Liputan6.com, Jakarta - Polda Nusa Tenggara Timur (NTT) memecat Ipda Rudy Soik dengan alasan pelanggaran etik. Namun begitu, sejumlah pihak termasuk dirinya menduga sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) yang dilayangkan dikarenakan upaya membongkar mafia BBM.
Baca Juga
Terkait hal itu, Ketua Panitia Seleksi Anggota Kompolnas 2024 Hermawan Sulistyo meyakini adanya alasan kuat atas langkah Polda NTT memecat anggotanya itu. Ipda Rudy juga pernah tiga kali dikenakan skors, bahkan sempat dimasukkan ke sel tahanan.
Advertisement
"Yang bersangkutaan punya catatan kriminal yang buruk. Dipanggil untuk sidang kasus BBM tidak mau datang. Kalau tidak merasa bersalah kan dia bisa membela diri di persidangan," tutur Hermawan kepada wartawan, Senin (21/10/2024).
Menurutnya, sidang anggota Polri dilakukan secara independen dan transparan. Jika terus tidak hadir, terdakwa tentu sulit lepas dari jerat hukum.
"Bawa penasehat hukum sendiri atau yang disediakan oleh Polri. Kalau tidak puas ada mekanisme banding," jelas Peneliti senior Badan Riset dan Inovasi Nasional itu.
Direktur Lembaga Kajian Strategis Polri (LEMKAPI) Edi Hasibuan menambahkan, langkah Polda NTT merekomendasikan PTDH terhadap Ipda Rudy pasti tidak sembarangan.
"Kami berpandangan, polda berani memberikan putusan karena sudah melalui proses yang panjang dan lalu menetapkan PTDH," kata dia.
Panitia Seleksi Anggota Kompolnas 2024 itu menilai, Ipda Rudy dapat mengajukan banding atas putusan Komisi Sidang Etik Polda NTT jika keberatan atas sanksi tersebut.
"Kinerja Soik mungkin selama ini banyak berantas BBM ilegal. Tapi semua harus mengikuti prosedur yang ada. Tentu hal ini yang harus kita tanyakan kepada Polda NTT. Apakah SOP sudah dilakukan dengan benar. Polisi tidak boleh salah dalam melakukan tindakan hukum," ungkapnya.
Anggota Kompolnas Yusuf Warsyim turut menyarankan Ipda Rudy Soik untuk mengambil langkah hukum banding atas putusan PTDH itu. Polda NTT pun juga harus merespon secara terbuka untuk menerima banding.
"Kompolnas akan memantau proses banding nantinya. Tentu proses sidang banding tetap harus profesional, transparan dan akuntabel. Terkait materi dugaan pelanggaran biar diperiksa kembali apabila dilakukan banding," ujar Yusuf.
Kedua Pihak Saling Jawab
Kasus pemecatan Ipda Rudy Soik oleh Polda NTT berbuntut panjang. Kedua pihak saling jawab hingga berujung tantangan dari Rudy Soik yang tak terima dipecat dari institusi Polri.
Rudy menantang Polda NTT untuk duduk bersama menjelaskan awal mula penyelidikan kasus bahan bakar minyak (BBM) ilegal yang berujung pada putusan Pemberhentian Tidak dengan Hormat (PTDH) alias pemecatan dirinya.
"Saya tantang Bapak Kabid (Humas dan Propam Polda NTT) untuk kita bicara di forum lebih luas lagi di lembaga legislatif dan di depan Kapolri. Baru saya buka Bapak intimidasi saya atau tidak. Saya tantang kita konferensi pers bersama," ujar Rudy Soik.
Tantangan itu dilontarkan Rudy karena dia menilai Polda NTT tak terbuka dengan kasus itu. Dia awalnya meminta Kabid Propam Polda NTT Kombes Robert Anthoni Sormin termasuk Wakapolda NTT, Brigjen Awi Setiyono, melalui pesan WhatsApp agar memvideokan sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP). Namun, saat persidangan tidak ada yang merekam.
"Kalau kasus yang mau memalukan saya, mereka pakai kamera besar-besar dari Humas Polda NTT untuk merekam saya, tapi kasus yang saya mau bicara tentang keterlibatan anggota Polda NTT (dalam kasus BBM) mereka justru tidak merekam," cecar mantan KBO Satreskrim Polresta Kupang Kota itu.
Rudy lantas menanggapi penyelidikan solar subsidi yang tidak didasari laporan polisi. Menurut Rudy, kasus BBM tersebut baru dilakukan tahapan awal penyelidikan. Maka dari itu, dia meminta Polda NTT membentuk tim untuk menyelidiki ulang kasus yang sudah ditanganinya.
Menurut Rudy, penyelidikan BBM harus diawali dari pembelian solar subsidi menggunakan QR code milik Law Agwan yang bukan nelayan asal NTT. Kemudian, bagaimana pemerintah memberikan QR code dalam jumlah besar kepadanya.
Rudy menyebut penyelidikan BBM masuk dalam pidana khusus. Sehingga polisi yang punya kewenangan untuk membuat laporan polisi model A seperti pidana korupsi, migas, tambang, dan kehutanan.
"Saya baru melaksanakan penyelidikan. Itu baru menyentuh Ahmad Ansar baru dua hari saja langsung ditelepon oleh Dirkrimsus bersama Kabid Propam dan kami langsung diproses. Lalu bagaimana mau membuat laporan polisi, kan harus naik ke tahap penyidikan dulu baru LP model A," beber Rudy.
Rudy mengungkapkan hal yang harus dilihat oleh Polda NTT adalah kepentingan masyarakat NTT dalam mengakses BBM subsidi. Sebab, dalam penyelidikannya sudah menemukan bukti berupa QR code.
"Karena penyelidikan adalah serangkaian yang dilakukan untuk menemukan bukti dan saya sudah temukan peristiwa pembelian solar dalam jumlah banyak menggunakan QR code. Apakah itu bukan bukti?" kata Rudy.
Advertisement
Garis Polisi Tanpa Barang Bukti
Rudy menerangkan sudah pernah memasang garis polisi tanpa ada barang bukti, tapi kasusnya naik sampai tahap P21. Sebab, yang dilihat adalah Pasal 55 dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2023 sebagaimana diubah dalam Undang-undang (UU) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
"Dalam Pasal 55 itu membedakan dua hal, yaitu tentang niaga dan penimbunan. Jadi kalau berbicara tentang niaga, maka perbuatan hukum yang dicari adalah perbuatan membeli. Sehingga modus operandi yang kami temukan menggunakan QR code," terang Rudy.
Selain itu, Rudy bersama Kompol Gede dan AKP Djoni Boro pernah menangkap salah satu perusahaan ekspedisi di Tenau, Kecamatan Alak, Kota Kupang, yang pernah terlibat dalam penimbunan BBM hingga kasusnya P21.
"Itu semua yang ditangani saat saya masih jadi penyidik Ditkrimsus Polda NTT, maka jejak digital dan administrasi tidak bisa hilang," terang Rudy.
Rudy menambahkan dalam edaran BPH Migas Nomor 609 Tahun 2023, sudah jelas tidak memperbolehkan bukan pemilik QR code untuk mengisi BBM di SPBU karena QR code mobil dan yang diberikan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan, itu berbeda.
"Di dalam QR code namanya sudah tertera, maka dia yang berhak mengambil BBM subsidi. Makanya saya tanya siapa itu Law Agwan? Kenapa dia mendapat kuota BBM lebih banyak? Jadi ini poinnya," imbuh Rudy.
"Sehingga harus ada gelar perkara. Kasus ini kan kami belum gelar perkara. Lalu bagaimana komisi sidang mengatakan bahwa bukan peristiwa pidana? Kan yang dimaksud dengan pidana, polisi menggunakan asas dugaan sehingga kami menemukan bukti QR code dan fakta interogasi," tegas Rudy.