Sukses

Akademisi: MA Harus Jadi Lokomotif Semangat Baru Pemberantasan Korupsi

Mahkamah Agung (MA) harus tetap menjadi lokomotif pemberantasan korupsi di Indonesia seiring dengan adanya pemerintahan baru.

Liputan6.com, Jakarta - Akademisi Bidang Hukum dari Universitas Esa Unggul Andri Rahmat Isnaini menilai Mahkamah Agung (MA) harus tetap menjadi lokomotif pemberantasan korupsi di Indonesia seiring dengan adanya pemerintahan baru.

"Sesuai pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan," ujar Andri seperti dilansir Antara.

Ia pun menyakini MA bisa melaksanakan tugas menegakkan keadilan sejalan dengan semangat pemerintahan baru yang ingin memberantas korupsi, termasuk dalam memutuskan perkara Peninjauan Kembali (PK) terpidana korupsi Mardani Maming.

Ia menekankan pada prinsipnya hakim bebas dalam memutus perkara dan tidak berada di bawah pengaruh atau tekanan dari pihak atau intervensi pihak manapun termasuk saat memutus PK tersebut.

"Namun kebebasan hakim ini harus berlandaskan obyektifitas dari perkara itu sendiri," katanya.

Andri menambahkan integritas dan komitmen MA dalam memberantas korupsi dapat dilihat saat mengadili perkara berdasarkan asas-asas hukum yang baik dan benar. Oleh karena itu, para hakim MA harus memberantas korupsi sesuai dengan KUHAP dan UU terkait secara komprehensif.

"Seberapa dekat hakim tersebut mengadili perkara tersebut berdasarkan asas-asas hukum yang baik dan benar dan berdasarkan KUHAP dan UU terkait secara komprehensif," katanya.

Dalam kesempatan terpisah, praktisi hukum yang juga eks hakim di Pengadilan Negeri (PN) Irwan Yunus meyakini majelis hakim MA bakal menolak PK terpidana kasus Izin Usaha Pertambangan (IUP) tersebut lantaran berkomitmen dalam pemberantasan korupsi. Irwan juga optimistis para majelis hakim yang mengadili perkara PK tidak akan terpengaruh segala bentuk intervensi termasuk eksaminasi dari para ahli hukum yang membela Mardani Maming. Ia mengingatkan eksaminasi merupakan upaya penelahaan ilmiah atas suatu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Eksaminasi, tegas Irwan, juga tidak akan berdampak kepada keputusan hukum.

"Saya ingin sampaikan bahwa eksaminasi adalah sebagai upaya penelaahan ilmiah atas suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang tentunya tidak berdampak hukum terhadap putusan itu sendiri," kata Irwan.

 

2 dari 2 halaman

Maming Ajukan PK

Sebelumnya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin menjatuhkan vonis 10 tahun penjara, denda Rp500 juta subsider 4 bulan kurungan, dan uang pengganti Rp110,6 miliar. Mardani dinyatakan terbukti bersalah melanggar Pasal 12 huruf b juncto Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Mardani, yang sebelumnya Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, didakwa menerima hadiah atau gratifikasi dengan total tidak kurang dari Rp118 miliar saat menjabat Bupati Tanah Bumbu.

Gratifikasi tersebut terkait SK Bupati Tanah Bumbu Nomor 296 Tahun 2011 tentang persetujuan pengalihan IUP OP dari PT BKPL kepada PT PCN. Tak terima dengan putusan Pengadilan Tipikor Banjarmasin, Mardan Maming mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Banjarmasin.

Majelis hakim PT Banjarmasin justru menambah hukuman penjara Mardani menjadi 12 tahun. Masih tak terima, Mardani H Maming mengajukan kasasi ke MA. Hakim Agung Suhadi didampingi Hakim Agung Agustinus Purnomo Hadi dan Hakim Agung Suharto, tegas menolak kasasi tersebut.

Selain itu, majelis hakim MA menghukum Mardani Maming harus membayar uang pengganti Rp110.604.371.752 (Rp110,6 miliar) subsider 4 tahun penjara.

Pada 6 Juni 2024, Mardani Maming kemudian mengajukan PK ke MA. PK itu bernomor 784/PAN.PN/W15-U1/HK2.2/IV/2024.