Liputan6.com, Jakarta - Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menggelar sidang lanjutan kasus korupsi komoditas timah dengan menghadirkan saksi sekaligus terdakwa, yakni Alwin Albar selaku Direktur Operasi dan Produksi PT Timah periode 2017-2020, pada Rabu, 30 Oktober 2024.
Di hadapan majelis hakim, Penasihat Hukum Andi Ahmad sempat bertanya kepada Alwin, tentang ada tidaknya rekomendasi dari Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) yang menjadi dasar dilakukannya kerja sama PT Timah dengan smelter swasta.
Awalnya, saksi mengulas setiap keputusan bisnis yang dilakukan PT Timah sebagai BUMN mendapatkan pengawasan dari BPK.
Advertisement
"Apakah pernah ada pemeriksaan BPK?,” tanya penasihat hukum.
"Pernah, setiap dua tahun," jawab Alwin.
Penasehat hukum kemudian bertanya terkait ada tidaknya pemeriksaan BPK yang dilakukan pada tahun 2022.
"Intinya waktu tahun 2022 itu, semua temuan sudah (sesuai). Kecuali ada 3 piutang PT Timah dan anak usaha. Selebihnya sudah sesuai dengan rekomendasi BPK," jelas Alwin.
Penasehat hukum kemudian mengulas ada tidaknya rekomendasi dari BPK, yang menyebutkan bahwa kerja sama PT Timah dengan smelter swasta diperbolehkan dalam rangka mendorong produksi PT Timah yang menurun kala itu.
"Sekitar tahun 2021, produksi PT Timah sudah sangat berkurang sampai ada anak usaha kami yang melakukan hilirisasi tidak kebagian logam. Salah satu rekomendasinya, seingat saya, agar dilakukan kembali, agar dijalankan kembali dengan cara yang lebih terbuka," ungkap Alwin.
"Artinya ada rekomendasi dari BPK agar dilakukan lagi proses pengadaan kerja sama lagi dengan smelter swasta secara terbuka untuk mengoptimalisasi produksi?,” tanya penasehat hukum.
"Betul," jawab Alwin.
BPK Berhak Hitung Kerugian Negara
Sebelumnya, Saksi Ahli yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam kasus dugaan korupsi timah dengan salah satu terdakwa Harvey Moeis menyebutkan bahwa pihak yang berhak menghitung kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Pakar Hukum Lingkungan Kartono yang menjadi salah satu dari saksi ahli mengungkapkan hal tersebut saat ditanyakan oleh Hakim Ketua Eko Aryanto perihal pihak yang berwenang menghitung.
"Siapa sih yang berwenang untuk melakukan penghitungan kerugian negara dan juga termasuk perekonomian negara," tanya Hakim Eko kepada Kartono saat sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Rabu 23 Oktober 2024.
"Kalau yang berwenang untuk menghitung kerugian keuangan negara sudah ada yang mulia rambunya, patokannya baik itu di Undang-Undang BPK dan Undang-Undang yang lainnya Tentu BPK," jawab Kartono.
Kartono juga menjelaskan mengenai wewenang BPK yang berhak menghitung kerugian negara sesuai dengan Pasal 10 Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Namun demikian berkaitan dengan mendeclare (mengumumkan) kerugian keuangan negaranya itu tentu menjadi kewenangan dari BPK sesuai dengan pasal 10 Kalau tidak salah di Undang-Undang BPK," kata Kartono.
Advertisement
Kerugian Negara Capai Rp271 Triliun
Sementara itu, kerugian negara akibat tambang timah di kawasan hutan dan di luar kawasan hutan dari tahun 2015 - 2022 sebesar Rp271 triliun diumumkan oleh Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo.
"Kalau semua digabungkan kawasan hutan dan nonkawasan hutan total kerugian akibat kerusakan yang harus ditanggung negara adalah Rp271,06 triliun," kata Bambang saat Konferensi Pers di Gedung Kejaksaan Agung, Senin 19 Februari 2024.
Menurut perhitungan dari Bambang, kerugian lingkungan hidup untuk galian yang terdapat dalam kawasan hutan senilai Rp233,26 triliun.
"Hal tersebut terdiri dari biaya kerugian lingkungan hidup (ekologis) Rp157,83 triliun, biaya kerugian ekonomi lingkungan Rp60,27 triliun dan biaya pemulihan lingkungan Rp5,26 triliun," dia.
Kemudian, kerugian lingkungan hidup untuk galian yang terdapat dalam non kawasan hutan senilai Rp47,70 triliun, hal tersebut terdiri dari biaya kerugian lingkungan (ekologis) Rp25,87 triliun, biaya kerugian ekonomi lingkungan Rp15,2 triliun.
"Serta biaya pemulihan lingkungan hidup Rp6,63 triliun," tutup Bambang.