Liputan6.com, Jakarta Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sering menjadi perhatian publik. Jumlah kasus yang terlaporkan juga cukup tinggi. Berdasarkan data dari KemenPPPA sampai September 2024, aduan terkait KDRT sebanyak 11.713 kasus.
Tingginya kasus KDRT tentu mengundang banyak pertanyaan. Sebab implementasi dari Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dakam Rumah Tangga (PKDRT) dipertanyakan. Sebab sampai saat ini kasus KDRT masih menjadi fenomena gunung es.
Baca Juga
Psikolog klinis dewasa, Nirmala Ika menyatakan semua bentuk kekerasan pada rumah tangga yang biasa terjadi pada suami-istri, orang tua - anak, mantu-mertua bahkan dengan asisten rumah tangga dapat didefinisikan sebagai KDRT. Sedangkan untuk saat ini kasus yang banyak dilaporkan dalam KDRT yaitu kekerasan antara suami dan istri.
Advertisement
Menurut Nirmala, KDRT merupakan terjadi ketika dalam sebuah hubungan salah satu pihak merasa ingin lebih berkuasa. Kemudian merasa mampu untuk melakukan aksi intimidasi hingga merendahkan korbannya.
"Ini supaya si korban ini bisa kehilangan identitas dirinya dan tujuannya ya untuk membuat si korban ini makin tunduk dan makin dikuasai," kata Nirmala kepada Liputan6.com.
Dalam tindakannya, KDRT tak hanya berkaitan dengan kekerasan fisik, seperti halnya pemukulan. Namun juga kekerasan psikis. Misalnya dalam hal perselingkuhan.
Kemudian ada pula bentuk kekerasan lainnya yaitu permasalahan ekonomi seperti tidak memberikan nafkah. Selanjutnya yaitu kekerasan seksual dalam rumah tangga yang kerap kali masyarakat tidak sadar mengenai hal ini. Contohnya pemaksaan hubungan seksual oleh salah satu pihak.
"Tapi biasanya (kekerasan) verbal sama psikis itu tidak disadari dilakukannya atau korbannya juga tidak menyadari kalau dia mengalami kekerasan jadi dianggapnya hal lumrah," ujar dia.
Korban KDRT Berpotensi Jadi Pelaku?
Nirmala juga menyebut bahwa anak yang tumbuh dalam keluarga yang mengalami KDRT berpotensi menjadi pelaku ataupun korban. Bahkan anak secara tidak sadar akrab dengan tindak kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa.
"Memang tidak satu garis lurus ya bahwa kita mengalami anak kita pasti akan menjadi korban atau pelaku. Tapi potensinya kita menjadi pelaku atau korban jika kita tumbuh di keluarga yang berkekerasan itu menjadi lebih besar, kenapa karena itu familiar sama kita, kita tahunya itu normal-normal aja,” sambung dia.
Nirmala mendorong rantai kekerasan yang terjadi harus segera diakhiri. Hal tersebut guna tidak memperpanjang proses trauma dan dapat terjadi sampai turun temurun.
Karena itu, Nirmala meminta para korban KDRT dapat segera mencari bantuan. Mulai dari keluarga terdekat, teman, komunitas, hingga konselor yang paham mengenai kasus tersebut.
“Intinya kita jangan takut untuk membuka diri karena dengan kita membuka diri kita bisa tau dan mengenali ini KDRT atau bukan. Kita memang butuh orang lain untuk menyadari itu karena kalau diri kita sendiri kadang kita engga engeh (sadar), dan pasti tadi jadi biasa aja. Jadi memang butuh support system itu di luar dari keluarga,” jelas Nirmala.
Advertisement
Pelaku KDRT Istri di Surabaya Ditahan, Terancam 5 Tahun Penjara
Polrestabes Surabaya menetapkan tersangka dan menahan dosen bergelar doktor hukum berinisial MHU dalam perkara kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
"Hari ini kami tetapkan sebagai tersangka dan langsung ditahan setelah menjalani pemeriksaan," kata Kasat Reskrim Polrestabes Surabaya AKBP Aris Purwanto, Selasa 3 September 2024.
Penetapan tersangka ini dilakukan setelah Polisi melakukan penyidikan intensif yang melibatkan pengumpulan barang bukti dan pemeriksaan saksi-saksi dari pelapor dan dua anaknya saat kejadian tersebut.
Korban sekaligus pelapor KDRT perkara ini berinisial S, yang tak lain adalah istri tersangka MHU.
Kasat Reskrim AKBP Aris Purwanto mengungkap tersangka MHU menghajar sang istri di antaranya menggunakan sebilah pipa di rumah kawasan Pakuwon City Surabaya.
Kejadian tersebut disaksikan kedua anaknya, selain juga diperkuat oleh sejumlah alat bukti, salah satunya berupa rekaman kamera "CCTV" yang terpasang di salah satu ruangan rumahnya.
AKBP Aris menandaskan alat bukti berupa pipa yang digunakan tersangka MHU dalam melakukan KDRT terhadap istrinya belum ditemukan.
"Terkait dengan pipa, salah satu alat bukti yang belum ditemukan, kita langsung melakukan upaya paksa penangkapan terhadap tersangka MHU. Saat ini HU kita lakukan pemeriksaan dan hari ini juga kita lakukan penahanan," ujarnya.
Polisi menjerat tersangka MHU dengan Pasal 44 Ayat 1 dan Pasal 45 Ayat 1 Undang-undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT juncto Pasal 64 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
"Ancaman hukumannya lima tahun penjara," ucap Kasat Reskrim Polrestabes Surabaya AKBP Aris Purwanto.