Sukses

Yusril Nilai Tidak Ada Kasus Pelanggaran HAM Berat dalam Beberapa Dekade Terakhir

Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Imigrasi, Yusril Ihza Mahendra menyebut tidak ada kasus pelanggaran HAM berat dalam beberapa dekade terakhir.

Liputan6.com, Jakarta Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Imigrasi, Yusril Ihza Mahendra menyebut tidak ada kasus pelanggaran HAM berat dalam beberapa dekade terakhir. Yusril mengatakan pelanggaran HAM berat justru terjadi saat awal kemerdekaan Indonesia tahun 1960-an.

"Mungkin terjadi justru pada masa kolonial ya, pada waktu awal peran kemerdekaan kita 1960-an. Tapi dalam beberapa dekade terakhir ini hampir bisa dikatakan tidak ada kasus-kasus pelanggaran HAM berat," ujar Yusril Ihza Mahendra di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (21/10/2024).

Menurut Yusril, tidak ada lagi kasus pelanggaran HAM berat pasca tahun 1960-an. Saat ditanya apakah peristiwa 1998 merupakan pelanggaran HAM berat, Yusril menjawab tidak. "Enggak," ucapnya.

Yusril menceritakan pengalamannya menyelesaikan kasus-kasus besar di sidang komisi HAM PBB beberapa tahun lalu. Dia telah membentuk pengadilan HAM, ad hoc, dan pengadilan HAM konvensional karena banyaknya kasus pelanggaran HAM berat.

"Jadi sebenarnya kita tidak menghadapi persoalan pelanggaran HAM yang berat dalam beberapa tahun terakhir," ujar Yusril.

Yusril menuturkan tidak semua pelanggaran HAM digolongkan sebagai HAM berat. Dia mencontohkan kasus pelanggaran HAM berat salah satunya genosida.

"Kalau pelanggaran HAM sih setiap kejahatan itu adalah pelanggaran HAM, tapi tidak semua kejahatan adalah pelanggaran HAM yang berat. Pelanggaran HAM yang berat itu kan genoside, etnic cleansing. (Itu) tidak terjadi dalam beberapa dekade terakhir," tutur Yusril.

Baca juga Prabowo: Belajar Lagi, Konflik 98 Itu Kita Dikerjain Kekuatan Asing

2 dari 3 halaman

Sekjen PDIP: Peristiwa Kudatuli Adalah Pelanggaran HAM Berat

Sekjen PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto menilai peristiwa Kudatuli atau penyerangan 27 Juli 1996 bukan sekedar menggambarkan hukum yang otoriter yang menyerang kedaulatan PDIP. Kudatuli, kata Hasto, adalah kejahatan luar biasa.

Hal ini disampakan Hasto dalam pidatonya di acara peringatan 28 tahun peristiwa Kudatuli di Kantor DPP PDIP, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta, Sabtu (27/7/2024).

"Kudatuli adalah suatu extraordinary crime, suatu kejahatan yang luar biasa, suatu pelanggaran HAM berat," kata Hasto.

PDIP berharap negara dapat mengakui peristiwa Kudatuli sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat. Hasto mengatakan peristiwa Kudatuli mengajarkan bahwa kekuatan arus bawah tidak bisa dibungkam.

"Ia (kudatuli) adalah serangan terhadap kemanusiaan serangan terhadap peradaban serangan terhadap sistem hukum dan demokrasi dan serangan terhadap kedaulatan rakyat itu sendiri," jelas Hasto.

Dia menyampaikan, peristiwa kudatuli juga mencerminkan watak kekuasaan yang otoriter. Sehingga, kata dia, dalam memperingati peristiwa Kudatuli, kader hingga simpatisan PDIP diajak terus menggelorakan semangat perjuangan.

"Ini sekaligus mengingatkan kalau yang namanya watak kekuasaan pada dasarnya kekuasaan itu muncul bukan melekat pada diri si aktor," kata dia.

Kekuasaan, lanjut Hasto, pada dasarnya muncul dari suatu kekuatan kolektif dan ide dari rakyat yang mendambakan kemerdekaan, hak perserikatan dan berkumpul.

"Kekuasaan arus bawah mampu melawan berbagai tembok-tembok kekuasaan yang lupa diri makna sejatinya kekuasaan untuk rakyat untuk kepemimpinan Indonesia bagi dunia," ujar Hasto.

3 dari 3 halaman

Amnesty Internasional: Kudatuli Cermin Intervensi Politik Pemerintah

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyoroti kerusuhan 27 Juli 1996 atau yang dikenal sebagai peristiwa Kudatuli. Dia mengatakan, peristiwa tersebut merupakan produk dari intervensi politik pemerintah.

Usman menjelaskan bahwa serangan terhadap Kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada 27 Juli 1996 silam seharusnya disebut "raid" atau penyerangan, bukan "riot" atau kerusuhan.

"Istilah serangan, itu menunjukkan ada satu pihak dari otoritas keamanan bersama sekelompok preman yang secara sengaja menggunakan kekerasan, menyerang sekretariat PDI, dan menggunakan kekerasan untuk menyingkirkan seluruh orang -orang yang ada di sana," kata Usman dalam diskusi bertajuk “Kudatuli, Kami Tidak Lupa” di kantor DPP PDIP di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (20/7/2024).

Usman menambahkan bahwa serangan tersebut bertujuan untuk menyingkirkan kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, sebagai bagian dari upaya penyingkiran oposisi politik.

"Jadi, sampai di titik itu, jelas peristiwa 27 Juli adalah peristiwa yang lahir sebagai produk dari intervensi politik kekuasaan, termasuk politik kekerasan negara berupa pengambilalihan paksa dan penangkapan, penyerangan, dan lain-lain gitu," ucap dia.

Ia juga menekankan keterlibatan aparat keamanan dalam serangan tersebut, meskipun beberapa menggunakan seragam sipil.

"Tetapi, kalaupun aparat TNI misalnya menggunakan seragam sipil, aparat kepolisian juga masih jelas menggunakan seragam resmi dan ikut melakukan penyerangan atau pembubaran aksi mimbar bebas yang ada di dalam areal kantor PDI ketika itu," ucap Usman Hamid.