim kemarau dan bencana kekeringan.
"Embung-embung itu untuk menampung air saat musim hujan, untuk kemudian bisa dimanfaatkan pada musim kemarau," ujar Djati.
Upaya mitigasi kekeringan ini tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, masyarakat juga dapat memenuhi kebutuhan air di musim kemarau secara mandiri.
Cara yang paling mudah adalah dengan membuat sistem penampungan air hujan di tandon-tandon air. Air tersebut dapat digunakan untuk kebutuhan irigasi dan domestik seperti MCK dan masak apabila sudah dijernihkan.
"Tidak selalu harus menunggu dari pemerintah, sebetulnya secara mandiri masyarakat bisa dilibatkan," tutur Djati.
Advertisement