Sukses

Kampung Siep Kosi Binaan Program TEKAD Jadi Sentra Buah Naga di Papua Pegunungan

Bandua mengungkapkan masyarakat Siep Kosi awalnya hanya bergantung pada sayuran dan ubi jalar sebagai sumber penghasilan utama.

Liputan6.com, Jakarta - Salah satu dampak terbesar dari Program Transformasi Ekonomi Kampung Terpadu (TEKAD) Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi adalah perubahan pola pikir dari warga binaan. Di Kampung Siep Kosi, Distrik Walelagama, kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan misalnya warga rela mengganti kebiasaan menanam sayuran dan ubi dengan buah naga sebagai sumber penghasilan utama.

“Dulu masyarakat hanya bercocok tanam ubi jalar, tapi sejak ada intervensi dan pendampingan Program TEKAD untuk budidaya buah naga, penghasilan meningkat drastis. Ini warga kampung lebih bersemangat untuk terus mengembangkannya,” ujar Koorprov Papua Pegunungan Program TEKAD, Bandua Tabuni, Sabtu (05/10/2024).

Bandua mengungkapkan masyarakat Siep Kosi awalnya hanya bergantung pada sayuran dan ubi jalar sebagai sumber penghasilan utama. Kondisi ini mulai berubah sejak buah naga diperkenalkan sebagai komoditas unggulan baru yang dapat mendongkrak perekonomian desa.

“Dari penelitian yang dilakukan tim TEKAD diketahui jika kampung kami ini kesuburan tanahnya cocok untuk pengembangan buah naga jenis hylocereus polyrhizus atau buah naga merah. Dan memang benar terbukti naga merah bisa tumbuh subur sehingga kampung kami saat ini menjadi sentra buah naga di Kabupaten Jayawijaya,” katanya.

Bandua mengatakan pada awalnya, buah naga adalah komoditas yang tidak lazim di mata petani Kampung Siep Kosi. Penduduk yang terbiasa menanam sayuran dan ubi jalar merasa ragu untuk beralih ke budidaya buah naga.

“Namun, berkat pendampingan dan pelatihan intensif dari Program TEKAD, masyarakat mulai menerima tantangan baru ini dengan semangat tinggi,” katanya.

 

2 dari 2 halaman

Bentuk Kelompok Tani Wiwekena

Para petani pun, lanjut Bandua, membentuk Kelompok tani Wiwekena untuk menjadi pelopor dalam pengembangan budidaya buah naga di kampung tersebut. Mereka mulai menanam buah naga di pekarangan rumah dan lahan kosong yang sebelumnya tidak dimanfaatkan.

“Hasilnya terbukti menggembirakan. Setiap tahun, para petani Kampung Siep Kosi bisa menikmati 6 hingga 8 kali panen dengan kualitas buah yang terjaga,” katanya.

Harga jual buah naga yang stabil di angka Rp50 ribu per kilogram, kata Bandua, menjadi insentif besar bagi masyarakat untuk terus mengembangkan budidaya ini. Dengan harga yang menguntungkan tersebut, penghasilan warga kampung yang semula hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari kini meningkat signifikan.

“Keberhasilan ini tidak hanya berdampak pada perekonomian keluarga, tetapi juga mengubah citra kampung yang dulu minim pilihan ekonomi menjadi pusat pertanian modern,” katanya.

Dia mengatakan buah naga dari Kampung Siep Kosi kini telah dikenal luas di Kabupaten Jayawijaya dan sekitarnya. Pemasaran buah naga tidak hanya terbatas di pasar tradisional, tetapi juga sudah merambah ke pasar provinsi dan beberapa pusat perbelanjaan besar di wilayah Papua Pegunungan.

“Kampung Siep Kosi kini menjadi sentra buah naga di wilayah tersebut, dan keberhasilan ini telah menginspirasi kampung-kampung lain untuk mengikuti jejak mereka,” katanya.

Bandua berharap pemerintah daerah melihat potensi besar ini sebagai peluang untuk mengembangkan sektor pertanian di kampung-kampung sekitarnya. Salah satu rekomendasinya adalah melibatkan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang sudah dibentuk di kampung tersebut untuk mengelola pemasaran buah naga secara lebih profesional. Selain meningkatkan pemasaran, diperlukan pelatihan lebih lanjut bagi petani Kampung Siep Kosi.

“Kami berharap pemerintah dapat memberikan pelatihan agar buah yang tidak terjual dapat diolah menjadi produk yang memiliki nilai tambah. Ini akan sangat membantu petani agar tidak merugi ketika harga turun,” pungkasnya.