Liputan6.com, Lumajang: Presiden Megawati Sukarnoputri menyatakan prihatin dengan kondisi sebagian besar keluarga Indonesia yang minim kualitas materi mau pun spiritual. Keadaan tersebut melahirkan generasi muda yang labil sehingga tak pandai menyaring informasi yang tak membangun. Terbukti dengan tingginya angka pengguna narkotika dan obat-obatan berbahaya, pengidap acquired immuno deficiency syndrome (AIDS), dan tawuran, yang melibatkan anak-anak muda mulai dari usia 15-30 tahun. "Jika keluarga penuh kasih sayang dan damai, bukan tak mungkin akan terlahir keluarga yang mampu mencegah ekses kehidupan yang tak menguntungkan itu," demikian penggalan pidato Presiden pada peringatan ke-10 Hari Keluarga Nasional di Lumajang, Jawa Timur, Ahad (29/6).
Presiden mengakui, masalah-masalah yang muncul oleh kelakuan bengal kaum muda memang bukan sepenuhnya kesalahan keluarga. Hal itu, kata dia, datang dari berbagai hal yang kompleks yang tak terjangkau tugas dan tanggung jawab keluarga. Karena itu, semua komponen termasuk lingkungan dan pemerintah harus bersama-sama membangun iklim yang positif buat generasi muda agar mereka tak sia-sia. "Kegagalan dalam keluarga adalah kegagalan dalam interaksi sosial," tambah kepala negara ini.
Acara juga diikuti sejumlah menteri Kabinet Gotong Royong, antara lain Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Sosial Jusuf Kalla, dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea. Hadir pula sekitar 3.000 peserta dari berbagai daerah termasuk gubernur. Di antara mereka ada yang menerima penghargaan Satya Lencana Wirakarya karena dinilai berjasa dalam hal Keluarga Berencana dan upaya peningkatkan kesejahteraan keluarga di daerahnya masing-masing [baca: Hari Ini Presiden Mencanangkan Harganas].
Memasuki peringatan Harganas ke-10 ini, hendaknya pemerintah semakin kreatif mencari solusi agar kualitas keluarga Indonesia semakin meningkat baik dari segi materi maupun spiritual. Sebab, di balik penghargaan-penghargaan kesuksesan yang diberikan, banyak keluarga yang terhimpit terutama beban ekonomi sehingga tak mampu menghasilkan generasi yang terpelajar. Boro-boro biaya sekolah, untuk makan saja mereka susah. Bahkan, sebagian anak-anak terpaksa harus kehilangan waktu bermain apalagi belajar karena harus bekerja mencari nafkah. Pekerjaan mereka pun rentan terhadap bahaya, seperti mengamen di jalanan yang penuh bahaya mengintai.
Itulah yang dirasakan keluarga Dedi Gendut yang tinggal di satu sudut lingkungan kumuh di Ibu Kota. Tiga anak yang dimilikinya dikerahkan untuk turut menambah penghasilan keluarga. Anak keduanya, seorang remaja putri berusia 14 tahun bekerja di sebuah rumah makan di wilayah Jakarta Timur. Dua anaknya yang berumur 8 tahun dan 9 tahun disuruh mengamen. Ika, anak keempat Dedi, mengaku mau saja mengamen demi keluarganya. Berkat usahanya sejak pagi sampai sore hari, bocah ini mendapat uang rata-rata Rp 25 ribu sehari. Sebagian, menurut dia, diserahkan kepada orangtua.
Mengirim anak-anaknya ke jalan, kata Dedi, karena dia yang cuma lulusan sekolah menengah pertama tak mempunyai pekerjaan tetap. Paling-paling mengangkut puing-puing bangunan rumah untuk dibuang yang upahnya tak mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari. "Ada rasa takut sih melepas mereka ke jalanan. Perkosaan atau penculikan kayak di koran-koran. Makanya disuruh ngamen-nya nggak jauh-jauh [dari rumah]," ungkap Dedi Gendut. Jika sampai malam tiba anak-anaknya masih belum pulang, maka Dedi akan langsung menyusul mereka.
Di luar sana, entah berapa banyak keluarga serupa Dedi Gendut. Yang masih berjuang keras memperoleh kehidupan ekonomi dan sosial yang layak. Kalaupun ada keluarga Indonesia hidup berkecukupan, belum tentu pula moralnya baik. Sebuah pekerjaan rumah besar buat negara yang sebentar lagi berulang tahun ke-58 ini.(MTA/Tim Liputan 6 SCTV)
Presiden mengakui, masalah-masalah yang muncul oleh kelakuan bengal kaum muda memang bukan sepenuhnya kesalahan keluarga. Hal itu, kata dia, datang dari berbagai hal yang kompleks yang tak terjangkau tugas dan tanggung jawab keluarga. Karena itu, semua komponen termasuk lingkungan dan pemerintah harus bersama-sama membangun iklim yang positif buat generasi muda agar mereka tak sia-sia. "Kegagalan dalam keluarga adalah kegagalan dalam interaksi sosial," tambah kepala negara ini.
Acara juga diikuti sejumlah menteri Kabinet Gotong Royong, antara lain Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Sosial Jusuf Kalla, dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea. Hadir pula sekitar 3.000 peserta dari berbagai daerah termasuk gubernur. Di antara mereka ada yang menerima penghargaan Satya Lencana Wirakarya karena dinilai berjasa dalam hal Keluarga Berencana dan upaya peningkatkan kesejahteraan keluarga di daerahnya masing-masing [baca: Hari Ini Presiden Mencanangkan Harganas].
Memasuki peringatan Harganas ke-10 ini, hendaknya pemerintah semakin kreatif mencari solusi agar kualitas keluarga Indonesia semakin meningkat baik dari segi materi maupun spiritual. Sebab, di balik penghargaan-penghargaan kesuksesan yang diberikan, banyak keluarga yang terhimpit terutama beban ekonomi sehingga tak mampu menghasilkan generasi yang terpelajar. Boro-boro biaya sekolah, untuk makan saja mereka susah. Bahkan, sebagian anak-anak terpaksa harus kehilangan waktu bermain apalagi belajar karena harus bekerja mencari nafkah. Pekerjaan mereka pun rentan terhadap bahaya, seperti mengamen di jalanan yang penuh bahaya mengintai.
Itulah yang dirasakan keluarga Dedi Gendut yang tinggal di satu sudut lingkungan kumuh di Ibu Kota. Tiga anak yang dimilikinya dikerahkan untuk turut menambah penghasilan keluarga. Anak keduanya, seorang remaja putri berusia 14 tahun bekerja di sebuah rumah makan di wilayah Jakarta Timur. Dua anaknya yang berumur 8 tahun dan 9 tahun disuruh mengamen. Ika, anak keempat Dedi, mengaku mau saja mengamen demi keluarganya. Berkat usahanya sejak pagi sampai sore hari, bocah ini mendapat uang rata-rata Rp 25 ribu sehari. Sebagian, menurut dia, diserahkan kepada orangtua.
Mengirim anak-anaknya ke jalan, kata Dedi, karena dia yang cuma lulusan sekolah menengah pertama tak mempunyai pekerjaan tetap. Paling-paling mengangkut puing-puing bangunan rumah untuk dibuang yang upahnya tak mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari. "Ada rasa takut sih melepas mereka ke jalanan. Perkosaan atau penculikan kayak di koran-koran. Makanya disuruh ngamen-nya nggak jauh-jauh [dari rumah]," ungkap Dedi Gendut. Jika sampai malam tiba anak-anaknya masih belum pulang, maka Dedi akan langsung menyusul mereka.
Di luar sana, entah berapa banyak keluarga serupa Dedi Gendut. Yang masih berjuang keras memperoleh kehidupan ekonomi dan sosial yang layak. Kalaupun ada keluarga Indonesia hidup berkecukupan, belum tentu pula moralnya baik. Sebuah pekerjaan rumah besar buat negara yang sebentar lagi berulang tahun ke-58 ini.(MTA/Tim Liputan 6 SCTV)