Liputan6.com, Jakarta - Kejaksaan Agung (Kejagung) diharapkan dapat melakukan pembebanan uang pengganti dan eksekusi penyitaan kasus korupsi timah sesuai aturan yang berlaku. Hal itu disampaikan kuasa hukum terdakwa Direktur PT Sariwiguna Binasentosa (SBS), Robert Indarto, Handika Honggowongso.
Handika turut menanggapi pernyataan Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar, yang menyebut bahwa untuk menutupi kerugian dari kasus korupsi PT Timah maka akan dilakukan penyitaan aset para tersangka.
Baca Juga
“Jadi jelas tidak bisa jumlah kerugian negara dalam dakwaan sebesar Rp300 triliun dibebankan semua pada terdakwa,” tutur Handika kepada wartawan, Kamis (21/11/2024).
Advertisement
Menurutnya, pernyataan bahwa kerugian negara dapat ditutupi karena adanya uang pengganti pun tidak bisa dilakukan atas dasar pengembalian kerugian negara saja. Sebab, jumlah pembebanan uang pengganti yang bisa dibebankan kepada terdakwa dibatasi, yaitu sebanyak-banyaknya sama dengan hasil kekayaan yang didapat dari hasil tindak pidana korupsi.
“Dengan demikian, mohon kepada Kejagung dalam pembebanan uang pengganti betul-betul menaati Pasal 18 ayat 1 huruf b UU Tipikor, tidak melampui batas limitatifnya,” jelas dia.
Sementara itu, lanjutnya, PT Timah sejak 2015-2022 telah memberikan kompensasi Rp26 triliun atas biaya penambangan biji timah sebanyak 154 ribu ton kepada para mitra tambang, termasuk masyarakat. Sehingga, terdakwa yang terseret kasus ini tidak menikmatinya.
Adapun kerugian kerusakan lingkungan yang disebabkan kasus korupsi komoditas timah ditaksir mencapai Rp271 triliun. Handika mengatakan, PT Timah sudah menutupi permasalahan itu dengan program dan jaminan reklamasi pemulihan.
Selain itu, sebanyak Rp 3 triliun yang telah dibayarkan ke lima smelter digunakan untuk biaya pengolahan dan pemurnian timah dengan nilai habis Rp 2,8 triliun, selebihnya adalah keuntungan.
“Dan negara pun sebenarnya sudah untung, bukannya rugi. Buktinya ada pembayaran royaliti dan pajak, baik dari PT Timah ataupun lima smelter yang jumlah totalnya sekitar Rp 2 triliunan,” ungkapnya.
“Namun demikian, apa yang disampaikan oleh pihak Kejagung itu terkait pembebanan Rp332 triliun, itu bisa saja dilakukan apabila Kejaksaan menempuh upaya gugatan perdata, bukan pakai jalur pidana Tipikor,” Handika menandaskan.
Sita Beberapa Barang Hendry Lie
Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) menyebut telah menyita beberapa aset milik Hendry Lie, tersangka kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah IUP PT Timah Tbk. pada tahun 2015-2022.
"Jadi, semua aset para tersangka (kasus timah) sudah kami lakukan penelusuran, kami lakukan pencarian, dan kami lakukan penyitaan, tidak terkecuali aset Hendry Lie," kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Abdul Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (12/11/2024).
Disebutkan pula salah satu aset milik Hendry yang telah disita penyidik adalah sebuah bangunan di Bali. "Banyak tanah dan bangunan, termasuk yang di Bali, yang sudah kami lakukan penyitaan," ujarnya dikutip dari Antara.
Advertisement
Sita 1 Unit Vila
Sebelumnya, pada bulan Agustus 2024, Kejagung menyita satu unit vila di Bali milik Hendry Lie yang dibangun di atas tanah seluas 1.800 meter persegi dengan estimasi bernilai Rp20 miliar.
Adapun peran tersangka Hendry dalam kasus ini selaku beneficiary owner PT Tinindo Inter Nusa atau PT TIN. Hendry secara sadar dan sengaja berperan aktif melakukan kerja sama penyewaan peralatan processing peleburan timah antara PT Timah Tbk. dan PT TIN.
Biji timah yang dilebur dari hasil kerja sama dua perusahaan tersebut berasal dari CV BPR dan CV SFS yang sengaja dibentuk untuk menerima biji timah yang bersumber dari penambangan timah ilegal.
Akibat perbuatan Hendry dan puluhan tersangka lainnya yang saat ini dalam proses persidangan, negara dirugikan sebesar sekitar Rp300 triliun.
Hendry pun disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.