Liputan6.com, Jakarta - Ketua Program Kajian Terorisme, Muhamad Syauqillah dari Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (SKSG UI) menilai, tindak pidana terhadap ideologi negara yang diatur dalam KUHP Pasal 188, 189, dan 190 perlu pengaturan lebih lanjut dalam konteks tindak pidana terorisme.
Menurut dia, banyak pelaku tindak pidana terorisme dimotivasi oleh ideologi tertentu yang jelas bertentangan dengan Pancasila.
Baca Juga
“Kejelasan dan rencana implementasi KUHP ini penting karena sebagai pengkaji terorisme, KUHP yang akan diberlakukan pada 2026 khususnya pasal 188, 189, dan 190 dengan tegas mengatur pidana Ideologi yang bertentangan atau bahkan meniadakan Pancasila,” kata Syauqillah dalam keterangan diterima, Kamis (10/10/2024).
Advertisement
“Kalau di UU No.5 Tahun 2018 tentang perilakunya. Nah KUHP ini mau bagaimana diimplementasikan?” tanya dia.
Sementara itu, dalam diskusi kelompok di Kajian Terorisme, SKSG UI, Wakil Direktur SKSG, Prof. Dr. Eva Achjani Zulfa, SH., MH. mengatakan kebebasan individu untuk menganut ideologi ajaran tertentu dilindungi HAM. Namun sekaligus dibatasi dengan aturan tidak merugikan orang lain.
“Untuk itu penanganan pidana ideologi harus hati-hati. Ketika tindak pidana ini negara terlalu over reaktif atau over kriminal. Maka bukan bikin takut malah bikin lancar. Perlu juga dicermati soal pengkhianatan, penghasutan, mengancam ketertiban umum,” wanti Eva.
Eva mengakui, tidak mudah mempidanakan ideologi dengan mengambil contoh hukuman mati Imam Samudra yang justru menginspirasi jaringannya. Selain itu dijelaskan juga tentang Socrates yang dihukum mati karena ideologinya tapi pikirannya masih dipakai sampai sekarang, demikian juga Copernicus yang dihukum mati karena teori heliosentrisnya tapi teori tersebut terus dipakai.
“Ada yang perlu dicermati juga jika pasal 188-190 ini diterapkan sebagai ordinary crime sementara terorisme extraordinary crime maka bagaimana dengan lapas super maximum security?” tanya Eva.
Pancasila Perlu Dijaga
Senada dengan Eva, Ketua Program Doktor SKSG UI, Dr. Margaretha Hanita, SH., M.Si mengungkap disertasinya soal makar organisasi terkait Papua Merdeka. Dia mengatakan, pada level tertentu seseorang yang dipidana dengan kejahatan makar justru meningkatkan keterkenalan dan pengaruh di kelompoknya.
“Kita perlu cermat (menempatkan) mana makar, mana terorisme,” jelas dia.
Maka dari itu, dalam pandangan universalisme Pancasila perlu dijaga. Namun bukan berarti negara dapat abai terhadap ideologi-ideologi yang bisa menjadi akar terorisme di Indonesia.
“Gerakan kiri jauh dan kanan jauh saat ini bertemu di Jerman dan sedang menjadi perhatian negara. Termasuk di dalamnya cyber terrorism, ini perlu dilakukan Indonesia juga” dia menandasi.
Advertisement