Liputan6.com, Jakarta Kenangan hidup tanpa penerangan masih teringat jelas di benak Mama Lodia. Selama 39 tahun, ia harus menghabiskan malam dalam kegelapan, mengandalkan lampu minyak tanah sebagai sumber cahaya.
Di desanya, lampu ini biasa disebut sebagai pelita minyak tanah. Lampu pelita tersebut terbuat dari kaleng bekas, dengan sumbu kain yang dipasang di bagian tengah atau pinggir atas kaleng.
Baca Juga
Mama Lodia menyalakannya dengan korek api, membakar kain tersebut untuk menerangi rumahnya saat malam tiba.
Advertisement
"Sejak saya lahir, lampunya selalu minyak tanah. Anak-anak pun sulit belajar karena keterbatasan," kenangnya.
Mama Lodia tinggal di Desa Mbueain, yang terletak di Kecamatan Rote Barat, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur. Desa ini termasuk daerah terpencil dan tertinggal, berada di pulau paling selatan Indonesia yang berbatasan langsung dengan lautan Australia.
Rumah Mama Lodia cukup sederhana. Dindingnya tidak sepenuhnya berplester, masih ada bagian yang terlihat dari bata dan batako. Kayu-kayu penopang atap asbes terlihat jelas dari dalam rumah yang tidak memiliki plafon. Namun, rumah ini menjadi perlindungan bagi Mama Lodia dan keluarganya dari panas dan hujan.
Dengan segala keterbatasan, Mama Lodia hanya bisa pasrah. Anak-anaknya pun menerima nasib yang sama, tidak bisa belajar di rumah karena penerangan yang minim.
Namun, segalanya berubah pada tahun 2020. Sekarang, sebuah bohlam telah terpasang di atap rumahnya. Di ruang keluarga, terdapat televisi tabung, kipas angin, dispenser, dan rice cooker. Senyum Mama Lodia mengembang saat ia menonton tayangan televisi bersama ketiga anaknya.
Hidupnya kini tidak lagi gelap dan desa mereka telah teraliri listrik oleh PLN. Mama Lodia menjadi salah satu yang merasakan kehadiran cahaya modern, mengubah kehidupannya sebagai ibu rumah tangga menjadi lebih mudah.
“Sekarang masak tidak perlu pakai kayu, tinggal colok saja,” ujarnya.
“Anak-anak juga lebih mudah belajar karena tidak tidur terlalu awal, sehingga belajar mereka jadi lebih baik," imbuh Mama Lodia.
Dihadirkan Jokowi
Kebahagian Mama Lodia inilah yang dihadirkan pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak pertama kali menjabat. Dalam 10 tahun, Jokowi ingin tak ada lagi desa-desa yang gelap gulita ketika malam datang.
Keinginan itu dimulai dari Bantul pada Mei 2015, Pemerintah mencanangkan program pembangkit listrik 35.000 MW melengkapi 7.000 MW yang sudah dibuat pemerintah sebelumnya. Selain pembangkit, infrastruktur listrik seperti transmisi dan gardu induk juga akan dibangun di berbagai wilayah di Indonesia
Program ini mendesak dilakukan karena pasokan listrik di Indonesia belum merata. Per September 2016, Indonesia baru punya pembangkit listrik dengan total daya 4.133 MW. Sementara 12.317 MW masuk masa konstruksi, dan 8.641 MW dalam penyelesaian kontrak.
Kondisi infrastruktur listrik tak kalah sama. DI tanah Nusantara ini baru ada 3.924 kms transmisi yang beroperasi dan 16.053 kms dalam tahap konstruksi. Untuk gardu induk telah beroperasi 12.245 MVA dan dalam tahap konstruksi sebesar 21.147 MVA.
Di awal Jokowi menjabat sebagai presiden, kelistrikan Indonesia memang jauh tertinggal. Indikator electricity acces population Indonesia mentok di rangking 95.
Posisinya kalah dari Malaysia di rangking 87, Vietnam 84, apalagi Singapura, Thailand, Tiongkok, dan Korea Selatan yang berada di peringkat kedua.
Indikator electricity supply quality tak kalah memprihatinkan. Indonesia masih tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Filipina, Malaysia, Thailand, Tiongkok, dan Singapura yang berada pada peringkat 54.
Advertisement
Terobosan LTSHE
Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) dan PT PLN (Persero) menjadi pengawal utama dari target menerangi Indonesia ini. Bahasa kerennya rasio elektrifikasi harus bisa 100%. Rasio ini dihitung dari perbandingan jumlah rumah tangga yang telah mendapatkan akses listrik dengan jumlah rumah tangga di Indonesia.
Target itu makin dipacu di tahun 2017. Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 47 Tahun 2017 tentang Penyediaan Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE) Bagi Masyarakat yang Belum Mendapatkan Akses Listrik.
Dengan beleid itu, pemerintah ingin listrik bisa mengalir sampai kawasan perbatasan serta daerah 3T. LTSHE yang bisa beroperasi maksimum 60 jam diyakini terobosan program untuk menerangi lebih dari 2.500 desa yang masih gelap gulita di seluruh Indonesia.
LTSHE merupakan perangkat pencahayaan berupa lampu terintegrasi dengan baterai yang energinya bersumber dari pembangkit listrik tenaga surya fotovoltaik. Prinsip kerjanya energi dari matahari yang ditangkap oleh panel surya diubah menjadi energi listrik, kemudian disimpan di dalam baterai. Energi listrik di dalam baterai ini yang kemudian digunakan untuk menyalakan lampu.
Tak cuma pemerintah dan PLN, kerja besar ini juga turut mengundang pihak swasta yang berminat untuk mendirikan Independent Power Plant (IPP). Keinginan membawa Indonesia lebih terang di 2024 juga ditunjukan lewat anggaran yang digelontorkan pemerintah.
Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada PLN dikucurkan karena pembangunan infrastruktur listrik di daerah 3T penuh tantangan.
Hitung-hitungan PLN, biaya untuk mengaliri listrik ke satu pelanggan rumah di daerah 3T yang punya Jaringan Tegangan Rendah (JTR) mencapai Rp25 juta-Rp45 juta tergantung daerahnya. Bandingkan dengan warga di perkotaan yang hanya butuh biaya sekitar Rp1 juta.
Pada tahun 2023, PLN kembali mendapatkan PMN senilai Rp 10 triliun untuk program Listrik Desa (Lisdes) yang seluruhnya untuk mendukung pembangunan daerah 3T.
Dana itu dipakai untuk pembangkit energi baru terbarukan (EBT) Rp1,74 triliun, fungsi transmisi dan gardu induk untuk menghubungkan kelistrikan di daerah terpencil Rp3,78 triliun, dan fungsi distribusi dan listrik desa untuk menyambung pelanggan dalam rangka listrik berkeadilan sebesar Rp4,48 triliun.
PMN serupa juga diterima PLN di tahun ini dengan nilai separuhnya atau Rp 5,68 triliun. Uang tersebut akan dialokasikan PLN untuk melistriki 2.097 desa dengan potensi pelanggan mencapai 192 ribu pelanggan.
Untuk tahun depan, PLN juga bisa sedikit bernapas lega. Target mencapai rasio elektrifikasi 100% khususnya di daerah 3T mendapat sokongan PMN sebesar Rp3 triliun. Dengan dana itu, PLN mengejar target melistriki sebanyak 85 ribu pelanggan di 1.092 desa dalam program Lisdes.
Elektrifikasi Meningkat
Pekerjaan besar yang diawali dari Bantuk sekitar satu dekade itu mulai terlihat hasilnya. Rasio elektrifikasi Indonesia setiap tahunnya terus meningkat. Dari posisi 84,35% di tahun 2014 bisa menembus angka 98,89% pada tahun 2019 atau periode pertama pemerintahan Joko Widodo.
Berselang setahun kemudian, rasio elektrifikasi itu terus naik setiap tahunnya. Bahkan ketika pandemi Covid-19 melanda Indonesia, perjuangan membuat semua desa di Indonesia teraliri listrik tak berhenti. Pada tahun 2020, rasio elektrifikasi sudah menyentuh angka 99,2% dan naik menjadi 99,45% di tahun berikutnya.
Dalam dua tahun berikutnya, laju rasio elektrifikasi itu tak pernah kendur. Pada tahun 2022 naik menjadi 99,63% dan kembali menanjak ke angka 99,78% di tahun 2023.
Data terbaru sampai semester I-2024, daerah gelap gulita nyaris sudah tak ada lagi. Pencapaian rasio elektrifikasi sampai akhir Juni-2024 sudah mencapai 99,87%.
Kinerja rasio desa berlistrik tak jauh berbeda. Dalam laporan Statistika Kelistrikan 2023 yang dikeluarkan Kementerian ESDM, rasio desa berlistrik juga hampir selesai. Akhir tahun lalu sudah 83.763 desa atau 99,85% dari 83.763 desa di Indonesia sudah tak lagi gelap gulita. Penduduk dari puluhan ribu desa ini sudah bisa menikmati listrik menyala 24 jam.
Berawal dari pencanangan di Bantul pada 2015, kini tugas pemerintah, PLN, dan semua pihak terkait tinggal tersisa 0,13% untuk mencapai rasio elektrifikasi 100%. Target untuk membuat Indonesia terang 24 jam yang menjadi kado manis manis penduduk khususnya di daerah 3T.
(*)
Advertisement