Sukses

Hakim Cuti Massal Tuntut Kenaikan Gaji dan Tunjangan, Yakin Bisa Cegah Suap?

Para hakim se-Indonesia menggelar aksi cuti massal pada 7 Oktober 2024 yang berlangsung selama sepekan. Aksi ini digelar untuk mengadvokasi kesejahteraan mereka yang dinilai mandek dan kurang diperhatikan.

Liputan6.com, Jakarta - Suasana haru menyelimuti Ruang Rapat Komisi III DPR pada Selasa, 8 Oktober 2024, ketika para hakim yang tergabung dalam Solidaritas Hakim Indonesia (SHI) melakukan audiensi dengan pimpinan DPR. Momen emosional ini terjadi saat Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, secara mendadak menghubungi Presiden Terpilih Prabowo Subianto di tengah rapat dan memperdengarkan percakapan mereka melalui pengeras suara.

Dalam percakapan tersebut, Prabowo dengan tegas mengapresiasi dedikasi para hakim dalam menjaga keadilan di Indonesia. Ia juga menegaskan komitmennya untuk memperjuangkan peningkatan kesejahteraan mereka, termasuk kenaikan gaji dan tunjangan yang selama ini menjadi tuntutan utama.

Mendengar janji tersebut, suasana rapat berubah seketika. Sejumlah hakim yang hadir tampak tak kuasa menahan air mata, sementara sebagian lainnya menyambut dengan sorak sorai atas komitmen langsung dari Prabowo tersebut.

Sebelumnya, para hakim di seluruh Indonesia menggelar aksi cuti massal pada 7 Oktober 2024 yang berlangsung selama sepekan. Aksi ini digelar untuk mengadvokasi kesejahteraan mereka yang dinilai mandek dan kurang diperhatikan.

Juru Bicara Solidaritas Hakim Indonesia (SHI), Fauzan Arrasyid, mengungkapkan bahwa SHI membawa empat agenda utama saat mengadu ke DPR RI pada 8 Oktober 2024. Agenda tersebut berfokus pada kesejahteraan hakim, terutama mereka yang bertugas di daerah-daerah terpencil.

Fauzan menjelaskan bahwa SHI sebagai wadah gerakan cuti bersama hakim, menuntut adanya kenaikan tunjangan sebesar 242 persen.

"242 persen itu diambil dari 100 persen tunjangan tahun 2012 dan 142 persen kenaikan. Totalnya 242," ujar Fauzan, Senin 7 Oktober 2024.

Lebih lanjut, Fauzan menerangkan bahwa kenaikan 142 persen tersebut berasal dari tunjangan jabatan, dan menurutnya besaran itu wajar mengingat sudah 12 tahun para hakim tidak mengalami kenaikan gaji.

"Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung," ucapnya.

Fauzan menyatakan, kenaikan tunjangan itu secara khusus untuk hakim pada golongan tingkat II, yang berada pada pengadilan tingkat kabupaten/kota. Menurut dia, tunjangan yang tidak besar itu harus digunakan untuk berbagai kebutuhan.

"12 tahun tidak mengalami perubahan dan penyesuaian, tunjangan jabatan harus kami gunakan untuk biaya rumah, transport, untuk biaya kesehatan anak, istri, orang tua kami, Yang Mulia," Fauzan memungkasi.

Kenaikan Gaji Hakim Bisa Cegah Suap?

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah menilai, aksi cuti bersama yang dilakukan oleh para hakim se-Indonesia untuk menuntut kenaikan gaji dan tunjangan merupakan hal yang wajar.

Ia menganggap bahwa aksi tersebut adalah bagian dari hak setiap warga negara yang dilindungi oleh undang-undang. Para hakim, kata dia, menggunakan instrumen legal untuk menyampaikan tuntutan mereka, sehingga tindakan cuti bersama seharusnya dipahami sebagai hal yang wajar.

"Satu, itu adalah bagian dari hak setiap warga negara dan itu bahkan dilindungi oleh undang-undang. Itu standar normatifnya begitu. Jadi ketika teman-teman hakim, ya kalau istilahnya kan cuti ya, tidak mogok, Dia menggunakan instrumen legal dalam bentuk cuti untuk menyampaikan tuntutannya. Dan itu saya pikir adalah hal yang wajar. Setiap warga negara artinya termasuk juga teman-teman hakim," kata Hamzah kepada Liputan6.com, Rabu (9/10/2024).

Hamzah menekankan bahwa sejatinya problem kesejahteraan hakim di Indonesia memang tidak bisa dinafikan. Untuk itu, pemerintah harus serius menyikapi tuntutan hakim tersebut.

"Kita juga tidak bisa menutup mata problem teman-teman hakim dalam soal kesejahteraan kan. Gimana kita bisa memberikan ruang yang bagus di dalam proses menjalankan kewajiban-kewajibannya kalau dalam keadaan perut lapar begitu. Artinya, tuntutan kesejahteraan bagi hakim adalah hal yang tidak boleh dinafikan oleh negara. Jadi, mestinya itu direspons gitu ya," ucap Hamzah.

"Itu menurut saya dua argumen yang menguatkan bahwa kita mesti memberikan support terhadap hakim-hakim yang melakukan cuti kolektif ini istilahnya ya. Cuti kolektif untuk membangun posisi tawar agar tuntutannya bisa dipenuhi. Begitu," sambungnya.

Kendati demikian, Hamzah mengingatkan bahwa kenaikan gaji dan tunjangan tidak serta-merta menjamin hilangnya praktik suap dalam sistem peradilan. Menurutnya, dalam menyikapi tuntutan tersebut harus juga dibarengi dengan pengawasan ketat terhadap hakim-hakim, agar dapat meminimalisir kasus rasuah di ranah peradilan.

"Ya, tidak bisa memberikan jaminan secara langsung, tetapi tahap awalnya kan sudah bisa dilakukan. Jadi, kita semacam memberikan ruang agar problem kesejahteraan itu bisa dijawab oleh hakim-hakim. Memang tidak bisa serta-merta memberikan jaminan, tindak-tindakan suap itu tidak terjadi gitu ya. Makanya, persoalan kesejahteraan itu tidak hanya ditutup atau diselesaikan, tetapi juga sekaligus mengaktifkan fungsi pengawasan secara ketat terhadap kinerja hakim. Kan ada komisi judicial, ada publik yang bisa mengawasi dan lain sebagainya," jelasnya.

Lebih lanjut, ia menegaskan pentingnya reformasi menyeluruh untuk memperkuat integritas hakim, salah satunya dimulai dari proses seleksi hakim yang harus ketat, agar dapat dipastikan yang terpilih tidak memiliki rekam jejak buruk.

"Jadi proses pembenahan itu mesti dilakukan dari hulu ke hilir. Mulai dari proses seleksi, itu kan juga penting tuh. Melacak rekam jejaknya, melacak aktivitas yang pernah dilakukan, dia pernah melakukan kejahatan apa, terhubung dengan perkara apa dan sebagainya," ujarnya.

"Kemudian kita betul-betul harus memastikan bahwa hakim-hakim yang diangkat adalah hakim-hakim yang memang secara rekam jejak itu tidak punya masalah," Sambungnya.

Sementara itu, Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar, menilai langkah para hakim yang melakukan cuti bersama untuk menuntut kenaikan gaji dan tunjangan kurang tepat. Menurut Fickar, para hakim seharusnya mengambil pendekatan yang lebih bermartabat dalam memperjuangkan hak-hak mereka.

"Sebagai insan intelektual, seharusnya mereka memperjuangkan hak-hak tersebut dengan cara yang terhormat, bukan dengan mogok seperti pekerja. Perilaku hakim yang melakukan cuti bersama ini telah menggradasi kewibawaan profesinya sebagai seorang pejabat negara," kata Fickar kepada Liputan6.com, Rabu (9/10/2024).

Fickar menegaskan bahwa kesejahteraan hakim memang perlu diperhatikan oleh negara. Namun di sisi lain juga harus dibarengi dengan pengawasan yang ketat.

"Kesejahteraan hakim itu memang harus diperhatikan negara, karena posisi hakim yang strategis rawan korupsi dalam hal ini terima suap atau meminta suap atas kewenangannya memutuskan setiap perkara. Jadi negara harus memperhatikan," ucapnya.

Fickar juga menyoroti pentingnya pengawasan dan etika yang lebih ketat dari negara. Ia mengkhawatirkan bahwa jika hakim hanya mementingkan kebutuhan materi, maka pengadilan bisa kehilangan posisinya sebagai lembaga keadilan.

"Ini bahaya kalau pandangan seperti itu merata di masyarakat, pengadilan bukan lagi menempatkan dirinya sebagai wakil Tuhan atau tempat mencari keadilan, tetapi menjadi tempat perlombaan banyak-banyak memberikan ‘sesuatu’ kepada hakim umpamanya begitu," ucap Fickar

"Tindakan mereka sekarang dengan mogok menunjukkan orientasi mereka sebenernya masih pada materi bukan kepada mewujudkan keadilan," sambungnya.

 

2 dari 5 halaman

Gaji Hakim di Indonesia Lebih Rendah dari Negara Lain?

Adapun Pakar Hukum Pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Chairul Huda, mengungkapkan bahwa salah satu alasan utama di balik aksi cuti bersama yang dilakukan para hakim di seluruh Indonesia adalah terkait tuntutan peningkatan kesejahteraan. Menurutnya, hal tersebut sangat wajar mengingat kesejahteraan yang memadai sangat memengaruhi kinerja para hakim.

"Bagaimana hakim itu bisa bekerja dengan baik kalau kesejahteraannya tidak memadai. Jadi tuntutan itu wajar-wajar saja. Bahkan mungkin perlu dilakukan komparasi dengan hakim-hakim negara kawasan. Mungkin kita jangan menggunakan ukuran Singapura, mungkin ukuran Malaysia bisa. Hakim Malaysia berapa tingkat kesejahteraannya? Dugaan saya sangat jauh perbedaannya. Jadi wajar saja, tuntutan itu," ujar Huda kepada Liputan6.com, Rabu (9/10/2024).

Huda menekankan pentingnya kesejahteraan para hakim dalam mendukung roda pemerintahan, terutama karena Indonesia merupakan negara hukum. Menurutnya, pemerintah harus memperhatikan penyediaan fasilitas yang memadai bagi para hakim agar mereka bisa fokus menjalankan tugasnya.

"Hakim seharusnya disediakan rumah dinas dan kendaraan agar mereka dapat menjalankan tugas dengan nyaman tanpa harus memikirkan masalah tempat tinggal. Fasilitas ini sangat penting, terutama bagi hakim yang ditugaskan di daerah untuk waktu yang terbatas," tambahnya.

Selain itu, Huda juga menekankan pentingnya jaminan kesehatan bagi para hakim agar mereka dapat bekerja dengan konsentrasi penuh. Ia menyebutkan bahwa pekerjaan hakim membutuhkan ketenangan pikiran dan kesehatan fisik yang prima.

"Jadi fasilitas dan tunjangan itu menjadi penting. Jaminan kesehatan bagi hakim, supaya hakim jangan berobat ke puskesmas gitu. Dia harus sehat karena kerjanya itu berpikir. Orang kerja berpikir dengan kerja manggul itu kan beda. Kalau manggul kasih makan yang banyak dia bisa kerja. Kalau orang berpikir itu pasti macam-macam, dan bisa stres juga," jelas Huda.

Di sisi lain, Pengamat hukum pidana dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Lies Sulistiani, menekankan perlunya solusi yang tepat terkait tuntutan kenaikan gaji dan tunjangan para hakim, agar tidak menjadi masalah yang berkepanjangan.

Menurutnya, kesejahteraan hakim merupakan aspek yang sangat penting mengingat peran mereka dalam menegakkan hukum dan keadilan.

"Dalam peradilan, hakim itu mempunyai tugas dan fungsi yang berat dalam menegakkan hukum dan keadilan bagi seluruh masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk diperhatikan kesejahteraannya," ujar Lies.

Kepala Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unpad ini menilai tuntutan kenaikan gaji dan tunjangan yang disampaikan para hakim adalah hal yang wajar. Ia menegaskan bahwa para hakim, sebagai bagian dari masyarakat, memiliki hak untuk menyampaikan aspirasi mereka.

"Apalagi, penghasilan hakim sejak tahun 2012 belum ada perubahan dan penyesuaian, sehingga mereka meluapkan keinginan kesejahteraan melalui aksi yang diperbolehkan," tambahnya.

Lies juga menyarankan agar tuntutan tersebut segera ditanggapi oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan bijak dan serius, serta dicarikan solusi yang efektif.

"Jangan dibiarkan hingga mengganggu keberlangsungan proses persidangan di pengadilan, yang dapat saja mencoreng wajah peradilan Indonesia," tuturnya.

Lebih lanjut, ia menyebut bahwa situasi ini juga mencerminkan adanya masalah yang lebih besar dalam sistem peradilan di Indonesia, termasuk masalah kesejahteraan hakim.

"Oleh karena itu, penting untuk diperhatikan kesejahteraannya. Penting juga bagi negara dan seluruh bangsa ini untuk terus menerus menjaga kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku hakim," pungkasnya.

3 dari 5 halaman

Cak Imin Minta Pemerintah Serius Tanggapi Aksi Mogok Massal Hakim

Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Muhaimin Iskandar atau Cak Imin mendesak pemerintah serius menyikapi aksi cuti massal hakim se-Indonesia yang menuntut ketidakadilan dan kesejahteraan.

"Ohiya saya baru mendapat kabar ini kemarin, dan tentu ini harus disikapi serius oleh pemerintah. Hakim itu tulang punggung penyelesaian perkara, mereka juga bagian penting dari pilar demokrasi kita di bidang yudikatif," kata Cak Imin dalam keteranagnnya, Rabu (9/10/2024).

Cak Imin menilai sikap para hakim tersebut adalah aspirasi sekaligus kritik yang harus diwujudkan.

"Ya saya kira wajar para hakim kita mengajukan hak keuangan dan fasilitas. Karena memang mereka bekerja bukan untuk pribadi, tapi untuk tegaknya rule of law di negara kita. Ingat, kita ini negara hukum, kalau hakimnya tidak kita perhatikan, mana mungkin hukum bisa ditegakkkan dengan baik," kata Cak Imin.

Sementara itu, Anggota DPR RI Ahmad Sahroni menyatakan harapannya agar para hakim segera mendapatkan kenaikan gaji yang sejalan dengan beban profesi yang mereka emban. Sahroni memastikan bahwa Komisi III DPR RI akan memperjuangkan kesejahteraan para hakim.

Menurut Sahroni, sudah seharusnya hakim mendapatkan gaji yang besar. "Itu selaras dengan tanggungan profesinya sebagai perwakilan tuhan di muka bumi. Jadi pokoknya, full support untuk kesejahteraan para hakim, salah satunya dengan mendukung rencana kenaikan gaji," jelas dia.

Lebih lanjut, Sahroni pun menyebut DPR khususnya Komisi III bakal membantu mendorong dan memastikan kesejahteraan para hakim. Karena bagaimanapun, hakim merupakan aktor penentu kualitas keadilan.

"Ada beberapa catatan yang akan sama-sama kita selesaikan. Beberapa di antaranya terkait gaji hakim yang tak kunjung mendapat kenaikan, tunjangan kinerja yang hilang sejak 2012, jaminan keselamatan, dan kesetaraan gender di profesi kehakiman. Pokoknya kita akan temukan titik keseimbangannya, agar beban kerja para hakim dapat selaras dengan kesejahteraan yang diterimanya," tutur Politikus NasDem ini.

Sehingga Sahroni berharap nantinya para hakim dapat bekerja dengan lebih profesional, objektif, dan fokus.

"Karena kualitas keadilan di Indonesia sangat bergantung kepada para Hakim. Di sisi lain, bagaimana Hakim bisa fokus kalau kesejahteraannya belum terpenuhi seperti ini? Nah itu yang akan kita selesaikan," pungkasnya.

4 dari 5 halaman

Jokowi Sebut Kenaikan Gaji Hakim Masih Dikaji dan Dihitung Kementerian

Presiden Joko Widodo atau Jokowi angkat bicara soal aksi cuti massal hakim se-Indonesia, yang salah satu tuntutannya meminta kenaikan gaji. Jokowi mengatakan kenaikan gaji para hakim saat ini masih dikaji dan dihitung kementerian terkait.

"Semuanya masih dalam kajian dan perhitungan di Menpan, Menteri Hukum dan Ham, dan juga Kementerian Keuangan. Semuanya baru dihitung dan dikalkulasi," jelas Jokowi di JCC Senayan Jakarta, Selasa 8 Oktober 2024.

Sementara itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menyatakan akan segera membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Jabatan Hakim. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyebut, DPR periode 2024-2029 akan menggulirkan RUU tersebut.

"Kita akan secepatnya dalam periode DPR yang baru pada saat ini, untuk kemudian meluncurkan kembali RUU Jabatan Hakim," kata Dasco di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa 8 Oktober 2024.

Selain itu, Dasco menyebut pihaknya akan mendorong pemerintah untuk mencari solusi dari tuntutan para hakim yang mogok alias cuti massal.

"Kami juga akan menyampaikan kepada pemerintah sekarang maupun yang akan datang bagaimana ini memecahkan persoalan para hakim," ujar Dasco.

4 Tuntutan Solidaritas Hakim Indonesia saat Audiensi ke Pimpinan DPR

Solidaritas Hakim Indonesia (SHI) menyampaikan empat tuntutan dihadapan Pimpinan DPR RI dalam rapat audiensi di ruang rapat komisi III DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa 8 Oktober 2024. Salah satu tuntutan utama yang diajukan adalah perubahan Peraturan Pemerintah No. 94 Tahun 2012 yang mengatur hak keuangan dan fasilitas hakim.

Menurut Juru Bicara Solidaritas Hakim Indonesia Fauzan Arrasyid, Kesejahteraan yang tidak memadai berpotensi mengurangi semangat kerja para hakim dan dapat mempengaruhi integritas mereka dalam menjalankan tugas.

"Pertama mendorong perubahan PP 94 2012 tentang hak hak keuangan dan fasilitas hakim. Ini memang betul harus jadi sorotan yang mulia anggota dewan. Jika tidak banyak hakim hakim muda yang menyerah bisa menyerah mundur sebagai hakim bisa menyerah luntur integritasnya bisa menyerah akhirnya menikmati rezeki yang haram. Kami mohon ini jadi perhatian," kata dia.

Kedua, SHI menuntut pembahasan RUU Jabatan Hakim. RUU ini membahas seluruh hal mengenai para hakim dari proses rekrutmen, promosi, mutasi sampai pengawasan.

"Kami minta pengawasan terhadap hakim juga diperkuat pimpinan sebab kami yakin kesejahteraan yang baik saja tidak cukup tanpa ada monitoring dan evaluasi yang lebih serius kepada kami. Kami ingin peradilan yang bersih pimpinan. Kami juga punya Keluarga dari rakyat biasa kami dengar cerita cerita mereka bagaimana wajah peradilan saat ini. Kami ingin pastikan tempat kami mencari rezeki juga dipandang bersih oleh masyarakat Indonesia secara keseluruhan," ujar Fauzan.

Tuntutan ketiga adalah mendorong DPR membahas RUU Contempt of Court atau pelecehan terhadap persidangan. Karena banyak sekali pelecehan terhadap proses persidangan baik di dalam ruang persidangan, lingkungan persidangan maupun di luar.

"Ketiga kami mendorong agar dilakukan pembahasan RUU Contempt of Court pelecahan terhadap persidangan. Sebab banyak sekali penghinaan itu terjadi di dalam ruang persidangan terjadi di lingkungan ruang satuan kerja bahkan di luar," ucapnya.

Terakhir, para hakim meminta adanya aturan jaminan keamanan bagi hakim dan keluarga. Karena dalam menjalankan tugasnya para hakim kerap mendapatkan intimidasi.

"Terakhir, adalah agar segera didorong adanya pembahasan peraturan pemerintah terhadap jaminan bagi hakim dan juga keluarga hakim itu sendiri karena ada banyak intimidasi yang kita terima," imbuh Fauzan.

 

 

5 dari 5 halaman

Infografis Besaran Gaji dan Tunjangan Hakim