Liputan6.com, Jakarta - Ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam mengakses pendidikan di Indonesia masih terlihat jelas. Dalam sektor pendidikan STEM (sains, teknologi, teknik, dan matematika), seperti dicatat lembaga perburuhan dunia, International Labour Organization (ILO), perempuan hanya menyumbang 35% lulusan STEM dan hanya 8% pekerja STEM di Indonesia.
Laki-laki mendominasi posisi STEM yang lebih terampil dan memiliki gaji lebih tinggi, sementara perempuan terkonsentrasi di pekerjaan yang bergaji lebih rendah dan kurang terampil. Padahal, menurut studi World Bank tahun 2018, mendidik perempuan menjadi kunci untuk mengurangi kemiskinan.
Baca Juga
Country Head Tanoto Foundation Indonesia Inge Kusuma, menyampaikan situasi itu dalam Sustainable Development Goals (SDGs) Festival di Gedung Trisno Soemardjo, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Minggu (6/10/2024). Dalam forum ini, Inge membahas tema Pendidikan untuk Perempuan sebagai Fondasi Pembangunan Berkelanjutan.
Advertisement
SDGs Festival merupakan bagian dari SDGs Annual Conference 2024 yang bertujuan untuk mengumpulkan pemangku kepentingan yang terlibat dalam pencapaian SDGs Indonesia dan mendiseminasikan capaian SDGs untuk memastikan pembangunan inklusif dan akuntabel.
“Perempuan di sektor STEM Indonesia juga menghasilkan pendapatan 28% lebih rendah dibandingkan laki-laki. Sebagai perbandingan, negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand, mereka memiliki representasi perempuan yang lebih tinggi di bidang STEM, berkat sistem pendidikan yang lebih baik, kebijakan gender, dan ekonomi yang lebih kuat,” paparnya.
Padahal salah satu SDGs atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan menjadi target pemerintah Indonesia pada 2030 adalah mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan.
Hingga saat ini, Inge menjelaskan, perempuan khususnya anak-anak masih menjadi salah satu kelompok yang paling rentan terdampak khususnya pada saat krisis seperti bencana alam, resesi ekonomi, pandemi, atau bahkan perang.
“Anak perempuan menghadapi diskriminasi dan kekerasan dalam berbagai bentuk. Menurut laporan Girls in Crisis dari Plan International tahun 2018-2020, anak-anak perempuan sering terpisah dari keluarganya, yang membuat mereka rentan terhadap kekerasan dan eksploitasi,” kata Inge.
Ia menjelaskan, banyak anak-anak perempuan dipaksa menikah terlalu dini atau terlibat dalam hubungan transaksional demi bertahan hidup atau membantu keluarganya. Pada gilirannya, situasi itu meningkatkan risiko kehamilan yang tidak diinginkan dan kekerasan berbasis gender.
Kesenjangan dalam akses pendidikan dan layanan kesehatan bagi anak perempuan, terutama di daerah krisis, juga sangat mencolok. Laporan Orange the World dari UN Women tahun 2020 juga menyoroti bagaimana ketidaksetaraan ini berdampak pada kesejahteraan fisik dan mental anak perempuan.
“Realita ini menunjukkan bahwa saat ini ruang gerak perempuan masih terbatas dan kurang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan yang secara langsung mempengaruhi peluang mereka dalam kehidupan,” paparnya.
Visi Indonesia Emas 2045
Khusus untuk Indonesia, SDGs turut mendukung pelaksanaan visi untuk menciptakan Generasi Indonesia Emas 2045 mendatang. Ia menekankan, perempuan terdidik dan memiliki kesempatan bekerja dapat meningkatkan taraf kesehatan, mengurangi kelaparan, menciptakan kesejahteraan keluarga dan skala yang lebih besar lagi yaitu negara.
“Kita butuh bekerja sama untuk memastikan semua anak, tanpa memandang gender, memiliki kesempatan mengembangkan potensi mereka sepenuhnya demi tercapainya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030 dan visi Indonesia Emas 2045,” katanya.
Menurut Inge, dengan kualitas dan potensi yang dimiliki oleh anak-anak perempuan, semua pihak perlu bergandeng tangan untuk menghapus stereotip gender yang membatasi pendidikan berkualitas pada perempuan.
“Dalam menyongsong 2030, ketika kita bekerja menuju tujuan kesetaraan gender dan jangka yang lebih panjang yaitu Indonesia Emas 2045, kita perlu mengadvokasi pendekatan yang lebih berperspektif gender dan mendorong perubahan berkelanjutan. Karena, saat perempuan terdidik, mereka dapat berpartisipasi lebih aktif dalam dunia kerja, menjadi inovator, pemimpin, dan kontributor bagi pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif,” tuturnya.
Berangkat dari upaya meningkatkan kualitas SDM di Indonesia, termasuk akses pendidikan ke perempuan seperti tercantum di SDGs, Tanoto Foundation turut berfokus dalam membangun generasi unggul melalui pendidikan agar mereka dapat bersaing dengan SDM global apapun gender mereka.
Lembaga filantropi independen yang didirikan oleh Sukanto Tanoto dan Tinah Bingei Tanoto pada 1981 ini berkomitmen menciptakan pendidikan berkualitas dan berkelanjutan untuk semua anak di Indonesia dan mendukung tercapainya SDGs 2030.
“Kami percaya pendidikan berkualitas mempercepat terciptanya kesetaraan peluang. Hal ini juga kami yakini berlaku untuk semua gender,” ujar Inge.
Advertisement
Pembangunan Keberlanjutan
Di Indonesia, pembangunan keberlanjutan menjadi salah satu topik penting yang diangkat Tanoto Foundation melalui berbagai program, salah satunya adalah SDG Academy Indonesia (SDG AI), suatu inisiatif untuk pengembangan kapasitas komprehensif SDGs yang pertama di Indonesia.
SDG AI merupakan hasil kolaborasi antara Bappenas, UNDP, dan Tanoto Foundation dan menargetkan keterlibatan semua pemangku kepentingan SDGs, yakni pemerintah, akademisi, swasta, filantropi, organisasi masyarakat, dan media.
“Kami memiliki fokus pada tata kelola pemerintahan dan kebijakan, solusi inovatif, serta pemantauan dan pelaporan. Kami juga bekerja sama dengan berbagai sektor baik pemerintah dan swasta dalam menjalankan program-program kami,” tuturnya.
Hadir juga dalam acara SDGs Festival 2024 ini, Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/ Bappenas Vivi Yulaswati, Sekretaris Kementerian PPN/ Bappenas Teni Widuriyanti, dan Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda, dan Olahraga Bappenas Raden Rara Rita Erawati.