Liputan6.com, Jakarta - Polemik hasil survei Pilkada Jakarta 2024 dari dua lembaga berbeda, LSI dan Poltracking berbuntut panjang. Pasca Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) menyidangkan keduanya dihadapan Dewan Etik. Hasilnya, Persepi menegaskan sidang terhadap keduanya tidak untuk menyalahkan hasil atau membuat analisis politik terhadap perbedan hasil survei keduanya.
“Dewan etik tidak mengatakan surveinya salah, bukan juga melakukan analisis politik, tapi apakah data itu bisa diverifikasi atau tidak,” kata Ketua Persepi, Philips Vermonte saat membedah hasil sidang dewan etik secara terbuka di Hotel Mercure Lebak Bulus Jakarta Selatan, Sabtu (9/11/2024) malam.
Philips lalu membuka ke publik, perbandingan jawaban LSI dan Poltracking saat sidang etik dilangsungkan. Dari beberapa poin dicatat, ada perbedaan jawaban dari kedua lembaga tersebut.
Advertisement
Philips menyampaikan, pertama soal sampel survei di Kelurahan Gondangdia. LSI mengaku pihak enumerator tidak mendapatkan izin dari pemegang lurah setempat untuk melakukan survei terhadap warga di sana.
“LSI kemudian mengganti dengan kelurahan Cikini yang mendapatkan izin. Karena memang begitu prosedurnya harus mendapatkan izin saat hendak melakukan survei,” jelas Philips.
Saat menyidangkan Poltracking, lanjut Philips, pertanyaan sederhana ditanyakan soal Kelurahan Gondangdia yang berdasarkan data dimiliki terdapat hasil survei di sana. Menurut Philips, Dewan Etik ingin memastikan bagaimana Poltracking mendapatkan izin tersebut, sebab waktu surveinya dengan LSI relatif sama.
“LSI tidak dikasih izin, tapi Poltracking ada data di Kelurahan Gondangdia. Saat ditanya Dewan Etik, Poltracking menjawab mereka memiliki banyak cara mendapatkan data tidak harus dari kelurahan. Menurut Dewan Etik hal itu dinilai tidak prosedural karena harus bisa dijelaskan bagaimana data didapat sehingga Poltracking dianggap melanggar prosedur,” ungkap Philips.
Hal lain yang mejadi catatan Dewan Etik adalah data mentah yang tidak bisa ditunjukkan oleh Poltracking karena survei dilakukan menggunakan aplikasi dan terekam di server dan saat diminta, data server itu diakui sudah tidak ada.
“Kami tidak tahu apakah karena sewa server mahal, karena baru 10 hari data menurut Poltracking sudah tidak tersedia. Jadi kami tidak bisa membandingkan data mentahnya dengan hasil surveinya,” beber Philips.
Namun berbeda dengan LSI, Philips mengatakan mereka bisa mengonfirmasinya secara manual. Karena survei dilakukan dengan menulis di kertas sehingga bisa disandingkn data mentahnya dengan yang sudah jadi.
Kejanggalan yang Ditemukan Dewan Etik
Selain poin di atas, berikut sejumlah kejanggalan ditemukan Dewan Etik yang berimbas sanksi kepada Poltracking:
-Poltracking tidak berhasil menunjukkan data asli diexport dari aplikasi sistem survei saat pemeriksaan sehingga Dewan Etik tidak bisa memastikan kesahihan survei.
-Adanya ketidaksesuaian antara data valid yang hanya sebesar 1.652 yang ditemukan dalam pemeriksaan sementara Poltracking melaporkan data responden yang berhasil sebesar 2.000 sample.
-Manajemen data Poltracking yang berantakan, karena adanya perbedaan antara dataset 1 dan dataset 2.
-Proses penentuan sample (RT terpilih) yang tidak mempertimbangkan prinsip randomness dan representativeness karena pemilihan RT tidak menggunakan data resmi dari kelurahan.
Sehingga Dewan Etik berpendapat karena tidak adanya kepastian data valid, maka hasil survei juga tidak bisa dipastikan valid.
Ketidakpastian ini membuat hasil survei tidak bisa diaudit dan tidak bisa dipastikan kebenarannya.
Maka dari itu, Dewan Etik memberikan sanksi kepada Poltracking untuk ke depan tidak diperbolehkan mempubliksi hasil survei tanpa mendapatkan persetujuan dan pemeriksaan data oleh Dewan Etik. Kecuali bila Poltracking tidak lagi menjadi anggota Persepi.
Advertisement