Liputan6.com, Bogor: Sejumlah warga dari delapan desa kawasan Parung, Bogor, Jawa Barat, berunjuk rasa di sebuah lapangan di kawasan Ciseeng, Parung, Ahad (6/7). Mereka datang dari Desa Prigi Mekar, Jampang Kalisuren, Cihoe, Jampang pintu Air, Mekar Sari, Rumpin, Kahuripan, dan Cibentang, untuk memprotes pembangunan saluran udara tegangan ekstra tinggi (SUTET). Dalam aksi kali ini, mereka mendirikan panggung hiburan rakyat dengan pengisi acara band-band pemuda setempat. Bahkan, saat itu, pengunjuk rasa mengumpulkan cap jempol darah untuk menarik perhatian berbagai pihak terkait terutama Perusahaan Listrik Negara setempat.
Para demonstran menuntut PLN mengganti rugi tanah yang dilalui pembangunan SUTET. Sebab, sejak tiang-tiang rangkaian listrik tersebut berdiri, tanah-tanah yang dilalui menjadi gersang dan tak produktif. Akibatnya, harga jual tanah jatuh. Belum lagi kemungkinan terjadinya kebakaran akibat hubungan arus pendek yang tak mustahil ditimbulkan SUTET seperti yang terjadi di Cilegon beberapa waktu silam [baca: Siang Ini, Kebakaran SUTET Cilegon Diperbaiki].
Yang lebih parah lagi, induksi yang ditimbulkan aliran listrik SUTET membuat warga yang tinggal di sekitarnya menderita pusing, badan pegal-pegal, dan keluhan-keluhan lain. Bahkan, ada beberapa warga yang dilaporkan lumpuh. Padahal sebelum pembangunan SUTET, warga mengaku sehat-sehat saja. Karena itulah, warga meminta agar pembangunan SUNTET dihentikan. Jika tidak, mereka mengancam akan menduduki kantor PLN Jabar di Cinere, 24 Juli mendatang. Jika tidak didengar juga, mereka akan membakar SUTET.
Permintaan warga langsung dijawab pihak PLN meski lewat telepon. Mereka menegaskan, pembangunan SUTET sudah sesuai peraturan dan mereka sudah memberi ganti rugi. Maraknya unjuk rasa soal SUTET dinilai PLN, tak lebih dari kesalahpahaman informasi yang sampai ke masyarakat.
Juni silam, warga dari delapan desa ini juga sudah melapor ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk meminta perlindungan atas persoalan tersebut. Tapi sampai sekarang belum ada tanggapan berarti. Masih di bulan yang sama, beberapa aktivis pembela masalah SUTET yang tergabung dalam Forum Komunikasi Perjuangan SUTET juga pernah mogok makan untuk memperjuangkan nasib rakyat korban SUTET. Aksi tersebut mereka lakukan di bawah tenda yang didirikan di bawah tower jaringan bertegangan 500 kilovolt.
Untuk menyelesaikan kasus ini pula warga bahkan telah mengadukan nasibnya ke DPR, PLN Pusat, Kedutaan Besar Jerman sebagai negara asal penyandang dana pembangunan proyek SUTET, dan Kantor Perwakilan Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Pembangunan SUTET kawasan Parung mulai dilaksanakan pada 1995 dengan mendirikan menara. Tahun berikutnya, jaringan kabel mulai dipasang dan dialiri listrik tegangan tinggi. Selama proses pembangunan tersebut, warga mengaku tak diberitahu oleh PLN. Sampai pada 1998, mereka mulai merasakan dampak-dampak negatif akibat keberadaan SUTET.(MTA/Olivia Rosalia dan Dwi Nindyas)
Para demonstran menuntut PLN mengganti rugi tanah yang dilalui pembangunan SUTET. Sebab, sejak tiang-tiang rangkaian listrik tersebut berdiri, tanah-tanah yang dilalui menjadi gersang dan tak produktif. Akibatnya, harga jual tanah jatuh. Belum lagi kemungkinan terjadinya kebakaran akibat hubungan arus pendek yang tak mustahil ditimbulkan SUTET seperti yang terjadi di Cilegon beberapa waktu silam [baca: Siang Ini, Kebakaran SUTET Cilegon Diperbaiki].
Yang lebih parah lagi, induksi yang ditimbulkan aliran listrik SUTET membuat warga yang tinggal di sekitarnya menderita pusing, badan pegal-pegal, dan keluhan-keluhan lain. Bahkan, ada beberapa warga yang dilaporkan lumpuh. Padahal sebelum pembangunan SUTET, warga mengaku sehat-sehat saja. Karena itulah, warga meminta agar pembangunan SUNTET dihentikan. Jika tidak, mereka mengancam akan menduduki kantor PLN Jabar di Cinere, 24 Juli mendatang. Jika tidak didengar juga, mereka akan membakar SUTET.
Permintaan warga langsung dijawab pihak PLN meski lewat telepon. Mereka menegaskan, pembangunan SUTET sudah sesuai peraturan dan mereka sudah memberi ganti rugi. Maraknya unjuk rasa soal SUTET dinilai PLN, tak lebih dari kesalahpahaman informasi yang sampai ke masyarakat.
Juni silam, warga dari delapan desa ini juga sudah melapor ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk meminta perlindungan atas persoalan tersebut. Tapi sampai sekarang belum ada tanggapan berarti. Masih di bulan yang sama, beberapa aktivis pembela masalah SUTET yang tergabung dalam Forum Komunikasi Perjuangan SUTET juga pernah mogok makan untuk memperjuangkan nasib rakyat korban SUTET. Aksi tersebut mereka lakukan di bawah tenda yang didirikan di bawah tower jaringan bertegangan 500 kilovolt.
Untuk menyelesaikan kasus ini pula warga bahkan telah mengadukan nasibnya ke DPR, PLN Pusat, Kedutaan Besar Jerman sebagai negara asal penyandang dana pembangunan proyek SUTET, dan Kantor Perwakilan Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Pembangunan SUTET kawasan Parung mulai dilaksanakan pada 1995 dengan mendirikan menara. Tahun berikutnya, jaringan kabel mulai dipasang dan dialiri listrik tegangan tinggi. Selama proses pembangunan tersebut, warga mengaku tak diberitahu oleh PLN. Sampai pada 1998, mereka mulai merasakan dampak-dampak negatif akibat keberadaan SUTET.(MTA/Olivia Rosalia dan Dwi Nindyas)