Liputan6.com, Jakarta - Dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi timah, Ahli Tindak Pidana Pencucian Uang Yunus Husein dihadirkan sebagai saksi ahli atas terdakwa Harvey Moeis di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) pada Kamis 31 Oktober 2024.
Dalam sidang tersebut, Yunus membeberkan alasan kenapa negara tidak berhak untuk melakukan penyitaan terhadap barang dari terdakwa kasus dugaan korupsi.
Baca Juga
Hal ini bermula saat Hakim Anggota Suparman bertanya kepada ahli terkait barang hasil korupsi ini dapat disita langsung oleh negara atau dikembalikan kepada terdakwa.
Advertisement
"Apakah memang menjadi risiko dirampas semuanya untuk negara meskipun itu adalah bersih dari warisan atau akan harus tetap dikembalikan kalau menurut ahli," tanya Hakim dalam sidang.
Saksi Ahli Yunus menjelaskan kepada Hakim terkait barang sitaan ini dapat dirampas oleh negara apabila terdakwa ikhlas atau tidak melakukan bantahan dan perlawanan. Namun, negara tidak berhak merampas apabila terdakwa melakukan bantahan dan perlawanan.
"Tapi kalau dia mengajukan bantahan atau perlawanan dia berhak, negara yang tidak berhak, justru dia yang berhak. Jadi jangan disita untuk negara kalau dia mengajukan perlawanan," jawab Yunus.
Yunus juga menjelaskan, negara harus mengembalikan barang sitaan tersebut apabila dalam bantahan dan perlawanannya dapat dibuktikan oleh tersangka.
"Kalau dia mengajukan bantahan atau mengajukan perlawanan, harus dikembalikan, kalau dia bisa buktikan itu punya dia," jelas Yunus.
Bantahan atau perlawanan tersebut, Yunus menyebut, dapat dilakukan setelah putusan untuk membuktikan kepemilikan barang tersebut.
"Nah nanti dikasih lah pihak yang beritikad baik atau yang punya barang yang sah ini, mengajukan bantahan atau perlawanan. Biasanya untuk hasil korupsi ini 30 hari setelah keputusan diberikan kesempatan," jelas Yunus.
Â
Sidang Korupsi Timah, Saksi Ahli Jelaskan Status Bijih Timah Sebelum Ditambang
Sebelumnya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat menghadirkan saksi Ahli Hukum Pertambangan dan Lingkungan, Ahmad Redi, dalam sidang kasus korupsi komoditas timah pada Kamis, 24 Oktober 2024.
Hakim meminta pendapat Ahmad Redi terkait status bijih timah yang menjadi transaksi antara PT Timah dan penambang rakyat.
Awalnya, hakim bertanya apakah timah bisa diakui sebagai milik PT Timah Tbk sejak masih di dalam tanah, atau setelah ditambang dan dibeli PT Timah.
"Bisa dinyatakan bahwa itu (timah) punya PT Timah pada saat masih jadi kandungan atau setelah mau diekspor dengan catatan sudah membayar royalti?" tanya hakim dalam persidangan.
Redi menjawab, berdasarkan adanya anggapan bahwa PT Timah membeli bijih timah miliknya sendiri, lantaran dikeruk oleh penambang rakyat dari area yang masuk dalam wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah.
"Di Undang-Undang Minerba pada Pasal 92 diatur peralihan kepemilikan mineral logam, sebut saja timah itu (kepemilikannya) sejak membayar royalti," jelas Redi.
Â
Advertisement
Syarat Administratif
Dari situ, Redi menyimpulkan bijih timah yang masih dalam bentuk kandungan mineral tanah belumlah menjadi milik PT Timah, meski secara lokasi masuk dalam wilayah IUP PT Timah. Agar dapat diakui sebagai milik PT Timah, maka bijih timah itu harus ditambang terlebih dulu.
Namun tetap, harus dipastikan terlebih dahulu bahwa lahan yang menjadi area penambangan tidak tumpang tindih perihal kepemilikan lahannya dan tidak dalam penguasaan pihak lain, serta tidak dalam sengketa.
"Setelah Kepmen 2015, IUP yang tidak tumpang tindih yang dapat diakui oleh negara. Di mana, tidak boleh menambang selama di atasnya belum CnC (clear and clear) sesuai Pasal 135," terang dia.
"Berdasarkan Permen ESDM nomor 43 tahun 2015 itu diatur bahwa perusahaan dapat dinyatakan memenuhi dokumen CnC apabila terdapat empat hal. Pertama, tertib administratif. Kedua, tertib finansial. Ketiga, tertib lingkungan, dan terakhir tertib teknis kewilayahan," kata Redi.
Adapun syarat administratif yang dimaksud dalam persyaratan tersebut mencakup antara lain, pemenuhan izin-izin sudah lengkap, juga izin eksplorasi.
"Suatu pemegang IUP sebagaimana diatur Permen ESDM, jika sudah memenuhi syarat itu berarti sudah CNC," sambungnya.
Â
Pola Kemitraan
Redi mengulas, pola kemitraan tersebut dibolehkan selama ada perizinan. PT Timah dibolehkan melakukan pembayaran kepada penambang rakyat dalam naungan badan hukum atau CV, sebagai imbal jasa kegiatan pertambangan yang mereka lakukan di wilayah IUP PT Timah tersebut.
"Mengenai imbal jasa penambangan di mana pemegang IUP diperbolehkan untuk bekerja sama dengan pemegang IUP lainnya atau IUP OP lainnya, termasuk BUMN. Sehingga BUMN diperbolehkan untuk bekerja sama dengan swasta asal ada perizinannya," ujar Redi.
"Pemegang IUP diperbolehkan secara undang-undang untuk melakukan kerja sama atau kemitraan dengan pihak lain untuk melakukan kegiatan yang berkaitan dengan penambangan," lanjut Redi.
Lebih jauh, Redi menyatakan soal kerusakan lingkungan yang mungkin timbul, bahwa secara undang-undang merupakan tanggung jawab pemegang IUP. Atas dasar itu, maka tanggung jawab pemulihan wilayah tambang lewat reklamasi disebutnya merupakan tanggung jawab PT Timah selaku pemegang IUP.
"Kewajiban untuk melakukan restorasi tersebut merupakan kewajiban dari (pemegang) IUP," Redi menandaskan.
Advertisement