Liputan6.com, Jakarta Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) mulai ditinggal anggotanya. Pertama, Poltracking Indonesia menyatakan keluar. Kemudian diikuti Parameter Politik Indonesia (PPI), dan selanjutnya Voxpol Center Research and Consulting. Tiga lembaga survei itu keluar dengan alasan berbeda.
Keputusan Poltracking untuk hengkang dari Persepi bukan tanpa sebab. Tindakan itu diambil lantaran mereka merasa tidak diperlakukan secara adil oleh Persepi, terkait keputusan Dewan Etik yang memberi sanksi karena beda hasil survei Pilkada Jakarta 2024 dengan Lembaga Survei Indonesia (LSI).
Baca Juga
Poltracking menilai ada ketidakadilan dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan oleh Dewan Etik Persepi.
Advertisement
"Kami merasa diperlakukan tidak adil. Sejak hari ini kami telah memutuskan keluar dari keanggotaan Persepi. Kami keluar dari Persepi bukan karena melanggar etik," ujar Direktur Poltracking Indonesia, Masduri Amrawi, dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 5 November 2024.
Masduri menilai, Dewan Etik Persepi tidak adil dalam memutus perkara perbedaan hasil antara LSI dan Poltracking.
Dijelaskan Masduri, berdasarkan rilis yang dikeluarkan Persepi terkait keputusan Dewan Etik, pada poin 1, Persepi hanya menjelaskan pemeriksaan metode dan implementasi dari LSI dapat dianalisis dengan baik. Tapi, kata Masduri, tidak dijelaskan bagaimana dan kenapa metode dan implementasinya dapat dianalisis dengan baik.
"Lebih jauh lagi hasil analisis tersebut juga tidak disampaikan ke publik. Bagi kami ini penting juga untuk disampaikan ke publik, tetapi Dewan Etik Persepi tidak melakukan ini," kata Masduri.
Menurut Masduri, salah satu pembahasan yang muncul pada saat pertemuan Dewan Etik pertama adalah cerita tentang LSI melakukan penggantian beberapa Primary Sampling Unit (PSU), sekitar 60 PSU (50%) Survei LSI di Pilkada Jakarta.
Masduri menilai, hal itu penting juga disampaikan ke publik, karena penggantian PSU memiliki konsekuensi terhadap kualitas data.
Masduri menjelaskan, sejak awal Poltracking telah menyerahkan 2.000 data yang diolah pada survei Pilkada Jakarta 2024. Lalu Dewan Etik meminta raw data dari dashboard, data lalu kirimkan pada tanggal 3 November 2024. Dia memastikan tidak ada perbedaan antara dua data tersebut.
"Dewan Etik merasa tidak bisa memverifikasi data Poltracking. Padahal jelas, kami sudah menyerahkan seluruh data yang diminta dan memberikan penjelasan secara detail. Raw data sudah dikirimkan. Hanya Dewan Etik meminta raw data dari dashboard supaya dapat dibandingkan dengan data yang sudah dikirimkan sejak awal. Itu sudah kami serahkan semua," jelas Masduri.
"Kami sudah mengirimkan pada tanggal 31 Oktober 2024. Tidak ada permintaan secara spesifik mengenai lampiran raw data dari dashboard," tegas Masduri.
Poltracking Indonesia juga sudah menjelaskan ke Dewan Etik Persepi bahwa surveinya menggunakan aplikasi, bukan lagi survei manual menggunakan kuesioner kertas.
Sehingga, kata Masduri, tidak bisa disamakan dengan LSI yang membandingkan kuesioner cetak dengan raw data kemudian jadi tolok ukur penyelidikan yang dilakukan oleh Dewan Etik.
"Kami tidak memahami apa yang dimaksudkan banyaknya perbedaan antara data awal dan data terakhir. Poltracking tidak mendapatkan penjelasan apa pun tentang hal ini," ujar Masduri.
Masduri juga menganggap keputusan Dewan Etik tak adil karena tidak proporsional dan akuntabel dalam proses pemeriksaan terhadap Poltracking dan LSI.
Ia mengeklaim Poltracking sudah melaksanakan semua Standar Operasional Prosedur (SOP) survei guna menjaga kualitas data.
PPI dan Voxpol Center Nyusul, Keluar dari Persepi
Usai Poltracking Indonesia, Lembaga Parameter Politik Indonesia (PPI) juga menyatakan keluar dari Persepi. Berdasarkan surat pernyataan pengunduran diri PPI yang beredar di kalangan jurnalis. PPI menyatakan mundur dari Persepi secara sukarela.
Tidak dijelaskan lebih gamblang apakah mundurnya PPI juga terkait kisruh putusan Persepi yang memberi sanksi terhadap Poltracking terkait survei Pilkada Jakarta 2024 yang berbeda hasil dengan LSI.
"Kami sampaikan bahwa Parameter Politik Indonesia menyatakan diri mundur dan keluar secara sukarela dari keanggotaan Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi)," demikian pernyataan melalui surat yang ditandatangani Direktur Parameter Politik Indonesia, Sadam Husen Falahuddin, Rabu, 6 November 2024.
Adapun alasannya adalah evaluasi dan restrukturisasi kepengurusan Parameter Politik Indonesia. Selain itu, mundurnya Parameter Politik Indonesia juga karena harus menentukan arah kebijakan organisasi ke depan.
Peneliti senior PPI, Adi Prayitno, membenarkan lembaganya mundur dari Persepi. "Iya mundur karena alasan internal PPI," ujar Adi saat dikonfirmasi.
Adi pun menepis bahwa mundurnya PPI karena kekisruhan Persepi dengan Poltracking Indonesia. "Enggak ada urusannya dengan sengketa lembaga lain. Murni alasan internal organisasi," ucap Adi.
Aksi mundur dari Persepi selanjutnya dilakukan Voxpol Center Research and Consulting. Voxpol menyatakan keluar dengan melayangkan surat pengunduran diri dari keanggotaan Persepi.
"Melalui surat ini, kami Voxpol Center Research and Consulting menyatakan keluar dari keanggotaan Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi)," demikian bunyi suratnya.
Hal ini kemudian dibenarkan oleh Direktur Eksekutif Voxpol, Pangi Syarwi Chaniago. Pangi mengatakan Voxpol telah keluar dari Persepi. "Benar (Voxpol keluar dari Persepi)," ujar Pangi singkat.
Advertisement
Poltracking dan LSI Beda Hasil Survei Pilkada Jakarta 2024
Berdasarkan hasil survei Pilkada Jakarta 2024 yang dirilis Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Rabu, 23 Oktober 2024, pasangan nomor urut 3, Pramono Anung-Rano Karno di posisi teratas, unggul dengan elektabilitas 41,6%. Disusul pasangan nomor urut 1 Ridwan Kamil-Suswono 37,4%, dan pasangan nomor urut 2 Dharma-Kun 6,6%.
"Ketika responden ditanya kalau Pilkada DKI Jakarta diadakan hari ini, siapa yang akan ibu dan bapak pilih? Hasilnya Pramono-Rano unggul dengan elektabilitas paling tinggi, disusul tempat kedua Ridwan-Suswono dan tempat ketiga Dharma-Kun," kata Direktur Eksekutif LSI, Djayadi Hanan, saat merilis hasil survei LSI di Channel YouTube LSI Live, Rabu, 23 November 2024.
Djayadi mengatakan, alasan utama responden memilih gubernur DKI Jakarta adalah pengalaman di pemerintahan (23,1%), jujur bersih dari korupsi (15,4%), dan sudah ada bukti nyata hasil kerjanya (11,5%).
Apabila melihat hasil berbagai survei Pilkada Jakarta 2024 yang ada, terhitung sejak survei LSI (6-12 September 2024), lalu Poltracking (9-15 September 2024), Charta Politika (19-24 September 2024), dan terbaru Survei LSI (10-17 Oktober 2024), maka ada kecenderungan elektabilitas Ridwan Kamil-Suswono turun, Pramono-Rano naik, dan Dharma-Kun stagnan.
"Dari temuan hasil survei ini menunjukkan putaran kedua sangat mungkin terjadi. Hal ini bila melihat ada 14,5% responden yang belum menentukan pilihan. Jadi belum ada yang dapat 50% + 1," kata Djayadi.
Sementara itu, hasil survei Poltracking Indonesia menyabutkan pasangan nomor 1 Ridwan Kamil-Suswono meraih angka tertinggi dengan 51,6%. Diikuti Pramono Anung-Rano Karno 36,4%, dan Dharma Pongrekun-Kun Wardana Abyoto 3,9%.
"Tren terbaru elektabilitas tiga calon gubernur–wakil gubernur Jakarta menunjukkan pasangan M. Ridwan Kamil-Suswono mengalami kecenderungan naik (4,1%). Sedangkan pasangan Dharma Pongrekun-Kun Wardana Abyoto mengalami kecenderungan turun (1,2%). Sementara pasangan Pramono Anung-Rano Karno (Si Doel) mengalami kecenderungan naik (4,9%)," kata Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia, Hanta Yuda AR, dalam rilis daring, Jakarta, Kamis, 24 Oktober 2024.
Pada simulasi tunggal calon gubernur Jakarta, Ridwan Kamil memperoleh angka elektabilitas 54.8%. Diikuti Pramono Anung (32.9%) dan Dharma Pongrekun (4.1%).
"Sementara pada simulasi tunggal calon wakil gubernur Jakarta, Rano Karno (Si Doel) memperoleh angka elektabilitas (49.0%), diikuti Suswono (33.7%), dan Kun Wardana Abyoto (4.2%)," ujar Hanta.
Adapun survei dilaksanakan pada pertengahan Oktober 2024, dengan menggunakan metode stratified multistage random sampling. Pengambilan data lapangan dilakukan pada tanggal 10 – 16 Oktober 2024. Sampel pada survei ini adalah 2.000 responden dengan margin of error +/- 2.2% pada tingkat kepercayaan 95%.
Wawancara dilakukan tatap muka dengan menggunakan teknologi aplikasi terhadap responden yang telah terpilih secara acak. Setiap pewawancara mewawancarai 10 responden untuk setiap satu desa/kelurahan terpilih.
Pertanyakan Independensi Dewan Etik Persepi
Guru Besar Komunikasi Politik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Profesor Karim Suryadi, mengaku aneh dengan Persepi. Alasannya, jika beda hasil survei di Pilkada Jakarta dipermasalahkan, seharusnya hasil survei Pilkada Jawa Tengah juga harus dipermasalahkan, karena ada beberapa perbedaan yang signifikan.
"Kalau Jakarta itu Poltracking beda jauh dari yang lain-lain dengan memenangkan Ridwan Kamil, itu sama kasusnya dengan Jawa Tengah di mana SMRC, Kompas, LKPI itu memenangkan Andika-Hendrar. SMRC dengan Litbang Kompas tipis, tapi LKPI itu menang jauh, tapi enggak diapa-apain," kata Karim, Kamis, 7 November 2024.
Selain itu, kata Karim, ada juga hasil survei di Jateng yang dilakukan LSI Denny JA, di mana hasilnya berbeda dengan tiga lembaga lain, yang justru memenangkan Ahmad Luthfi-Taj Yasin.
"Pertanyaannya, kalau yang jomplang itu yang menyebabkan Poltracking diperiksa, lalu mengapa LSI Denny JA tidak diperiksa? Kan sama-sama anggota Persepi. Maksud saya, saya setuju ada penegakan etik dari para polster ini," ucap Karim.
"Kenapa? Ketika hasil survei itu diekspose, itu bukan lagi masukan dari kandidat, tapi sudah penggiringan opini. Jadi bisa menjadi gizi atau menjadi racun bagi publik," sambungnya.
Karena itu, meski tak mempermasalahkan soal adanya pemeriksaan etik, namun pemeriksa etik, dalam hal ini Dewan Etik juga harus netral, objektif dan tidak memihak.
"Yang menjadi pertanyaan saya, bagaimana tingkat independensi dan obyektivitas Dewan Etik. Apakah Dewan Etik keanggotaannya itu terbebas dari kepentingan lembaga survei atau tidak. Jadi publik bertanya-tanya, apakah murni ingin menegakkan etik atau jangan-jangan rebutan kavling, rebutan lahan. Itu yang tidak baik," ungkap Karim.
Karena itu, dia meminta Persepi harus menjelaskan secara terbuka kepada publik. Bahwa sebagai asosiasi mereka terbebas dari kepentingan apa pun.
"Harus jelaskan secara terbuka. Dan yang paling penting menurut saya bukan Poltracking punya dua data, bukan itu, tapi juga menjelaskan bagaimana tingkat independensi keanggotaan Dewan Etik dan mereka tak punya kepentingan. Mereka harus menyatakan mereka tak punya kepentingan dengan lembaga survei manapun, itu yang penting," tutur Karim.
Advertisement
Persepi Layak Diapresiasi
Terlepas dari mundurnya tiga lembaga survei itu, ketegasan Persepi tentu layak diapresiasi. Hal itu disampaikan pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga, menyikapi mundurnya tiga lembaga survei dari keanggotaan Persepi.
Menurut Jamil, Persepi sudah berupaya untuk menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga survei yang ada dalam naungan organisasinya.
"Dengan cara itu, Persepi sudah berupaya melindungi masyarakat dari informasi sesat yang dirilis lembaga survei. Persepi harus yakin semua hasil survei yang dirilis lembaga survei yang ada dalam naungan sudah benar secara metodologis," ujar Jamiluddin kepada Liputan6.com, Jumat, 8 November 2024.
Untuk itu, kata Jamil, lembaga survei yang ada dalam naungan Persepi harus dievaluasi.
"Jangan sampai mereka berlindung di lembaga survei, tapi sebenarnya mereka melaksanakan peran tim sukses pemenangan kandidat atau paslon tertentu," ucap Jamil.
"Orang-orang berkedok seperti itu harus diakhiri. Mereka sudah merusak nama lembaga survei secara keseluruhan. Mereka ini juga sudah merusak tatanan demokrasi dengan berkedok hasil survei," Jamil menambahkan.
Evaluasi itu, menurut Jamil, perlu dilakukan, sebab banyak hasil survei yang diragukan karena disebabkan dua faktor. Pertama, kesalahan metodologi, khususnya dalam menetapkan sampel dan alat ukur (instrumen) yang digunakan dalam survei. Kesalahan dua hal ini akan menyebabkan hasil penelitian invalid.
Namun kesalahan tersebut tampaknya relatif kecil ditemui pada survei yang dilakukan lembaga survei yang sudah mapan. Sebab, kemampuan sumber daya manusianya di bidang survei pada umumnya sudah sangat mumpuni.
"Jadi, kesalahan hal itu berpeluang terjadi pada lembaga survei yang baru dan relatif kecil dengan sumber daya manusia yang masih terbatas. Karena itu peluang kesalahan menetapkan sampel dan menyusun instrumen masih terbuka," katanya.
Faktor kedua, kesalahan dari peneliti. Kesalahan ini, menurut Jamil, bisa disengaja dan tidak disengaja. Kalau kesalahan tidak disengaja tentu dapat dimaafkan, sebab bisa saja keterbatasan pengetahuan si peneliti mengenai metode survei. Namun peluang kesalahan ini relatif kecil, karena sumber daya manusia di lembaga survei yang mapan sudah sangat mumpuni.
"Namun bila disengaja, maka jelas ada upaya memanipulasi data untuk kepentingan paslon atau yang membayar survei. Peneliti seperti ini disebut peneliti tukang yang biasanya akan menyesuaikan hasil survei sesuai pesanan," ujar mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta.
Lembaga survei seperti itu jelas memanfaatkan hasil riset untuk membentuk dan menggiring pendapat umum sesuai pesanan yang membayar. Celakanya, lanjut Jamil, bila datanya invalid, maka pendapat umum yang dibentuk tentulah menyesatkan. Pendapat umum seperti ini disebut pendapat umum palsu.
Lembaga survei seperti itu sudah abai terhadap etika ilmiah yang mengedepankan objektivitas. Mereka ini, disebut Jamil, tidak layak menjadi peneliti, apalagi memiliki atau memimpin lembaga survei, karena dapat memanipulasi data sesuai kehendak pemesan.
"Untuk itu, Persepi harus berani menertibkan semua anggotanya yang dinilai sudah tidak lagi objektif dalam melakukan survei. Penertiban itu perlu dilakukan agar semua lembaga survei yang bernaung di Persepi akan dinilai kredibel oleh masyarakat. Dengan begitu, Persepi sudah menjaga lembaga survei dari keterpurukannya," tuturnya.