Sukses

Pemberantasan Korupsi Jadi Tantangan Pemerintahan Prabowo-Gibran

Prabowo-Gibran dihadapkan pada tugas berat untuk memulihkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan.

Liputan6.com, Jakarta - Pengamat politik dan hukum Pieter C. Zulkifli menilai, pemberantasan korupsi menjadi tantangan berat dalam pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka ke depan. Apalagi, praktik rasuah di Tanah Air sudah menjadi penyakit yang sulit diobati.

Menurutnya, birokrasi di Indonesia berbelit-belit dan kebijakannya hanya menguntungkan segelintir elite politik dan pengusaha besar, hal ini juga yang menciptakan ketimpangan sosial semakin lebar.

Selain itu, Pieter Zulkifli menilai Prabowo-Gibran dihadapkan pada tugas berat untuk memulihkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan.

Dalam konteks ini, kabinet yang akan dibentuk harus berisi individu-individu yang tidak hanya kompeten, tetapi juga memiliki integritas tinggi.

"Masyarakat mendambakan para pemimpin yang tidak hanya pandai berbicara, tetapi juga mampu mengambil tindakan nyata dalam memberantas korupsi dan memperbaiki birokrasi yang rusak," ujarnya.

Dia mengingatkan, publik tengah memperhatikan susunan kabinet baru, khususnya menanti realisi janji Prabowo yang ingin mengisi kursi menterinya dengan sosok-sosok profesional.

Pieter Zulkifli pun menyoroti langkah Prabowo yang memanggil para calon menteri dan kepala lembaga ke kediamannya di Kertanegara, Jakarta, dalam sepekan jelang pelantikannya sebagai Presiden RI periode 2024-2029.

Satu yang paling disorot adalah upaya Prabowo membentuk kabinet zaken.

"Prabowo telah berjanji akan membentuk kabinet zaken, kabinet yang diisi oleh individu-individu profesional dan ahli di bidangnya. Mengingat tantangan dalam negeri dan regional yang semakin kompleks," ujarnya.

Menurut dia, kehadiran tokoh-tokoh berkompeten di kabinet menjadi kebutuhan yang paling mendesak. Sekalipun, realitas politik Indonesia sering kali membuat lebih rumit.

Dia menyinggung soal banyaknya tokoh politik dari partai pendukung maupun oposisi yang hadir dalam pertemuan di Kertanegara tersebut.

Pieter menilai jika hal itu jelas menimbulkan spekulasi publik, apakah Prabowo akan berkompromi dengan mengakomodasi kepentingan politik dalam susunan kabinetnya.

2 dari 2 halaman

Kompromi

Di sisi lain, Pieter Zulkifli berpandangan jika kompromi politik, terutama dalam pembentukan kabinet adalah praktik yang wajar dalam demokrasi.

Sebab, mengelola negara dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa dan beragam tantangan politik memerlukan stabilitas yang seringkali dicapai melalui perjanjian politik.

Namun, dia mengingatkan bila rakyat berharap kompromi itu dilakukan demi kepentingan bangsa, bukan untuk segelintir elite.

"Sayangnya, sejarah panjang Indonesia yang diwarnai oleh praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme, masih membekas hingga kini. Sementara, biaya hidup yang tinggi, pendidikan mahal, dan lapangan pekerjaan yang sulit ditemukan merupakan realitas yang menghantui banyak rakyat kecil. Janji-janji perubahan seringkali terkikis oleh kepentingan pribadi dan politik sempit," pungkasnya.

Video Terkini